Senin, 24 Mei 2010

BERKENALAN DENGAN ALBUM CERITA PILIHAN“AJI BELLO”

Oleh: Sultan Sulaiman*

Membakar buku adalah sebuah kejahatan.
Tetapi ada yang lebih jahat dari itu, yaitu tidak membaca buku.
(Joseph Brodsky)

Menilik ensiklopedi sastra dunia, tak ditemukan banyak orang Indonesia yang namanya terukir sebagai prasasti. Hanya sebagian kecil. Sebagian kecil ini disebut Fitrawan Umar dalam Pengantar buku “Aji Bello” sebagai orang biasa yang tidak biasa yang terasing. “Mereka” segelintir yang terpanggil mengembangkan budaya literasi agar tetap hidup. Melawan dominasi teknologi yang makin gila mengeksploitasi visualisasi dan simbolisme. Sehingga substansi menjadi rabun bahkan tak memiliki arti.
Terjadi pengategorian yang amat dangkal. Penilaian hanya berdasar pada parade-parade manusia yang mengandalkan warna dan bentuk fisik. Hingga kebanyakan kita tertipu. Takaran kelayakan dinilai dari seberapa menariknya tampilan fisik yang dipertontonkan. Tak heran, jika produk kosmetik diburu untuk memenuhi hasrat fisik itu. Korban komoditas libido menampakkan benderanya. Yang hitam ingin putih, yang pendek mau tinggi, yang pesek ingin hidungnya mancung, dan yang keriting pengen rebounding, dll.



Kultur metropolis menyulap segalanya menjadi megah. Lalu lahirnya kegagapan dalam memaknai dan menafsirkan yang ada. Yang terjadi? Pengaburan makna memburu kecenderungan ingin dilihat dan ditonton. Menggadaikan harga dari sebuah substansi yang tak memiliki harga (terlalu mahal).Modernisme diartikan sebagai laku membumi-hanguskan tradisi. Moralitas digerus nilai-nilai permisifisme yang bercokol di bawah payung pluralitas.
Pragmatisme merebak mempertuhankan materi. Takaran berubah pada langkah kapitalisasi. Apa saja dikapitalisasi. Sebuah realitas semu mulai menganak sungai lalu berkumpul pada muara panggung-panggung komoditas. Komoditas libido! Sebuah istilah yang hari ini mecekoki setiap kepala. Mungkin termasuk kita.
Ada yang mencoba melawan. Dominasi itu terlalu angkuh membentangkan ragam ilusinya. Terjebak pada sebuah pengategorian yang tak ubahnya terbaca dari topeng-topeng bergentayangan. Bukan pada simbolisasi, tapi pada substansi. Tak sekadar kuantitas namun kualitas lebih penting. Keasadaran! Mungkin juga kejemuan. Bahkah amarah yang berubah marah memaksa semua yang terbuang dikumpulkan satu-satu. Kesadaran globalisme telah tumbuh, ditangkap amat cerdik dari lokalisme yang hampir terbuang. Enam belas (16) anak muda itu mengukirnya dalam Album Cerita Pilihan “Aji Bello”. Sebuah penegasan langkah yang meruntuhkan ragam ketakutan yang kadang melumpuhkan kreativitas.
“Mereka bisa!” mungkin seperti itulah. Jika selama ini, obsesi itu mati di panggung-panggung ilusi minim aplikasi. Maka enam belas anak muda itu dengan gagah menjawab jabaran Abraham Maslow. Hasrat ingin beraktualisasi, keinginan untuk memiliki legitimasi. Kukatakan: “Mereka butuh aktualisasi maka layak mereka dikatakan ada”.
Memang belum terlalu sempurna. Namun menelusuri dua puluh cerpen dalam Album Cerita Pilihan “Aji Bello” membuat kita membuka mata selebar-lebarnya. Bahkan tercengang. Enam belas mutiara telah tumbuh memercikkan pesonanya pada etalase timur yang dipandang sebelah mata. Sekali lagi “Mereka bisa!” Mereka anak muda yang biasa melakukan hal biasa, makanya mereka memilih menjadi asing di sudut-sudut kamar. Membentangkan buku lalu menjalarkan imaginasi menembus batas cakrawala. Lalu terangkai kisah-kisah tentang pengembaraan itu. Hasilnya? Sebuah buku Album Cerita Pilihan “Aji Bello” tersaji amat seksi.
Inferiorisme! Telah runtuh terinjak obsesi bara api yang meletup-letup. Mendobrak benteng paling kokoh yang bernama “belenggu” dan “ketakutan”. Pertarungan telah dimenangkan enam belas anak muda yang membagi kisahnya. Kegelisahan memaksa segalanya terekspresi nyata dalam suguhan sederhana namun mendebarkan. Album Cerita Pilihan “Aji Bello” mencoba mematahkan dominasi barat atas timur. Ayam Jantan itu sudah berkokok amat lantang. Dengarkan! Bahkan kotekan Ayam Betinanya jauh lebih nyaring. Dengarkan!
Menulis! Sebuah perbendaharaan yang banyak diminati. Tapi para peminatnya akan mati sendiri lantaran tidak bisa menggenggam obsesi. Ada yang sudah menggenggamnya namun tidak terlalu erat, lalu terhempas pergolakan zaman yang ingin mengajarkan sebuah pertarungan. Tak sedikit yang bertahan dan melawan, yang kalah tentulah jadi pecundang dan tak akan pernah bisa merengkuh mimpinya. Selamat untuk para pemenang. Enam belas anak muda itu betul telah “menjadi penulis!”
Kolaborasi mengesankan antara Forum Lingkar Pena (FLP) dengan Pustaka Refleksi. Satu lembaga penulisan, satu lembaga penerbitan. Keduanya memiliki niatan mengokohkan taring Timur dalam dinamika perbendaharaan sastra dunia. Tidak berlebihan, kelak dalam Ensiklopedi Sastra Dunia, enam belas anak muda itu mungkin layak menerima antrian sebagai para penggiat leterasi yang tak kenal mati. Ingin menyamai prestasi Pramoedya Ananta Toer sebagai nomine Nobel Kesusastraan Dunia. Bisa saja, tak sekadar nomine bahkan bisa jadi peraih nobel. Semoga saja.
Karena membaca sastra adalah membaca dunia. Harapan selanjutnya, kearifan timur akan terus tumbuh, menghadrikan wahana dan wacana yang teraktualisasi amat nyata dalam khasanah literasi kita. Enam belas anak muda yang merangkum karyanya dalam Album Cerita Pilihan “Aji Bello” layak diapresiasi lebih jauh. Selamat bagi mereka yang telah memenangkan pertarungan. Hal yang terberat setelah kemenangan adalah mempertahankannya!

*Ketua Forum Ligkar Pena Wilayah Sulawesi Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar