Jumat, 10 Juni 2011

FLP-ers, Mari Banjiri Makassar International writer Festival


Untuk pertama kalinya akan digelar Makassar International writer Festival yang diselenggarakan oleh Rumata salah satu rumah budaya di Makassar yang di gagas sutradara film Riri Riza dan penulis Lily Yulianti Farid pada awal tahun 2010.
Tidak hanya penulis-penulis Makassar penulis kaliber dunia akan hadir dalam festival tersebut mulai dari Belanda, Turki, Mesir, Australia hingga Amerika,

Penulis Makassar antara lain , tim kurator yang diketuai penyair/penulis M. Aan Mansyur memilih empat penulis untuk menjadi peserta undangan dalam festival ini, yakni penyair dan sutradara teater Shinta Febriany, penyair Hendra Gunawan ST, dan dua penulis baru yang dinilai menjanjikan, Erni Aladjai dan Hamran Sunu (kakak ini kader FLP Loh,,)
Jangan lewatkan kegiatan-kegiatannya :

Makassar International Writers Festival 2011 – Mempersembahkan Writers Unlimited Tour

13 Juni 2011

09.00 – 12.00 Sastra di Udara – kerjasama dengan stasiun radio lokal untuk mengadakan pembacaan karya sastra secara live, menandai dibukanya Makassar International Writers Festival (Radio Suara Celebes, Radio Prambors, Radio Madama, Radio Mercurius )

Menghadirkan: Shinta Febriany, Hamran Sunu, Hendra GST, Erni Aladjai



09.00 – 16.00 Bookcraft Workshop bersama Forum Indonesia Membaca dan Harian Fajar di Graha Pena Makassar.

* Biaya pendaftaran Rp. 30.000



14 Juni 2011

08.00 – 14.00 Tur ke Galesong untuk mengadakan pembacaan karya dan diskusi dengan warga bersama Ikatan Sarjana Kelautan ISLA-Unhas

Menghadirkan seluruh penulis undangan : Shinta Febriany, Hamran Sunu, Hendra GST, Erni Aladjai, Gunduz Vasaaf, Maaza Mengiste, Abeer Soliman, Rodaan Al Galidi

*Kapasitas tur 25 peserta, tempat terbatas, hubungi: eventrumata@gmail.com



16.00 – 18.0 Kuliah Umum dan Pemutaran Film “The Making of I La Galigo”menghadirkan Ibu Restu I Kusumaningrum (Produser I La Galigo) bertempat di Museum Kota Makassar

*Gratis dan Terbuka untuk umum



19.00 -22.00 Malam Pembukaan dengan pemutaran film pendek Tribute to Muhammad Salim (Penerjemah naskah klasik I La Galigo) yang dipersembahkan oleh Harian Kompas. Menghadirkan penyair Sapardi Djoko Damono dan Penulis Undangan Unlimited Writers, bertempat Restoran Ballairate Hotel Pantai Gapura Makassar

*Terbatas untuk undangan





15 Juni 2011

09.00 – 14.00 Tur Penulis ke Pulau Barranglompo untuk menghadiri “Observasi dan Dialog dengan Warga” dilanjutkan dengan diskusi penulis dengan tema “Mengisahkan Kebenaran : Sebuah Pengalaman Diri”

Menghadirkan seluruh penulis undangan : Shinta Febriany, Hamran Sunu, Hendra GST, Erni Aladjai, Gunduz Vasaaf, Maaza Mengiste, Abeer Soliman, Rodaan Al Galidi

*Kapasitas tur 25 peserta, tempat terbatas, hubungi: eventrumata@gmail.com



15.00 – 16.00 Workshop terbatas : Adaptasi Karya Sastra ke Sinema bersama Riri Riza, Hotel Santika Makassar

*Biaya pendaftaran Rp100.000 umum/Rp75.000 mahasiswa



16.00 – 17.00 Program Komunitas : Menulis Membuka Jalan bersama Ryana Mustamin, Khrisna Pabichara, Fauzan Mukrim bertempat di Museum Kota Makassar

*Gratis dan Terbuka untuk umum



19.00 – 22.00 Program Komunitas : Pembacaan Karya Penulis Manca Negara dilanjutkan dengan Debat Terbuka “Penyair vs Politisi” bertempat di Museum Kota Makassar

Menghadirkan seluruh penulis undangan : Shinta Febriany, Hamran Sunu, Hendra GST, Erni Aladjai, Gunduz Vasaaf, Maaza Mengiste, Abeer Soliman, Rodaan Al Galidi

*Gratis dan Terbuka untuk umum





16 Juni 2011

0930 – 1100 Book Launch : Modern Library of Indonesia with Harian Fajar Makassar, Fajar TV Studio

*Gratis dan Terbuka untuk umum

13.00 – 14.30 Children’s Book Corner bersama Forum Lingkar Pena Sulsel dan Wendy Miller – Judith Uyterlinde bertempat di Museum Kota Makassar

*Gratis dan Terbuka untuk umum



14.30-16.30 Menulis di Era Media Baru, Dari Blogger ke Best Seller bersama Abeer Soliman (Mesir) – Meeza Mangaste (Ethiopia/USA) – Trinity (Indonesia) bertempat di Museum Kota Makassar

*Gratis dan Terbuka untuk umum



19.00 – 21.00 Resto Djuku, Rumata’ Artspace and Writers Unlimited present: The United Nations of Fish A Fundraising Dinner featuring Janet deNeefe and Writers Unlimited’s Writers

Penampilan Khusus Aisha, Si Koki Cilik, Musik oleh Sese Lawing dan para penulis undangan. (*Harga tiket The United Nations of Fish Rp200.000 dapat dibeli di Djuku atau pesan melalui eventrumata@gmail.com

**Seluruh keuntungan disalurkan untuk pembangunan Rumata’



17 Juni 2011

08.00 – 10.00 Sastra di Udara – kerjasama dengan stasiun radio lokal untuk mengadakan pembacaan karya sastra secara live, untuk menandai berakhirnya Makassar International Writers Festival (Radio Suara Celebes, Radio Prambors, Radio Madama, Radio Mercurius )

Featuring all participating writers : Shinta Febriany, Hamran Sunu, Hendra GST, Erni Aladjai, Gunduz Vasaaf, Maaza Mengiste, Abeer Soliman, Rodaan Al Galidi





Informasi selengkapnya lihat di: www.rumata-artspace.org

Ikuti kami di Twitter : www.twitter.com/RumataArtspace

Facebook : www.facebook.com/RumataArtspace

*Untuk berpartisipasi hubungi eventrumata@gmail.com atau kontak Ita Ibnu : itaibnu@gmail.com / HP : 0811469466



* Alamat Museum Kota Makassar: Jl. Balaikota No. 11 A Makassar, Sulawesi Selatan

** Program dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Source: http://rumata-artspace.org/jadwal-kegiatan-miwf-2011.html Selengkapnya...

Kamis, 02 Juni 2011

AWAN KELABU DARI SUDUT BAERUT TIMUR

Fajar di Jounieh, akhir Juni 2006

Jounieh adalah sebuah pelabuhan kecil di Baerut Timur. Aku sangka akan menjadi tempat liburan yang indah yang bisa mendukung proyek penelitianku. Ternyata diluar dugaan, pelabuhan ini justru dipenuhi dengan para lelaki yang berpakaian seragam dan memegang senjata laras panjang AK-47.
Negeri ini seperti sedang dilanda perang. Saya hendak ke American University Hospital, tetapi beberapa teman yang ikut bersamaku mengatakan bahwa Garis Hijau Perdamaian sedang di tutup. Jadi terpaksa rombongan kami harus menunggu sampai keesokan harinya. Garis Hijau Perdamian itu membagi umat Kristiani dan umat Muslim. Aku tidak mengerti kenapa hal ini bisa terjadi. Muslim dan Kristiani tampaknya tidak bisa hidup dengan damai.
Benar kata ibu di Garis Hijau Perdamainan itu sering terjadi perang. Umat muslim di sana terbagi dalam dua brigade. Ada brigade-18 yang diisi oleh muslim Sunni dan brigade-6 terdiri dari muslim Syi’ah. Aku seorang Kristen Ortodoks tetapi aku senantiasa diajarkan untuk tetap menghormati pemeluk agama lain terlebih kepada sesama Kristen. Memilih daerah ini untuk penelitian adalah satu keputusan yang salah.
Jounieh, Awal Juli 2006
Hari ini aku berencana menelpon ke rumah untuk mengabarkan posisiku. Disini sama sekali tidak ada mesin ATM. Di kanan kiri jalan hanyalah bangunan-bangunan yang sebagian besar terbuat dari batako dan kondosinya tidak layak huni. Sungguh mengerikan. Aku berjalan meninggalkan penginapan menuju sebuah toko di sudut jalan yang kebetulan menyediakan jasa telepon. Telepon selularku sama sekali tidak menemukan sinyal.
Baru dua ratus meter berjalan, aku merasa ada langkah kaki yang membuntutiku. Ketika menoleh, spontan dua lelaki di belakangku memberi isyarat untuk jalan dengan menggunakan ujung senjata laras panjang AK-47. Wajah keduanya tertutup kafiyeh¹. Sangat menyeramkan dan membuat bulu kudukku merinding. Kakiku tertati mengikuti jalan mereka yang begitu cepat. Ada kekhawtiran di sana. Aku takut. Mataku terpejam sepanjang jalan. Aku tak bisa melarikan diri di kanan kiriku hanyalah hamparan gurun. Melarikan diri sama saja dengan bunuh diri. Tetapi memilih untuk bertahan artinya siap menunggu kematian yang akan datang kapan saja.
Ketakutanku semakin menjadi-jadi ketika digiring masuk ke goa. Aku di dorong dengan paksa memasuki mulut goa yang sangat sempit. Aku dengar mereka saling membentak tetapi aku sama sekali buta dengan bahasa mereka. Aku lahir di Indonesia dan dibesarkan di Inggris, sangat tidak mungkin bagiku untuk bisa memahami bahasa mereka. Alasan penangkapanku juga belum jelas. Aku tidak bisa menghubungi ibu maupun teman-teman di penginapan dalam kondisi tangan diikat kebelakang. Saat ini aku belum siap mati. Aku belum menyelesaikan tesisku. Sangat tidak ikhlas jika sekarang aku harus mati.

Jounieh, Pertengahan Juli 2006

Salah seorang tentara masuk dan menayaiku. Aku menjawab dalam bahasa Inggris. Bahwa aku tidak mengerti dengan apa yang mereka bilang. Tampak tentara itu beranjak pergi. Sebelumnya dia mengibaskan tangannya memintaku untuk keluar. Aku menuruti perintahnya. Kali ini dia sudah tidak mengenakan senjata. Mungkin diletakan di luar untuk menghabisi nyawaku. Dia tersenyum menyambutku di mulut goa. Aku merasa dia tidak tersenyum tetapi sedang menyeringai padaku.
“I am not supposed in here.”² Terteriakku dalam bahasa Inggis. Dia kaget. Aku tak peduli. Aku harus tahu kenapa aku ditangkap. Aku bukalah pemberontak. Aku hanya seorang mahasiswa yang sedang penelitian bersama teman-temanku.
Ciii. Aku meludahi mukanya. Dia meradang. Aku balas berdiri menantangnya.
“Kamu hanya seorang tawanan.” Geramnya.
“Apa salahku sehingga aku ditangkap?”
“Kamu penyusup.” Aku menatapnya sinis.
“Biarkan aku pulang!” Aku berteriak tepat di depan mukanya. Si krempeng itu menatapku dan dengan kasar menarik tanganku ke arah barat. Persis seperti sedang menggiring hewan ternak masuk ke kandangnya. Aku memberontak dan menepis dengan kasar. Dia kemudian berbalik dan menatapku sengit.
“Uncontrolled, i am feel you’re death.”³ Bentaknya dalam bahasa Inggris yang kacau. Tiba-tiba saja aku menendangnya dengan kasar. Satu keberanian yang datang tiba-tiba.
“Aaaa.”
Belum sempat dia memakiku. Seorang rekannya dari arah selatan berteriak lantang.
“Thayyara.”4
Sebuah helikopter mendarat dan menurunkan lima orang penumpang dan kesemuanya perempuan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Beberapa luka berdarah di muka dan jalan terpincang-pincang. Aku tidak tahu tentara apa yang sedang menangkap kami. Yang aku tahu mereka sangat kasar dalam berbicara. Mereka menggiring kelima perempuan yang kondisinya menyedihkan itu masuk ke goa. Jelas aku mendengar kelimanya menjerit panjang. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Pikiran buruk tiba-tiba merasuk.
Belum beranjak dari tempatku berdiri. Seorang datang membawa mobil pic up. Dengan kasar mereka memaksaku masuk. Aku duduk diantara kedua tentara yang menangkapku. Badanku terjepit karena mereka memiliki tubuh yang besar. Tubuhku merinding, komat-kamit aku mengucapkan doa dalam hati. Bayangan demi bayangan mengerikan semakin membuatku mengeriakn semakin membuatku merinding. Berita-berita tentang korban perang di New Bank yang aku baca di koran-koran semakin membuatku gemetar ketakutan. Perempuan-perempuan perbatasan diperkosa beramai-ramai lalu mayat mereka dilempar begitu saja di pinggir jalan. Andaikan saja aku seorang perempuan, tentu aku lebih memilih mati saja diberondong peluruh dari pada harus diperkosa beramai-ramai. Mungkin karena aku seorang laki-laki, maka mereka akan mencincang tubuhku atau memaksa aku untuk bergabung dengan barisan tentara mereka. Rasa sakit dan kejang di kaki menyerang tiba-tiba. Aku tidak peduli yang aku pikirkan adalah bagaimana cara melarikan diri.
Tengah Malam, Akhir Juli 2006
Rupanya aku dibawa ke sebuah tempat di sisi bukit yang pada tahun 1993 menjadi sebuah tempat pengasingan musim dingin 400 orang Palestina yang oleh pihak Zionis setelah dideportasi dari Palestina. Aku muak melihat kamar-kamar yang dipenuhi dengan berbagai alat penyiksaan dan mutilasi. Mesin kejut listrik di kamar dan alat introgasi di kamar lain.
Aku melihat dengan jelas algojo mengatur arus listrik kepada orang yang disiksa hanya dengan menekan satu tombol. Yang lebih mengerikan lagi disudut ruangan ada sebuah tiang penyiksaan, dimana korban akan digantung pada kaki atau tangannya yang terikat dan dibiarkan tergantung dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Ini adalah sebuah peringatan bagiku untuk tidak banyak bicara. Aku menjerit keras saat seorang tentara mendekat ke arahku dan menarik rambutku dengan kasar hingga sebagian rambutku ikut tercabut.
Seseorang kembali menendang mukaku dengan laras. Aku merintih. Di sisiku ada seorang perempuan berdiri dengan pakaian terbuka sambil menangis sejadi-jadinya. Tidak usah ditanyakan apa yang mereka perbuat kepadanya. Aku sudah tahu. Dalam keadaan kesakitan aku masih sempat melihat seorang serdadu mendekat kepadanya dengan penuh kemenangan di tangannya ada sebuah senjata yang siap diledakkan. Aku berteriak kencang dan berguling ke arah perempuan tadi sebelum sempat tentara tadi menembakkan pelurunya.

Rumah Sakit Akka, Agustus 2006
Saat aku membuka mata. Seorang perempuan tersenyum padaku. Dia mengenakan kerudung kuning gading dengan sebuah kacamata yang tergantung di lehernya.
“Syukurlah, kamu sudah sadar. Ini Rumah Sakit Akka.” Sahutnya kemudian. Aku berusaha menggerakkan kepalaku. Tetapi rasanya sangat sakit semakin aku mencoba bergerak, sakitnya semakin menjalar keseluruh tubuh. Aku meringis.
“Kenapa sakit?” Aku menatapnya menunggu jawaban.
“Seseorang menemukanmu di perbatasan dalam keadaan terluka parah. Syukurlah kau selamat.” Dia kembali mengubar senyumnya.
“Kakiku sakit, sangat sakit. Tanganku juga.” Aku memandangnya meminta pertolongan.
“Kamu akan sembuh dengan segera. Aku akan kembali setengah jam lagi.” Dia berlalu meninggalkanku sendiri di ruangan bercat putih itu. Aku tidak sendirian. Di kanan kiriku terdengar rintihan yang serupa. Aku berusaha menggapai horden dan melihat apa yang terjadi di sebelahku. Tetapi tangan kananku tidak bisa digerakkan beralih ke tangan kiri tetap saja tidak bisa. Aku melirik tanganku. Kenapa keduanya tidak bisa bergerak.
“Tanganku.” Aku mengerang tetapi suara yang keluar hanya terdengar seperti rintihan.
“Aku kehilangan tangan kananku.” Aku menagis sejadi-jadinya. Mungkin saja kakiku mengalami hal yang sama.
Ohhhhh

Rumah Sakit Akka, Pertengahan Agustus 2006
Dokter itu bernama Amber. Perempuan kelahiran Irak. Umurnya baru 16 tahun ketika perang berkecamuk di negaranya. Saat dia masih duduk di bangku SMA Kelas dua, kediamannya yang dulu tenang telah berubah menjadi lautan api dan perang terjadi dimana-mana ketika itu. Satu demi satu teman-teman sekolahnya menghilang sebagian ditemukan tergeletak di jalan dengan keadaan mengerikan. Tidak ada yang berani mengusutnya. Semua ketakutan. Situasi yang mecekam dan memilukan tidak membuat para tentara-tentara itu berhenti membantai manusia. Justru dia semakin ganas saja. Ayah dan ibunya di bunuh didepan matanya. Dia diperkosa beramai-ramai.
“Tetapi syukurlah Tuhan masih menyanyangiku.” katanya kemudian sambil tersenyum.
“Gila ini perempuan ini, sudah diperkosa, orang tua dibunuh tetapi masih saja bersyukur.” Aku terdiam menelan ludahku sendiri.
“Saat aku diseret keluar rumah, lalu kemudian rumahku dibakar sampai tak tersisah, aku panik luar bisa dan mengira ini adalah akhir dari segalanya. Aku menagis berteriak dan kesetanan. Tentara-tentara itu semakin bersemangat menyorakiku. Dia mengencingiku dan menendangku dengan ganasnya. Tetapi aku bersyukur tidak dibunuh oleh mereka seperti yang mereka lakukan pada saudara-saudaraku yang lain, kepada teman-temanku dan kepada penduduk negeriku. Kemudian, dalam keadaan terluka parah aku ditolong oleh seorang tentara yang bersimpati padaku. Dia membawaku menjauh dan menyuruhku berlari ke kamp pengungsian. Sebulan di kamp, aku dikirim ke Boston.
Aku ditawarkan untuk menjadi warga negara resmi, tetapi aku menolaknya. Aku sangat bersyukur karena tidak semua seberuntung aku. Kebanyakan dari mereka harus kembali ke Irak setelah pemerintah Boston memastikan keadaan sudah aman. Perang dinyatakan telah usai, tetapi aku tidak benar-benar yakin. Perang belum usai. Semuanya memakan waktu lama sampai akhirnya kembali seperti sedia kala, seperti disaat aku masih anak-anak memegang ketapel seperti layaknya anak laki-laki.“ Kedua bola matanya memerah, ada air bening sebesar biji jagung tertahan di pelupuk matanya. Aku terpana.
“Aku bahkan mendapatkan kesempatan untuk kembali bersekolah. Aku sangat senang karena masih ada harapan untuk melanjutlkan masa depanku yang sempat direnggut paksa dariku.”
“Boleh aku tanya sesuatu?”
“Ya.”
“Apa kamu tidak pernah merwasa hancur karena perang itu?”
“Tentu saja aku merasa duniaku hancur, masa depanku runtuh seketika, tetapi itu hanya aku rasakan beberapa saat sampai semuanya berubah, akupun merubah pikiranku. Bahwa perang mengantarkan penderitaan, aku mungkin salah. Inilah jalan hidup yang harus kita lalui sepahit apapun itu. Perang telah mengubah hidupku menjadi lebih baik”
“Jadi kamu setuju dengan perang?”
“Bukan begitu.”
“Lalu?”
“Banyak diantara orang-orang Irak yang justru sekarang hidup makmur setelah menjadi warga negara lain. Andai saja tidak ada perang itu, mungkin mereka akan tetap menjadi warga negara Irak yang melarat, jadi jangan merasa dirugikan akibat perang. Yakin Sang Pencipta telah menyiapkan sesuatu yang lebih indah setelah kejadian ini.”
“Lalu kenapa memilih Akka yang dipenuhi dengan bom?” Dia hanya tersenyum lalu meninggalkanku sendirian.
Siprus, Akhir Oktober 2006
Kabut masih terlihat menggumpal menyelimuti alam. Udara masih dingin hingga terasa samapai ke tulang sumsum ketika aku menelusuri jalan yang dipenuhi batu kerikil, diapit rumah-rumah penduduk yang seragam. Di ufuk timur mulai terlihat kilatan emas yang berada tepat di atas pohon. Aku begitu rindu dengan suasana seperti ini, sudah beberapa bulan aku tidak pernah melihat matahari terbit dan hari ini aku melihatnya langsung. Sungguh sesuatu yang amat berharga buatku. Sangkaku tidak akan pernah melihat matahari pagi di negeriku semenjak penangkapanku tiga bulan lalu.
Di seberang jalan terlihat perumahan yang cukup padat dan tepat di ujung jalan, di sanalah rumahku. Aku sangat berkeinginan melihat rumah itu dan menyapa semua anggota keluargaku. Itu penting sekali untukku karena aku telah menjauh dari rumah itu sejak tiga bulan yang lalu. Sesampai di sana tiba-tiba hatiku berdengup kencang ada desakan yang menggelinding dalam sanubariku bersama dengan itu bulir-bulir bening mengalir di bawah kelopak mataku padahal aku sedang tidak menangis.
***
“Ibu, anakmu telah kembali.” Aku berusaha keras untuk tidak menangis mendengar suara ibu di telepon.
“Sayang, kenapa tidak pernah memberi kabar? Temanmu bilang kamu tiba-tiba saja menghilang. Ibu sangat khawatir dan mengira kamu sudah ,meninggalkanku selamanya.” Aku mendengarnya menagis bahagia. Aku tahu kami saling merindukanku. Tetapi dengan keadaan seperti ini, apakah ibu mau menerimaku?
“Sayang, dimana sekarang, biar Ibu menjemputmu?”
“Ibu, aku bersama seorang teman.” Aku tahu aku sedang berbohong pada ibu. Kebohongan yang aku lakukan untuk pertama kalinya.
“Beri tahu alamatnya. Biar ibu jemput kamu!”
“Ibu, apakah ibu mau menerima dia seperti ibu menerima aku?”
“Apa maksudmu sayang?”
“Ibu, dia terluka saat di Baerut Timur. Kondisinya sangat menyedihkan. Dan aku tanya ibu sekali lagi, apakah ibu mau menerima dia karena tentu saja akan menjadi beban sebab dia tidak dapat melakukan apa-apa?”
“Sekarang aku jemput, dimana posisimu?” Ibu seolah tidak mendengarkanku. Aku tak bisa menahan tagisanku. Dan menutup telepon tanpa sempat memberi ibu kesempatan untuk bicara lagi. Sanggupkah ibu melihatku dengan kondisi seperti ini hanya memiliki satu tangan dan berkaki palsu.
Aku melangkah mendekati pintu rumah. Lama aku berdiri mematung di sana sampai senja menjelang, aku putuskan untuk menjauh dari bangunan besar itu.
***
Catatan:
1. Kafiyeh: kain penutup muka
2. I am not supposed in here: saya tidak seharusnya berada disini
3. Uncontrolled, i am feel you’re death: lancang, saya pikir kamu akan mati
4. Thayyara: helikopter

ST. MUTTIA A. HUSAIN Selengkapnya...