Jumat, 28 Mei 2010

Sekolah Menulis FLP














Selengkapnya...

Senin, 24 Mei 2010

BERKENALAN DENGAN ALBUM CERITA PILIHAN“AJI BELLO”

Oleh: Sultan Sulaiman*

Membakar buku adalah sebuah kejahatan.
Tetapi ada yang lebih jahat dari itu, yaitu tidak membaca buku.
(Joseph Brodsky)

Menilik ensiklopedi sastra dunia, tak ditemukan banyak orang Indonesia yang namanya terukir sebagai prasasti. Hanya sebagian kecil. Sebagian kecil ini disebut Fitrawan Umar dalam Pengantar buku “Aji Bello” sebagai orang biasa yang tidak biasa yang terasing. “Mereka” segelintir yang terpanggil mengembangkan budaya literasi agar tetap hidup. Melawan dominasi teknologi yang makin gila mengeksploitasi visualisasi dan simbolisme. Sehingga substansi menjadi rabun bahkan tak memiliki arti.
Terjadi pengategorian yang amat dangkal. Penilaian hanya berdasar pada parade-parade manusia yang mengandalkan warna dan bentuk fisik. Hingga kebanyakan kita tertipu. Takaran kelayakan dinilai dari seberapa menariknya tampilan fisik yang dipertontonkan. Tak heran, jika produk kosmetik diburu untuk memenuhi hasrat fisik itu. Korban komoditas libido menampakkan benderanya. Yang hitam ingin putih, yang pendek mau tinggi, yang pesek ingin hidungnya mancung, dan yang keriting pengen rebounding, dll.



Kultur metropolis menyulap segalanya menjadi megah. Lalu lahirnya kegagapan dalam memaknai dan menafsirkan yang ada. Yang terjadi? Pengaburan makna memburu kecenderungan ingin dilihat dan ditonton. Menggadaikan harga dari sebuah substansi yang tak memiliki harga (terlalu mahal).Modernisme diartikan sebagai laku membumi-hanguskan tradisi. Moralitas digerus nilai-nilai permisifisme yang bercokol di bawah payung pluralitas.
Pragmatisme merebak mempertuhankan materi. Takaran berubah pada langkah kapitalisasi. Apa saja dikapitalisasi. Sebuah realitas semu mulai menganak sungai lalu berkumpul pada muara panggung-panggung komoditas. Komoditas libido! Sebuah istilah yang hari ini mecekoki setiap kepala. Mungkin termasuk kita.
Ada yang mencoba melawan. Dominasi itu terlalu angkuh membentangkan ragam ilusinya. Terjebak pada sebuah pengategorian yang tak ubahnya terbaca dari topeng-topeng bergentayangan. Bukan pada simbolisasi, tapi pada substansi. Tak sekadar kuantitas namun kualitas lebih penting. Keasadaran! Mungkin juga kejemuan. Bahkah amarah yang berubah marah memaksa semua yang terbuang dikumpulkan satu-satu. Kesadaran globalisme telah tumbuh, ditangkap amat cerdik dari lokalisme yang hampir terbuang. Enam belas (16) anak muda itu mengukirnya dalam Album Cerita Pilihan “Aji Bello”. Sebuah penegasan langkah yang meruntuhkan ragam ketakutan yang kadang melumpuhkan kreativitas.
“Mereka bisa!” mungkin seperti itulah. Jika selama ini, obsesi itu mati di panggung-panggung ilusi minim aplikasi. Maka enam belas anak muda itu dengan gagah menjawab jabaran Abraham Maslow. Hasrat ingin beraktualisasi, keinginan untuk memiliki legitimasi. Kukatakan: “Mereka butuh aktualisasi maka layak mereka dikatakan ada”.
Memang belum terlalu sempurna. Namun menelusuri dua puluh cerpen dalam Album Cerita Pilihan “Aji Bello” membuat kita membuka mata selebar-lebarnya. Bahkan tercengang. Enam belas mutiara telah tumbuh memercikkan pesonanya pada etalase timur yang dipandang sebelah mata. Sekali lagi “Mereka bisa!” Mereka anak muda yang biasa melakukan hal biasa, makanya mereka memilih menjadi asing di sudut-sudut kamar. Membentangkan buku lalu menjalarkan imaginasi menembus batas cakrawala. Lalu terangkai kisah-kisah tentang pengembaraan itu. Hasilnya? Sebuah buku Album Cerita Pilihan “Aji Bello” tersaji amat seksi.
Inferiorisme! Telah runtuh terinjak obsesi bara api yang meletup-letup. Mendobrak benteng paling kokoh yang bernama “belenggu” dan “ketakutan”. Pertarungan telah dimenangkan enam belas anak muda yang membagi kisahnya. Kegelisahan memaksa segalanya terekspresi nyata dalam suguhan sederhana namun mendebarkan. Album Cerita Pilihan “Aji Bello” mencoba mematahkan dominasi barat atas timur. Ayam Jantan itu sudah berkokok amat lantang. Dengarkan! Bahkan kotekan Ayam Betinanya jauh lebih nyaring. Dengarkan!
Menulis! Sebuah perbendaharaan yang banyak diminati. Tapi para peminatnya akan mati sendiri lantaran tidak bisa menggenggam obsesi. Ada yang sudah menggenggamnya namun tidak terlalu erat, lalu terhempas pergolakan zaman yang ingin mengajarkan sebuah pertarungan. Tak sedikit yang bertahan dan melawan, yang kalah tentulah jadi pecundang dan tak akan pernah bisa merengkuh mimpinya. Selamat untuk para pemenang. Enam belas anak muda itu betul telah “menjadi penulis!”
Kolaborasi mengesankan antara Forum Lingkar Pena (FLP) dengan Pustaka Refleksi. Satu lembaga penulisan, satu lembaga penerbitan. Keduanya memiliki niatan mengokohkan taring Timur dalam dinamika perbendaharaan sastra dunia. Tidak berlebihan, kelak dalam Ensiklopedi Sastra Dunia, enam belas anak muda itu mungkin layak menerima antrian sebagai para penggiat leterasi yang tak kenal mati. Ingin menyamai prestasi Pramoedya Ananta Toer sebagai nomine Nobel Kesusastraan Dunia. Bisa saja, tak sekadar nomine bahkan bisa jadi peraih nobel. Semoga saja.
Karena membaca sastra adalah membaca dunia. Harapan selanjutnya, kearifan timur akan terus tumbuh, menghadrikan wahana dan wacana yang teraktualisasi amat nyata dalam khasanah literasi kita. Enam belas anak muda yang merangkum karyanya dalam Album Cerita Pilihan “Aji Bello” layak diapresiasi lebih jauh. Selamat bagi mereka yang telah memenangkan pertarungan. Hal yang terberat setelah kemenangan adalah mempertahankannya!

*Ketua Forum Ligkar Pena Wilayah Sulawesi Selatan
Selengkapnya...

Sabtu, 22 Mei 2010

JEJAK-JEJAK PELANGI


Oleh: Dewi Rahmayani Rahman
Alumni TOR FLP Unhas
Jika dapat ku berbisik pada langit
Akan kusampaikan padanya
Tentang keresahanku pada panggung sandiwara
Di sini dapat kulihat
Hitam dan putih
Kusaksikan pula merah, jingga, nila dan ungu
Tapi semua di bumi
Pada langit ku Tanya lagi
Adakah sinarnya telah sampai ke bumi
Ataukah hanya biasnya yang sampai
Menerangi wajah-wajah bisu penghuni panggung
Lihatlah bumiku
Diterpa matahari dan diterangi bulan
Bukankah seperti panggung sandiwara?
Lalu, langit bertanya padaku, kau berwarna apa?



Selengkapnya...

Rabu, 19 Mei 2010

Yang Tersisa dari TOR I FLP UH

Hm, ini dia cerpen terbaik peserta TOR FLP UH menurut penilaian panitia. Cerpen ini dibuat dalam waktu semalam loh saat TOR berlangsung...
Yang lain, jangan mau kalah!! Ayo belajar terus di sekolah menulis FLP!
***



AKU SAYANG NENEK
Oleh: Nurafni Oktaviyah
Aku menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutku. Suapan terakhir sarapan di Minggu cerah ini. Kuceruput secangkir teh manis sedikit demi sedikit. Suara yang timbul dari bibirku ketika menyerumput hangatnya teh menimbulkan sensasi yang tak biasa bagiku. Sambil memejamkan mata, kunikmati sensasi itu.
“ Ssrrllp… ssrrllp” berkali-kali terdengar dari bibirku sambil bersandar dari kursi goyang teras rumah, memandangi orang yang lalu lalang di jalan.
“ Hei… tepukan keras dipundakku membuatku tersendak Tubuh tua tapi masih lincah itu kini berdiri di hadapanku. Berkecak pinggang disampingnya tergeletak gunting rumput.
“Uhuk…uhuk…” suara batukku terdengar beberapa kali. Setetes air teh keluar dari hidung mancungku, warisan dari kakek guyut”
“ Nenek! Bikin kaget saja. Kalau Rinda menelan sendok nenek mau tanggung jawab?”
Kutatap wajahnya, tidak ada guratan kepedulian disana. Sepertinya bakalan pecah perang dingin lagi. Entah untuk yang keberapa.
“ Rinda, kamu itu sudah mahasiswi. Masa masih harus diajari etika dan sopan santun saat makan. Sudah makan di teras, pakai angkat kaki, minum pun tidak sopan. Apa perlu nenek ajarkan table manner?”


What? Nenek tahu table manner segala? Sejak kapan? Tapi semua pertanyaan itu hanya kutanamkan di benakku. Alurnya sudah aku tahu. Pastinya, jika aku balas ucapanya, ia akan berubah menjadi pengkhotbah. Bisa memakan waktu sampai dua jam, seperti biasanya sebelum itu terjadi, kuputuskan kabur ke ruang tamu.
Nenek masih bergeming di tempatnya. Kutolehkan muka kea rah nenek ketika melewati ambang pintu. Ekor mataku tertuju ke kakinya. Sepatu bot selutut, belepotan lumpur masih tersisah di sana. Mataku melotot seketika.
“ nenek… Rinda baru selesai ngepel lantai” teriakku histeris.
Kutinggalkan nenek dengan wajah masam. Masih sempat aku lihat mukanya kebingungan menatap jejak-jejak langkah lumpur yang di tinggalkan di atas ubin putih teras rumah kami.
***
Sejak nenek datang ke rumah ini, suasana berubah total 180° dari keadaan normal. Sebenarnya nenek punya rumah di kampung di pelosok Kabupaten Sinjai. Tapi sejak kakek meninggalkan kampung dan tinggal bergilir di rumah kedua anaknya. Om Deni, anak pertama nenek tinggal di Sulawesi Barat. Anak Bungsu nenek, ayahku mndapat giliran untuk nenek tinggal. Sejak satu bulan belakangan ini, artinya masih ada satu bulan lagi nenek di sini sebelum ke Sulawesi Barat.ke tempat Om Deni.
Sebenarnya nenek baik dan sangat penyanyang. Ia selalu memberiku hadiah. Apalagi jika sehabis menerima uang pensiunan kakek, aku pasti mendapat jatah darinya. Aku juga sering memijatnya jika mulai mengeluh kakinya yang tiba-tiba kram. Ciuman lembutnya dan pelukan hangatnya selalu diberikan pertanda terima kasih dan rasa puas terhadap pijitanku. Itu jika keadaan normal. Sangat berbeda jika suasana perang muncul. Ada saja kelakuan nenek yang kadang membuat aku sedikit kasar dengan ucapanku kepadanya. Bukan maksudku seperti itu, tetapi kadang nenek melakukan kesalahan yang sama, dalam waku yang relative tidak berselang. Misalnya seperti pagi tadi selesai mengepel lantai, nenek dengan santainya bolak-balik di tempat itu. Tanpa rasa bersalah memakai sandal kotor. Di lain waktu ia begitu rajin membereskan dapur yang kotor. Saat aku bantu ia menolak. Awalnya aku bersyukur karena nenek meringankan bebanku yang habis kuliah mesti bantu-bantu dapur. Tapi apa yang terjadi? Pekerjaan dapur memang kelihatan selesai, Tapi peralatan masih berminyak, bau dan tidak bersih. Dilain waktu, nenek pernah merapikan kamarku. Semua kertas-ketas yang bertebaran dimbilnya kemudian di bakar di tong sampah, termasuk tugas kuliah 10 lembar yang ditulis tangan. Bagaiman tidak ngamuk.
Rumah menjadi ramai oleh teriakan-teriakanku. Banyak ulah nenek yang harus aku hadapi dengan mengomelinya, bermuka masam di hadapanyan. Atau kadang hanya suara nenek yang terdengar tanpa henti bicara. Memberikan siraman rohani untuk ayah dan ibu. Kadang aku bedoa semoga nenek tidak betah tinggal di rumah ini. Kejam yah?
***
Nenk kritis. Sekarang di UGD RSU Whidin. Kutatap layar ponselku lama. Pesan dari ibu kuterima saat akan melangkah masuk ke ruang kelas. Tak sempat lagi meminta izin dosen yang sudah telat setengah jam. Kuayuhkan langkahku tergesa menuju rumah sakit. Syukur letaknya dekat dengan fakultasku, Fakultas Hukum.
Sambil berjalan ke rumah sakit kutelpon ibu. Ktanya nenek terpeleset di kamar mandi, ia jatuh pingsan dan belum sadar sampai sekarang.
“ Allah… ini salahku. Kulupakan kewajibanku membersihkan WC minggu kemarin karena hatiku kejengkelan kepada nenek”
Kuberdoa semoga aku masih diberi kesempatan melihat senyum nenek dan merasakan hangat pelukannya. Biarlah rumah rebut, gaduh, da ceramah nenek terdengar tiap malam. Biarlah. Aku ingin memeluknya dan berkata “ aku saying nenek”

Selengkapnya...

Rabu, 12 Mei 2010

Lomba Essay PWNI SulselBar

Ketentuan dan syarat lomba
1. Tema essay "peran pendidikan dalam menjawab permasalahan nasional di bidang lingkungan hidup"
2. Naskah essay minimal 3 lembar, spasi 1, times new roman, font 12
3. Essay belum pernah dipublikasikan di media apapun dan atau belum pernah memenangkan lomba
4. Setiap peserta dapat memasukkan essay sebanyak 3 naskah dan akan dipilih secara acak oleh panitia tanpa pemberitahuan sebelumnya
5. Essai dikirim dalam bentuk soft copy/CD dan hasil cetakannya disertai dengan data teknis seperti nama peserta (sesuai dengan identitas)
6. Uang pendaftaran Rp.15.000 per essai
7. Tulisan dikirim ke sekretariat PWNI Suleslbar Jl.Anggrek Raya Ruko H.1 No.20. Panakukkang (depan komp.Maizonet) Makassar
CP. Yusmira (085299308997)




Selengkapnya...

FLP Unhas Berkunjung ke Redaksi

MAKASSAR-- Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting Universitas Hasanuddin (Unhas) melakukan kunjungan redaksi di Harian Fajar, 9 Mei. Mereka diterima redaktur Fajar Dian Hendiyanto.

Rombongan FLP Unhas yang berjumlah 30-an orang tersebut dipimpin Ketua FLP Unhas Fitrawan Umar. Kunjungan tersebut untuk melihat lebih dekat cara kerja jurnalistik yang mereka pelajari lewat pelatihan.

"Dengan kunjungan ini, kami bisa mendapat informasi mengenai cara kerja wartawan, proses kerja redaksi dan hal-hal lain yang belum kami ketahui," ujar Fitra, mahasiswa Teknik Arsitektur ini. (nin)

metronews.fajar.co.id





Selengkapnya...