Kamis, 22 Juli 2010

Habis Gelap Nggak Terbit-Terbit

(Dari Buku "Suka Duka Penulis Pemula" FLP Sulsel)
R. Buba Dias

Bacalah dengan nama Tuhanmu
Bismillah el-rahman el-rahim

Jadul (jaman dulu) yang amburadul
(aduh! Ah! Uh!)
"Mengetahui tujuan kita, jauh lebih penting
daripada mengetahui seberapa
cepat kita dapat sampai di sana."
Kata-kata Martin Vanbee dalam buku Kesuksesan 101 ini, seirama cambuk menderaku di kesunyian. Kesunyian yang melahirkan letupan-letupan kemelut jiwa badai hati tak bertepi. Hingga aku tak tahu kapan tiba saatnya berhenti. Seandaikan cambuk itu digenggam oleh Ayahku saat jemari ini mampu memeluk pena, dan mengajaknya menari di atas altar putih wajah kertas…mungkin saat ini aku sedang tidur nyenyak di atas tumpukan buku-buku karyaku.
Novel, cerpen, dan majalah serta koran yang beraroma sastra menjadi sahabat sejati dalam perjalanan karir kepenulisanku. Hamka pernah membuatku panik, ketika, ia mengajakku berlayar dengan kapal Van Der Wijck dan tenggelam bersamanya. Lain waktu, aku tersungkur karena Sayap-sayapku Patah. Beruntung Kahlil Gibran meraih dan memapahku bersama Sang Nabi. Satu, yang membuatku tetap melangkah, walau onak dan duri jenuh selalu menghujam deras mendera. Tak lain karena Sang Khairil Anwar yang sudi mengajakku untuk hidup seribu tahun lagi. Walaupun, aku hidup dari kumpulan yang terbuang , tetapi, aku tak ingin menjadi binatang jalang.


Bukan main pontang-panting aku meniti dan memahat karya. Pulang sekolah, refresh otak dikit, selepas tahlil, tahmid and takbir membasahi bibir, (tentunya basah juga oleh ratusan butir nasi dan ratusan cc air gallon) kusambar buku dan pena. Aneh… semakin kuasah, semakin banyak saja sobekan kertas memenuhi tong sampah di kamar tidurku. Huuuuhhh…aku sampai tak tahu lagi, mana ranjang, dan mana meja tulis? Karena kantuk tak lagi menyapa. So, hanya lelah yang masih iba bertahta di kelopak mataku dan menutupnya tanpa kusadari; di mana dan kapan?
Kalau tadi, tugasnya buku dan pena. Sekarang, biarkan mesin ketik yang bersabda. Tapi jangan bilang-bilang orang ya, mesin ini aku pinjam sama Ancha (sobat karib) ketua mading asrama Pondok Pesantren Hidayatullah Pusat Balikpapan. Plus kertas HVS tentunya. Sekali-kali jadi parasit, kan sah-sah aja, he…he…he…
Tak…tik…tuk…denting mesin ketik menjadi musik terindah di sini (di pesntren) ketika, musik tak berkutik. Aku semakin gila tuk menulis, menulis, dan menulis. Sampai tiba saatnya nanti, jemari ini akan menari secara otomatis meninggalkan guratan relief kata-kata yang…
Kita tinggalkan sejenak jaman dulu dengan irama datar yang selalu saja tak…tik…tuk…kretek…ting! Di sudut langit-langit terdengar sayup-sayup—entah pujian atau ejekan—"Ck…ck…ck…" hap, sambil menangkap nyamuk.
To be continued…
Millenium 2 lebih 7 tahun
(manis, manis, dan maniiiiiiiiiissss)
"Sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisaunya ke dalam nyanyi."
Sepi dan nyanyi, dua realitas berbeda yang selalu menghantui piranti hidupku. Hantu yang jauh dari kesan menyeramkan, namun menyebalkan! Tapi…aku suka. Karena hantu-hantu tersebut adalah sahabat-sahabat seiring sejalan senada seirama sependeritaan sepenanggungan dalam kerasnya kuliah di UIN dan sumpeknya ngekos di bawah kolong langit Makassar. Dan pisaunya mengkristalkan kata-kata "Enak ya punya teman cerpenis, tiap minggu rekening banjir, dan coffee morning jalan terus…"
Saat para pembaca yang budiman menjelajahi dunia kata ini, mungkin saja aku dan para Gondoruwo (karena rambut mereka panjang dan bergelombang, juga aku tentunya) sedang ngopi bareng di Waroeng Pak Idris, di tepi Jalan Sultan Alauddin, pas, di depan kampus kami tercinta, ha…ha…ha…so, aku yang nraktir. Katanya sih, sepenanggungan. Tapi perasaan… aku terus yang jadi objek penderita kalau urusan bayar-membayar. Ufs, kudu ikhlas, biar jadi daging buat mereka. Kebetulan juga hari ini, royalty menimpaku secara beruntun; dari Kompas Rp 500.000, cerpen (Tak Selamanya Kaktus Berduri). Dari Republika Rp 400.000, juga cerpen (Akulah Tuhan Akulah Hantu). Dari Fajar Rp 250.00, lagi-lagi cerpen (Ruang Rindu Ririn). Dari Suara Hidayatullah Rp 400.000, figur tentang Rektorku (Masih Adakah Hari Esok?). Terakhir, sinopsis buku Oragon (Joki-joki Naga Terbang), barternya dengan buku dari penerbit. Ibarat ketiban bulan, (untung bukan durian) hidup lagi cacing satu bulan, senyumku mengembang. Ya, lumayanlah, untuk ukuran mahasiswa berdikari seperti aku. Terbayang di mataku; nasi plus lauk, uang semester, biaya makalah, coffee morning, etc tanpa apel malam mingguan, titik. Welcome to the jomblo, and jomblo is the best.
Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Jerih payahku menulis tak sia-sia. Dulu, mesin ketik aja sampai pinjam sama Ancha. Sekarang, laptop pribadi man! Ditambah lagi RX King seri terbaru (ssstt…kredit gitu) dengan emisi gas buang rendah dan aman, yang kini selalu menyertai perjalananku wara-wiri kesana-kemari. Tak lupa menabung (untuk bangun rumah plus tangganya ) dan kirimin emak di Bekasi, sebagai bukti birrul walidaini, ehm..ehm…ehm…o, iya! Hampir lupa nih. Paling apes dalam sebulan aku bisa menerima royalti ya, satu sampai dua juta rupiah. Bahkan, kadang-kadang lebih. Itu baru dari cerpen. Dari; artikel, opini, sinopsis, figure, dan puisi, aku ga' hitung. Hitung-hitung buat biaya kredit motor. Ternyata, enak ya jadi penulis. 
Tetapi, ada juga gak enaknya. Beberapa pengurus mading, mendudukkanku sebagai Editor, pikir deh, apa nggak ? Namun senyum manis mereka membuatku luluh klepek-klepek. Juga tidak ketinggalan FLP Sulsel yang selalu mengundangku memberikan materi untuk pengkaderan penulis pemula. Kapan ya, aku bisa nulis buat FLP?
Yang manis-manis, di pending dulu. Masih ada si…itu tuh?
To be continued…
Sambungannya Jadul
(ngos-ngosan)
"aku tahu
menjadi penulis besar itu tidak gampang
aku hanya minta Satu
untuk menjadi penulis tanpa kebesaran
tapi kata yang kau ucapkan
"masih kurang nyastra."
Lanjuuuuutttt…sekarang saatnya yang paling tepat untuk melihat jatuh bangun aku mengejarmu…sorry, I am sorry. Kok jadi dangdut sih? maksudnya, jatuh bangun mendaki tebing cerpenis sejuta nama. Kok bisa? Nggak boleh penasaran, sekarang, tarik napas aja dalam-dalam dan selamat menyelam. Blubuk…blubuk…blubuk…
Aku yang bernama asli Said Abu Bakar ini, lahir ribuan hari silam di atas kapal yang sedang berlari-lari kecil di halaman Sungai Mahakam Samarinda. Pas udah gede, di masa SMA (Sekolah Madrasah Aliyah) aku merakit nama pena dari namaku sendiri yang dibaca terbalik dari sebelah kanan, sama dengan Raka Buba Dias, disingkat menjadi R. Buba Dias. Pertama kali menulis, buat si dia…selanjutnya terserah anda. Kemudian dari mading ke mading. Dari mading school sampai mading Asrama Putra P.P. Hidayatullah Balikpapan tempat aku nyuri ilmu. Nggak kirim ke Asrama Putri nih? Aje gile! Ketangkep basah bisa di DO gue. Pasti mata-matanya ustadz tuh orang. Gantung diri itu kan dilarang ama Tuhan, nah yang begitu-itu tuh, gue anggap gantung diri, walaupun, di bawah pohon tomat. 
Kemampuanku semakin terasah. Cerpen kulibas menabrak cerbung dengan judul Joko Gendeng—terinspirasi sama Pak Joko guruku yang gokil—Pendekar Suling Sakti. Ya lumayanlah, cerbung ini sempat tampil sampai beberapa edisi sebelum akhirnya Joko Gendeng mati dalam otakku yang buntu. Cerbung menjadi (cerita tak bersambung) sampai aku makan bangku kuliahan di UIN Makassar pun belum terpikirkan kembali untuk meneruskan si Joko. Joko…Joko…nasibmu.
Nah, sekarang klik start, terus klik my document, dan pukul kepala tikus yang sebelah kiri pada computer ketika melihat Habis Gelap… Kucek-kucek mata, kalau perlu, pakai kacamata setebal pantat botol yang berwarna hitam biar nggak silau man! Layar dibuka…

Manisan Asam, Asin, Pahit Penulis Sukses
Bahan:
* Sebongkah otak yang masih waras * buku-buku rujukan * kamus 3 bahasa; Indonesia, Arab, dan Inggris * 1 lembar buku tulis * pulpen or pensil * mesin ketik * kertas HVS or kwarto * kopi or teh * cemilan * editor * tong sampah * amplop * perangko.

Cara merakit:
1. Pertama-tama, refresh otak hingga cemerlang. Tuangkan kata-kata dangan pulpen sambil mengaduk-aduk batok kepala, kemudian cetak di atas buku tulis. Coret-coret sampai benar dan matang. Kalo sudah setengah matang, ambil kwarto dan masukkan ke dalam mesin ketik, tak…tik…tuk…sampai keriting tuh jari. Sesekali nggak ada salahnya menyirami tenggorokan dangan kopi / teh plus cemilan; kacang garuda, wafer tango, kerikil goreng (kalo nggak ada yang lain) etc. Hati-hati jangan sampai salah ketik, kalo terlanjur salah, remas-remas kwarto dan lemparkan ke tong sampah.
2. Nah, kalo sudah matang, hidangkan di dalam amplop berperangko Rp 1000, 2000, atau kilat khusus, semua tergantung jarak jauh–dekatnya tujuan. Ingat! kirimkan ke redaksi secepatnya, sebelum kadaluarsa. Warning! Naskah harus lolos sensor guru sastra sebagai editor sebelum dikirim.
Selamat mencoba di rumah masing-masing. Dan jangan lupa kirim sebanyak-banyaknya sampai penerbit merasa bosan membaca lagi-membaca lagi, dan akhirnya memuat juga tulisanmu di salah satu rubriknya. Nggak percaya? Aku aja hampir nggak percaya.
Yang juga sangat urgen di sini adalah seorang guru sastra yang jadi pembimbing untuk mengotak-atik tulisan yang kurang nyastra. Kurang nyastra, jadi inget Pak Pita Nugroho guru sastraku. Cerpenku yang the best menurut beberapa temanku, eh, dia malahan bilang kurang nyastra. Yang nyastra kayak apa sih, Pak? Apa tulisannya harus gondrong kayak seniman, atau…atau…interpretasi sendiri aja deh, aku blank.
Akhirnya dan akhirnya, lolos juga tulisan puisiku di mata Pak Pita. Jangan salah man! Kwarto bertumpuk di tong sampah gara-gara kurang nyastra. Puisi pertamaku merangkak ke redaksi Sabili, tapi sampai aku lupa kapan kubuat puisi itu, Sabili nggak pernah mengulurkan tangannya kepada puisiku. Cerpenku di koran pun nasibnya sama (habis gelap nggak terbit-terbit)  Jadul the end..
***


Lanjutannya Millenium
(masih tetap manis)
"Historia Vitae Magistra."
Pengalaman adalah guru terbaik.
Di SMA boleh kelam, bahkan gelap. Tetapi, garis tanganku berubah sejak kuliah. Cerpen-cerpenku mulai menghiasi wajah majalah dan koran kenamaan, setelah kesekian kalinya jatuh ke dalam jurang tong sampah redaksi. Tapi aku takut jadi orang yang terkenal. Akhirnya setiap cerpen yang kukirim, pasti namanya berlainan. Cuma satu yang memakai nama R. Buba Dias, yaitu, cerpen Ada Bidadari Di IAIN yang nongol di Republika edisi minggu ke-2 Nopember 2004. So, pasti Editor sudah tahu siapa yang ngirim. Gimana enggak! Berbeda-beda nama, tapi tetap satu alamat jua (Jl. Sultan alauddin 2/ no: 23)
Kalaupun kelak aku jadi orang terkenal, nama apa yang cocok ya? Dan aku juga harus selalu siapin pulpen khusus buat para fansku yang meminta tanda tangan dari sang idola. Ih…cape deeehh.
Akhirnya aku luluh juga sama Kak Yanuardi Syukur, (mantan ketum FLP Sulsel) yang menyuruhku membuat sebuah novel perdana, dengan mengadopsi satu nama pena yang sudah ada. Kupilihlah R. Buba Dias. Ajaib! Tiga novel lahir dalam waktu tiga bulan lebih tujuh belas hari, masing-masing di atas 300 halaman, ajaib bukan? Dan melalui tangan dingin Kak Gegge Mappangewa, (Ketum FLP Sulsel) sebagai editor lokal sebelum di cincang-cincang sama Editor penerbit yang bertangan lebih dingin…eh, nggak nyangka diterima, dan Insya Allah akhir bulan April akan di launching, pasca perekrutan anggota baru FLP 9-11 April mendatang. Yang pertama, novel budaya (The Jeneponto) Toma'nurung. Yang kedua, novel remaja (Welcome To The Jomblo) DAR! Mizan. Yang ketiga, novel remaja juga (CIA) Syamil. Terima kasih kuucapkan, tuk semua yang mengiringi, menemani, dan men-support titian karya ini. Sekali lagi, terima kasih. Buat yang lain, jangan cuma pinjam ya, awas kalo nggak beli.  The game over.
***
Happy Ending
(manis or pahit? Mari angkat bahu)

"Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Ada peran wajar dan
Ada peran berpura-pura
Andaikan setiap esai
Adalah wajar
Aku harap ini esai."
Seperti biasa man! Akhir sebuah sinetron; cerita ini hanyalah fiktif belaka, kalo ada cerita yang manis-manis, pasti boong. Nah, yang pahit-pahit, asli tanpa di rekayasa. Nggak cuma pahit, bahkan, simalakama. Tak hanya Sabili yang nolak, yang lain pun masih enggan. Kalo ada kesamaan nama tokoh/tempat/atau dll, itu hanyalah kelihaian penulis belaka mengolah kata-kata yang sempat singgah di otaknya. Sisanya adalah khayalan tingkat tinggi, yang bukan hanya milik Peterpen.
Friends,
be-te…!
kenapa sih susah amat nulis
seperti Sastrawan yang nongkrong di Horison?
Brur,
ga' mood…!
kenapa juga harus ada mood?
Coy,
pleace deh…!
kenapa harus ada kata
untuk mewakili novel and cerpen?
Man,
blank…!
Nggak terbit-terbit
Nggak nongol-nongol
Nggak menyembul ke permukaan." 
Aku belum finish. Terbit nggak terbit asal nulis. Tak ada hari esok, jika kita tidak memulai hari ini. Kalo nggak percaya, tanya aja sama Mas Fauzil Adhim.
Kalau R. Ajeng Kartini mengatakan Habis Gelap Terbitlah Terang, Kalo R. Buba Dias, (aku, hik…hik…hik…) Habis Gelap Nggak Terbit-Terbit, nasib-nasib. Semoga suatu saat nanti ada penerbit yang sudi mengulurkan tangannya untuk tulisanku. Amin 100 kali.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar