Senin, 23 November 2009

Lomba Cipta Cerpen Tingkat Mahasiswa Se-Indonesia - STAIN Purwokerto

Batas akhir: 15 Desember 2009

Penyelenggaraan lomba cerpen LPM Obsesi tahun ini menyajikan tema “kisah cinta dengan latar belakang budaya santri.” Beberapa karya best-seller seperti AAC dan KCB, disebut-sebut tak lepas dari kentalnya budaya santri. Tak kurang, karya yang dipandang kontroversial seperti Perempuan Berkalung Sorban pun ikut menjadikan pesantren sebagai latar utama. Terakhir, novel laris Negeri 5 Menara juga beberapa kali dicatat karena kekhasan nuansa pesantren dalam rangkaian ceritanya.

Boleh jadi, setelah melihat pemilihan tema tersebut, akan timbul ganjalan di benak sebagian calon peserta. Sebab, hampir bisa dipastikan bahwa peserta akan terbatasi dan terseleksi sejak awal. Meski pada akhirnya, penulis manapun bisa dianggap tetap berpeluang dalam melakukan riset atas bahan cerita, sekalipun si penulis tidak bergelut lama (atau tidak terlibat sama sekali) di dunia santri. Sama seperti lomba cipta esai, karya pemenang akan dibukukan oleh panitia penyelenggara.
Temans, mari ikuti Infolomba di Twitter atau Infolomba di Plurk. Tetap semangat!



Diselenggarakan Oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Obsesi, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

TEMA
Kisah cinta dengan latar belakang budaya santri

KETENTUAN

1. Melampirkan copy Kartu Mahasiswa yang masih berlaku;
2. Cerpen diketik dengan hurup time new roman size 12, batasan 5-10 halaman;
3. Cerpen yang diikutkan lomba adalah karya yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun;
4. Setiap peserta hanya boleh mengirimkan 1 judul saja dari karya terbaiknya;
5. Melampirkan biografi singkat maksimal 1 halaman;
6. Semua hal tersebut diemailkan ke obsesipress@gmail.com ;
7. Batas terakhir penerimaan naskah 15 Desember 2009.

PENGUMUMAN NOMINATOR DAN PEMENANG: 1 Januari 2010

HADIAH

1. Bagi cerpen nominator dan cerpen pemenang akan dibukukan eksklusif oleh Penerbit OBSESI Press, 3 cerpen pemenang, dan 27 cerpen nominator;
2. Bagi Juara ke-1 mendapatkan uang Rp 1.000.000; juara ke-2 Rp 500.000, juara ke-3 Rp 500.000 ;
3. Baik nominator maupun pemenang diberi hak mendapatkan buku bunga rampai cerpen tersebut 2 eksemplar ;
4. Baik hadiah maupun buku cerpen tersebut hanya akan diberikan jika yang bersangkutan hadir pada acara “Peluncuran dan Diskusi Buku Cerpen Pemenang Lomba Nasional” pada Senin 8 Februari 2010 ;
5. Jika yang bersangkutan berhalangan hadir, maka disilahkan menghubungi Panitia (PU LPM OBSESI Edo Ahmad Baedowi 08529 3001 761/ Faqih Hamdani 085227 379 226), dan buku cerpen akan dikirim jika sudah mengirim ongkos pengganti biaya kirim.

DEWAN JURI

1. Abdul Wachid B.S. (Sastrawan, Kritikus Sastra, dan Dosen STAIN Purwokerto);
2. Heru Kurniawan, S.Pd., M.A. (Sastrawan, dan Dosen STAIN Purwokerto);
3. Suwito NS., M.Ag. (Direktur Penerbit STAIN Purwokerto Press, dan Dosen STAIN Purwokerto).

Sumber: Laman resmi STAIN Press Purwokerto Selengkapnya...

Lomba Cipta Puisi Religius Tingkat Mahasiswa Se-Indonesia

Batas akhir: 14 Desember 2009

Dewan Ekskutif Mahasiswa (DEMA) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto menyelenggarakan lomba cipta puisi religius. Tercantum dalam jajaran dewan juri ialah Evi Idawati, Abdul Wachid B.S., Heru Kurniawan, dan Kuswaidi Syafi’ie.
Temans, mari ikuti Infolomba di Twitter atau Infolomba di Plurk. Tetap semangat!

Lomba Cipta Puisi Religius Tingkat Mahasiswa Se-Indonesia

Diselenggarakan Oleh Dewan Ekskutif Mahasiswa (DEMA) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto

TEMA "Puisi Religius"

KETENTUAN UMUM

1. Melampirkan copy Kartu Mahasiswa yang masih berlaku;
2. Puisi diketik dengan hurup time new roman size 12, di antara baris spasi 1, di antara bait spasi direnggangkan ;
3. Puisi yang diikutkan lomba adalah karya yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun;
4. Setiap peserta hanya boleh mengirimkan 5 judul puisi dari karya terbaiknya;
5. Melampirkan biografi singkat maksimal 1 halaman;
6. Semua hal tersebut diemailkan ke obsesipress@gmail.com ;
7. Batas terakhir penerimaan naskah 14 Desember 2009.

PENGUMUMAN NOMINATOR DAN PEMENANG PUISI: 1 Januari 2010

HADIAH

1. Bagi puisi nominator dan puisi pemenang akan dibukukan eksklusif oleh Penerbit OBSESI Press: 3 judul puisi pemenang, dan puisi-puisi nominator;
2. Bagi Juara ke-1 mendapatkan uang Rp 1.000.000; Juara ke-2 Rp.750.000; Juara ke-3 Rp 500.000 ;
3. Baik nominator maupun pemenang diberi hak mendapatkan buku bunga rampai puisi tersebut 2 eksemplar, dan masing-masing akan mendapatkan Piagam Penghargaan ;
4. Baik hadiah maupun buku puisi tersebut hanya akan diberikan jika yang bersangkutan hadir pada acara "Peluncuran dan Diskusi Buku Puisi Pemenang Lomba Nasional" pada Senin 8 Februari 2010 ;
5. Jika yang bersangkutan berhalangan hadir, maka disilahkan menghubungi Panitia (Presiden DEMA - Saudara HERI KURNIAWAN 085 227 4505 32), dan buku puisi akan dikirim jika sudah mengirim ongkos pengganti biaya kirim.

DEWAN JURI

1. Evi Idawati (Novelis TERATAK, Cerpenis MAHAR, Penyair NAMAKU SUNYI, Aktris);
2. Abdul Wachid B.S., S.S., M.Hum. (Penulis Buku: GANDRUNG CINTA, Tafsir terhadap Puisi Sufi K.H. Ahmad Mustofa Bisri);
3. Heru Kurniawan, S.Pd., M.A. (Penulis Buku: MISTISISME CAHAYA);
4. Kuswaidi Syafi’ie, M.Ag. (Penyair TARIAN MABUK ALLAH, Cerpenis MEMANJAT BUKIT CAHAYA, Esais, Editor Ahli Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta). Selengkapnya...

KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957 Selengkapnya...

Minggu, 15 November 2009

Perempuan dalam Tanda Tanya (???) Ketika Pena Harus BicaraPerempuan dalam tanda tanya

dari.www.nendenk.wordpress.com
Sore ini (14 Nov) di pelataran gedung Ipteks, perempuan kembali menjadi wacana dalam sebuah diskusi kepanulisan oleh sebuah forum kepenulisan yang menyebut dirinya Forum Lingkar Pena. FLP hadir dengan nama yang terlanjur besar dari pada para penggerak-penggeraknya dimana ia berada, seperti di Sulsel, Makassar dan Unhas sendiri. Kehadiran penulis-penulisnya tidak seistimewa nama FLP yang terlanjur besar di mata masyarakat. KeMbali pada tema diskusi sore ini, PEREMPUAN DALAM TANDA TANYA yang dibawakan oleh Sultan Sulaiman, Ketua FLP Wilayah Sulsel. Perempuan, makhluk terindah ciptaan-Nya yang merupakan tiang-tiang dari berdirinya sebuah negara. Sehingga banyak yang berpendapat jika ingin menghancurkan suatu negara, maka hancurkanlah perempuannya. Banyak sisi keindahan dari seorang perempuan, dilihat dari sisi mana saja perempuan akan tetap indah. Maka hal yang telah menjadi sebuah kodrat ketika perempuan itu dikatakan cantik.
Dewasa ini menjadikan media bergerak cepat dan cekat. Perempuan kemudian dijadikan sebagai objek dari Politik Ideologi Kapitalisme Media, yang menajadikan perempuan sebagai objek utama yang menghasilkan uang dari sisi mana saja. Kemudian dibentuklah frame oleh Media, makna dari sebuah kata ‘cantik’. Teks media kemudian mencangkoki pikiran masyarakat akan makna ‘cantik untuk perempuan’. Cantik itu putih, lembut, langsing, tinggi, bersih, perfect dari segi penampilan, memakai brand di setiap bagian tubuhnya. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, wajah yang memakai Ponds, tubuh dengan Lotion dengan berbagai merek kecantikan, pemutih, pewangi, sampai pada merek baju pun media harus mengatur sedemikian rupa sehingga membentuk frame pada pikiran setiap orang akan makna dari sebuah cantik. Selamat diperbudak oleh media, bagi orang-orang yang tidak kritis dalam menelaah setiap pesan media, yang dinilai oleh mahasiswa ilmu komunikasi semua adalah kebohongan, kecuali tanggal dan waktu yang dicatat oleh media kemudian disebar pada khalayak.
Perempuan berada pada tataran yang tidak sewajarnya, ketika dimaknai cantik itu seksi, dan berjilbab atau menutup aurat itu menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan dan dianggap kolot. sekali lagi hal ini berhasil dibentuk oelh media di kepala sebagian besar orang yang sangat menikmati kehadiran dan kebohongan media. Ketika wanita, perempuan-perempuan ingin diperhatikan, karena idealnya tubuh mereka, dan putihnya wajah mereka. Dan seribu satu usaha untuk mendapat perhatian itu, dengan diet yang menyiksa, keluarnya uang berpuluh, ratusan juta untuk sebuah konsep ‘cantik’ yang dibentuk oleh media. Dan ironinya ketika ada perempuan yang merasa tidak sempurnah karena kegemukan atau hitam atau rambut ikal, kriwil atau berombak. Padahal tidak sedikit yang mengatakan gemuk itu cantik, gemuk itu seksi, hitam itu manis, dan parahnya putih itu pucat seperti mayat hidup (siapa yang rela mengeluarkan ini dari mulutnya, sekalipun hati kecilnya mengakui hal itu?
Pada dunia menulis pun dan yang dengan bangga mengeku dirinya adalah seorang penulis, isu keberadaan perempuan pun menjadi hal yang penting. Banyak tulisan, cerpen, puisi, prosa atau karya sastra yang menjadikan perempuan sebagai objeknya. Juga ikut atau larut dalam ‘Frame Cantik Media’ tadi. Sehingga setiap orang yang manjadi penikmat dari tulisan-tulisan kita, dengan bebas mempersepsikan kumpulan-kumpulan teks dari sisi mana saja, tergantung pada siapa tulisan itu dipersepsikan.
Sebagai perempuan dan sebagai orang yang memilih perempuan sebagai objek pada tulisan-tulisan yang lahir dari tangannya, kita seharusnya menjaga apa yang harus dijaga, dan menulis apa yang seharusnya ditulis. Sebuah kata kemudian menjadi alat mencari boleh dari ketidakbolehan, mencari lazim dari sebuah ketidak laziman, mencari halal dari hukum mubah, makruh bahkan haram. Kata ‘emansipasi-wanita’ atau penyetaraan gender, menjadikan perempuan kembali terjebak pada tempat yang tidak seharusnya ia terjebak. Ketika perempuan terjebak pada dunia laki-laki yang melihat secara wajar perempuan menjadi petinju, pemain bola, atau melawan kodrat dan memilih menjadi laki-laki. Sebuah keadaan yang miris ketika perempuan tak lagi bangga dengan perempuannya, mengizinkan setiap orang menikmati indahnya ia sebagai perempuan “Hai… Aku cantik lho”…
Karena Aku adalah Perempuan
Karena Kamu adalah Perempuan
Karena Dia adalah Perempuan
Karena Mereka adalah Perempuan
dan Karena KITA adalah Perempuan.
Dan Perempuan adalah wanita istimewa, di mataku, matamu, matanya, mata mereka, mata kita, terlebih Kita adalah makhluk yang paling di lindungi oleh Rasulullah dan paling istimewa di Mata-Nya. Bukankah adanya Surah An-Nisa dalam 114 Surah di Al-Qur’an adalah bukti yang nyata bahwa kita adalah istimewa. Pernahkah kita berfikir, bahwa sebenarnya tidak ada surah ‘Rijal (laki-laki)’ dalam Al-Qur’an. Pertanyaannya sekarang kapan kita memperlakukan diri kita sebagai perempuan?
Sesungguhnya Allah itu Maha Melihat dan Maha Pencemburu. Selengkapnya...

Sabtu, 07 November 2009

BULAN KEDUA DI RUMAH KECIL KAMI

Oleh : Nenden’k
Warna keemasan senja semakin menggeliat kedua mataku. Waktu seakan ingin merampas keindahan senja yang merekam setiap langkah kaki di satu belahan dunia. Tak dibiarkan senja berada pada titik indahnya dalam waktu yang lama. Aku tetap berada dalam ketakutanku. Takut senja pergi dan lengan-lengan waktu merebutnya hari ini dariku. Besar harapanku senja pergi dan berlalu hari ini, dan membawa pergi beban pikiranku.
Kepalaku terasa berat. Kakiku tak kalah beratnya untuk melangkah meninggalkan bangku taman yang selama ini menemaniku melihat senja. Senja dengan merah keemasannya yang seolah mengalahkan indahnya keindahan alam yang lain. Kucoba memejamkan mata sejenak, agar hati dan pikiranku tenang. Kepalaku terus dibayangi oleh wajah suamiku yang polos. Pasti kini wajahnya tengah berbinar menantikan princessnya pulang. Begitu ia memanggilku, “princess”, panggilan yang sebenarnya tak pantas sedikitpun untukku.
Tit..tit..tit...
Suara dan getaran dari nokia-ku memecah lamunanku.
Princess, jm brp balik? Mataku rindu mlihat senyum dan indahnya matamu. Blz... -suamimu tercinta-
Tak terasa air kembali bermuara di kedua mataku. Air mataku jatuh, mengantar kepulangan senja menuju alam lain, dan merubah diri menjadi fajar.
InsyaAllah Bentar lgi Mas... 1jam mungkin. Mataku masih ingin memandang kuasa Allah yang dciptaknNya, goresan emas d langit yg mulai gelap. Tunggu yah, xxx.
Kubalas semampuku, aku masih ingin menata hati dan wajahku untuk menghadapi Mas Yasir di rumah. Setidaknya dia berharap penuh padaku malam ini. Sekali lagi terbayang wajahnya yang polos, maafkan aku Mas...
Hari ini genap sebulan aku menjadi princess dari Mas Yasir. Tanggal 23 Oktober mengantar aku dan Mas Yasir memasuki bulan kedua dari pernikahan kami yang InsyaAllah sakinah, mawaddah warahmah. Seperti harapan semua pasangan dalam berumah tangga. Namun, memasuki bulan kedua, rumah tangga kami belum manjadi keluarga yang seperti keluarga pengantin-pengantin yang lain. Aku belum melaksanakan sepenuhnya kewajibanku sebagai istri. Mas Yasir belum mendapatkan hak yang sepenuhnya dariku, hak yang seharusnya dari malam pertama telah ia dapatkan dari princessnya.
Malam pertama aku masih bisa mengelak dari tanggung jawabku. Aku masih bisa menyediakan berbagai alasan untuk Mas Yasir, lengkap dengan berbagai cadangan jawaban untuknya kalau-kalau ia tak menerima alasanku. Perempuan yang dipilihnya kini mencoba berkilah dari kewajibannya. Alasan yang telah kupersiapkan untuk menghiasi rumah tanggaku hingga seminggu berlalu. Dan Alhamdulillah hari ke delapan dari rumah kecilku dan Mas Yasir, aku menstruasi. Dan lepaslah aku dari kewajibanku yang satu ini. Subhanallah, terimakasih Ya Allah. Astaghfirullah, apa yang telah kuperbuat, mungkinkah aku telah mendzalimi imam terbaik dalam hidupku? Maafkan aku Ya Allah...
Mas Yasir tak pernah protes sedikit pun dengan alasanku. Ia selalu mengerti dan mencoba memahami setiap alasan yang kukeluarkan. Dan dijawabnya dengan senyumnya yang polos.
Tapi lengan-lengan waktu menepuk pundakku dengan keras. Pintu waktu masuk pada bulan kedua, aku pun tak bisa terus mengelak dari tanggung jawabku. Sms Mas Yasir ini, seolah mempertegas statusku, bahwa aku bukanlah seorang perempuan biasa lagi, kini aku seorang istri. Kubaca lagi smsnya tertangkap dengan jelas oleh kedua mataku, smsnya ditutup dengan bertuliskan -suamimu tercinta-.
Langkahku berat, aku meninggalkan senja yang mulai habis ditelan bumi dan warnanya yang telah berubah menjadi garis gelap dan hitam. Segelap hatiku yang ingin menghadapi Mas Yasir di rumah. Aku seperti perempuan yang kehilangan semangat hidup, bahkan jika saja Allah tidak melaknat hambanya yang mati bunuh diri, rasanya kau ingin mati saja. Astaghfirullah...
Selemah inikah aku Tuhan, ini bukan Aku. Aku adalah seorang perempuan kuat yang tak mengenal kata menyerah dalam hidupnya sebelum ia lelah berusaha. Bukankah sebelumnya ada yang lebih berat dari ini? Aku selalu bisa bangkit sekalipun aku jatuh di lubang yang paling dalam sekalipun. Apa yang dapat membuatku tak sanggup kali ini. Hanya satu jawabannya, senyum polos Mas Yasir. Aku tak pernah sanggup untuk kehilangan itu...
Aku bahkan mampu bangkit ketika suatu malam yang suram, dua orang laki-laki dalam keadaan setengah sadar karena dipengaruhi oleh minuman keras merampas kehormatanku sebagai seorang perempuan. Aku mampu bangkit setelah hidupku sempat diwarnai oleh air mata yang tak pernah berhenti bermuara di kelopak mataku selama enam bulan lamanya. Aku mampu bangkit, dan ini semua menjadikanku perempuan kuat. Hasilnya hidupku kini jauh lebih baik. Tuhan menegurku dengan peristiwa ini, hikmah dari ini menjadikanku perempuan kuat dan tentunya lebih dekat denganNya. Aku aktif ikut dalam berbagai pengajian dan kajian keislaman. Dan langkahku inilah yang mempertemukanku dengan Mas Yasir. Suatu hari niat untuk menikah mempertemukan kami. Dan Alhamdulillah, ini berakhir ke pernikahan.
Langkahku gontai memasuki halaman rumah kecilku. Rumah ini kecil tapi sangat lapang untuk kami berdua. Karena tiap harinya dapat kulihat senyum polos Mas Yasir, dan setiap kata-katanya yang selalu diawali dengan kata princess dalam menyapaku. Terimakasih Ya Allah, telah memberiku suami yang penyayang.
“Assalamu’alaikum”, suara yang mengagetkanku dari arah belakang. Mas Yasir tepat berada di belakangku, dan kedua tangannya merangkulku dengan mesra.
“Subhanallah, wa’alaikumussalam warahmatullah...” ucapku setengah kaget.
“Dari mana princess?”
‘Dari taman Mas”
“Lagi...? akhir-akhir ini, kamu terlalu sering ke taman melihat senja, tidakkah cukup bagimu melihatku yang jauh lebih cakep dari senja?” Pertanyaan yang menggelitik. Kami berdua memasuki rumah kecil kami dengan gurauan Mas Yasir yang sekali lagi menurutku sangat polos.
Nyanyian burung malam berirama di luar rumah, mencoba menegaskan malam semakin larut, suaranya yang nyaring mengganggu telingaku. Bayangan rembulan menembus ranting-ranting pohon rumah membuat malam makin menyeramkan bagiku. Malam ini tak ada yang bersahabat sedikitpun, gumamku.
Kulihat Mas Yasir tengah membereskan laptopnya. Ia sepertinya telah siap menemuiku malam ini. Aku bahkan sangat takut padanya. Untuk pertama kalinya kulihat Mas Yasir seperti orang yang akan menelanku hidup-hidup.
Sampai detik ini, Mas Yasir bahkan belum tahu kalau beberapa tahun silam princessnya telah kehilangan kehormatannya sebagai seorang perempuan. Lidahku kelu setiap kali ingin jujur padanya, aku tak berdaya melihat tatapan mata dan senyumnya yang polos.
Hal seperti ini, harusnya telah kukatakan jauh sebelum aku memutuskan menikah dengannya, tapi ketika mencoba untuk jujur aku teringat bahwa ada larangan membuka aib yang telah Allah tutup dengan baik. Apakah ini juga berlaku untukku? Aku memberlakukannya karena terlalu takut kehilangan orang sebaik Mas Yasir. Tapi bukankah kalau sudah jodoh takkan kemana? Karena Allah telah menyediakan setiap pasangan untuk hamba-hambanya. Sisa kita bagaimana harus yang berikhtiar. Bukankah ini adalah bagian dari ikhtiarku? Pertanyaan-pertanyaan ini kembali menyerang kepalaku, tak ada lagi jawaban untuk melakukan pembelaan. Aku telah berada pada masa 23 Oktober, bulan kedua dari pernikahanku...
Kucoba memejamkan mata, salah satu usaha untuk menghidari Mas Yasir. Sampai kelopak mataku berkerut, kedua mataku tetap tak mau tidur. Hingga Mas Yasir datang, dan ia kembali bergurau seperti anak kecil yang mencoba bermain dengan mainannya.
“Aku tahu, kamu pasti pura-pura tidur princess” ucapnya dengan semangat.
..................................................... Aku tak menjawab apa-apa. Kurasakan ia sangat berusaha membangunkanku dari kepura-puraanku tertidur.
Akhirnya aku menyerah, ia mendekapku mesra. Akhirnya kewajibanku kutunaikan, dan di bulan kedua dari pernikahan kami Mas Yasir mendapat haknya. Alhamdulillah, malam ini berlalu tanpa protes sedikitpun kudengar dari mulutnya. Yang kutakutkan selama ini, ketika ia mendapati princessnya tidak perawan lagi di malam yang justru seharusnya sang istri masih perawan.
***
Sudah beberapa hari ini Mas Yasir tidak pulang. Tadi kulihat bayangannya memasuki kantornya, tak berani aku memanggil namanya. Bahkan untuk melihatnya pun kini aku tak sanggup, mataku hanya mampu menangkap bayangannya. Bagiku, bahkan bayangan Mas Yasir terlalu indah untuk seorang perempuan sepertiku.
Mas Yasir berangkat ke kantor pagi setelah ‘malam pertama’ kami. Ia pergi dengan senyumnya yang polos, namun aku bisa menangkap dengan jelas bahwa matanya terlihat sedih. Ia tidak menyentuh sedikitpun secangkir kopi tanpa gula kesukaannya. Tidak seperti biasanya. Kurasakan kecupannya dingin. Bahkan aku tak mendengar sapaan princessnya seperti biasanya. Untuk pertama kalinya kudengar ia memanggilku dengan nama lengkapku “Izzah Maria”, itu pun tanpa menatapku sedikit pun. Perasaanku mulai kacau balau, aku yakin Mas Yasir marah. Mungkinkah orang sebaik dia bisa marah? Tuhan, kalaupun ia marah, jangan biarkan laki-lakiku menangis...
Dhuhaku sedikit menenangkanku. Aku mengadu padaNya.
“Jangan biarkan orang sebaik Mas Yasir kecewa, dan terluka hatinya Ya Allah. Maafkan aku Ya Allah, jika aku bukan pendamping terbaik untuknya. Ya Allah, lindungi imamku...” air mataku mengalir...
Pukul 23.00 Mas Yasir belum juga pulang, tak ada kabar. Beberapa sms ku tidak dibalas, teleponku pun tak diangkat. Telepon yang ke 21, hp.(handphone) nya sudah non-aktif. Mungkin ia bosan mendengar hp.nya terus berdering.
Beberapa malam pun berlalu tanpa Mas Yasir. Kini aku bukan princess lagi. Aku sadar, aku adalah seorang “Izzah Maria” yang kini tak berharga sedikit pun. Mas Yasir telah pergi dan tak pulang barang semenit pun. Bahkan untuk pamit dan mengambil pakaiannya pun tidak. Ya Allah, lindungi Mas Yasir...
Dimana ia tidur? Rumah orang tuanya bahkan sangat jauh di Tasikmalaya. Butuh waktu 2 hari untuk pulang ke sana, kalaupun naik pesawat yang hanya butuh waktu beberapa jam, Mas Yasir tidak mungkin menempuhnya setiap hari.
Hari ini aku benar-benar yakin, Mas Yasir sangat kecewa karena perempuannya tak lagi perawan ketika ia menikah dengannya. Dan ia mengetahui itu setelah bulan kedua memasuki pernikahannya denganku.
Hari ke sembilan Mas Yasir tidak pulang, aku benar-benar kehilangan senyumnya yang polos. Aku sangat merindukan nasehat-nasehatnya yang selalu ia sampaikan setiap kali selesai makan, dan merindukan panggilan princess imamku. Mungkinkah ia merindukanku? Merindukan senyumku, dan secangkir kopi tanpa gula yang selalu kubuatkan untuknya sebelum ia berangkat kerja? Jujur, kuharap ia merindukanku...
Hari ini, aku bertekad menemui Mas Yaris di kantornya. Sepanjang perjalanan aku tak bisa berkonsentrasi. Nafasku sesak, langahku berat. Tak kutemukan oksigen yang banyak untuk proses pembakaran, terasa dunia ini begitu sempit. Entah bagaimana kelak aku hidup, jika pernikahanku harus berakhir sekarang. Astaghfirullah, Na’udzubillah... cepat-cepat kutepis pikiranku yang konyol.
Sebelum berangkat, sempat aku melihat tayangan di televisi penderitaan rakyat Palestina. Puluhan orang meregang nyawa. Aku melihat anak-anak dan wanita yang paling banyak menjadi korban. Pesawat-pesawat terus mengirimkan paket bom dengan sasaran gedung-gedung dan sarana umum vital lainnya. Lebih lagi ketika bom dijatuhkan di rumah-rumah sakit, tempat berlindung rakyat Palestina selama ini. Jalanan ditanami lubang. Jembatan hancur. Pembangkit listrik rubuh, mencipta gelap dan ngeri yang ditebarkan asap debu di mana-mana. Jerit ketakutan seperti suara Izrail, terbang membawa nyawa-nyawa yang dicabut.
Jauh lebih menderita dari keadaanku saat ini. Ketika aku hanya kehilangan Mas Yasir, berapa banyak umat muslim yang kehilangan suami, anak, istri, ayah, ibu, saudara, teman dan sahabat-sahabat seperjuangan dalam menegakkan Palestina. Aku harus kuat... ketika rakyat Palestina berusaha keras mempertahankan tanah dan imannya aku juga harus berusaha keras mempertahankan Mas Yasir dan membawanya kembali pulang. Sekali pun perjuanganku tidak separah umat muslim di sana.
Langkahku akhirnya sampai pada satu-satunya tempat di mana aku bisa menemui Mas Yasir. Aku menangkap bayangannya. Kulihat ia melirikku tajam dari arah gedung kantornya. Kuharap ia berlari menghampiriku, dan menanyakan kabarku. Tidak, Mas Yasir menghindariku. Ia masuk ke kantornya tanpa berbalik sekalipun.
Aku menunggunya di taman depan kantor. Jam pulang kantor aku harus bertemu dengannya, dan membicarakan semua ini. Mungkin ia sanggup tak bertemu denganku, tapi jujur aku tak sanggup.
“Izzah Maria, kenapa kau datang menemuiku?” Mas Yasir membuka percakapan. Nadanya datar, tak terbaca kekecewaan, kemarahan ataukah itu nada sedih... yang jelas ia berbicara tanpa menatapku sama sekali, sangat di luar kebiasaanya.
“Mas Yasir Abdullah, ke... ke...napa... Mm...mas tidak pernah pulang? Aku tak mampu melanjutkan kata-kataku, tangisku pecah seketika. Aku tak sanggup, ingin kakiku berlari tapi aku telah berniat menyelesaikan semuanya hari ini. Entah ini harus berakhir dimana?
Seketika Mas Yasir berbalik melihatku, dan refleks ia memelukku, mencoba menenangkan tangisku. Kurasakan pundaknya begitu lapang, bebanku seperti lenyap seketika. Tapi, entah kenapa tangisku semakin manjadi. Aku sesegukan di pelukannya.
“Kenapa kau tak jujur dari awal padaku?”
Aku tak sanggup berkata apa-apa. Kepalaku berat, nafasku semakin sesak. Pandanganku gelap...
***
Kulihat langit-langit rumahku. Dan Mas Yasir duduk disampingku, tampak ia setengah tertidur menjagaku.
“Mas...” panggilku dengan lemah
“Zah, kau sudah sadar, maafkan Mas... membuatmu khawatir akhir-akhir ini. Mas janji tidak akan pernah pergi lagi dari rumah walau sedang marah padamu.”
“Mas... maafkan Izzah, telah membuat Mas kecewa dan marah...” aku kembali sesegukan tak bisa melanjutkan kata-kataku.
Mas Yasir membelai kepalaku, mencoba membuatku tenang.
“Ussshhh.... sudah, tidak usah dipikirkan. Mas Janji, lain kali kalau Mas marah tidak akan meninggalkan rumah lagi, tapi kamu yang kusuruh pergi” dilanjutkannya dengan tertawa cengengesan, aku melihat ketawa Mas Yasir lagi... Aku kembali melihat senyumnya yang polos.
Aku ingin menjelaskan semuanya pada Mas Yasir, tapi dia tak ingin hal ini disinggung-singgung lagi. Baginya biarkan itu menjadi masa lalu. Tapi aku tetap ngotot ingin menceritakan semua padanya.
Tak seperti yang kubayangkan selama ini, setelah mendengar ceritaku Mas Yasir marah besar. Kulihat matanya memerah, dan tangannya mengepal sekuat tenaga.
“Kenapa ada yang tega membuat perempuanku seperti ini. Seandainya dari dulu kita dipertemukan, aku tidak akan membiarkan ada satu laki-laki pun yang menyentuh kulitmu.”
“Maafkan aku princess... Izzah Maria my Princess” tatapan mata Mas Yasir dan senyumnya yang polos telah kembali.
“Zah... bisakah aku minta satu hal” Mas Yasir menatapku serius
“Apa itu Mas...”
“Aku mau secangkir kopi tanpa gula buatanmu, aku sangat merindukannya” Selengkapnya...