Senin, 20 Desember 2010


Selengkapnya...

Minggu, 19 Desember 2010

Dari Kepompong Menjadi Kupu-Kupu

Naskah tentang Palestina ini sebenarnya sudah menjadi bahan perbincangan di FLP waktu saya menjabat ketua di Unhas dulu. Beberapa bulan lalu.
Pasca terbitnya "Aji Bello", pengurus menargetkan ingin membuat buku lagi dengan tema Palestina. Maka, dimulailah tender pada saat itu.
...
Lama, menunggu naskah. Ada banyak naskah yang masuk -walau belum bisa dianggap cukup untuk membuat satu buku. Dari sekian banyak naskah tadi, setelah melakukan penyeleksian, saya mengambil kesimpulan untuk sebaiknya menunda sejenak penerbitan buku ini. Tentu teman-teman sudah tahu alasannya.
...
Beberapa bulan setelahnya.
Dan, berhubung karena saya teringat dengan peringatan hari Intifadah bulan Desember, maka saya mengusulkan kepada ketua FLP Unhas sekarang untuk melanjutkan proyek buku tersebut.
Namun, semangat itu menurun kembali karena target tanggal buku selesai sebelum peringatan Intifadah, tidak tercapai.
Untunglah, saya teringat bahwa akan ada kegiatan besar di Unhas yang membawa isu Palestina.
Secara hitung-hitungan, momennya bisa dimanfaatkan untuk menjual buku.
***
Naskah sudah hampir rampung. Namun, sebagai tim editor, saya pribadi masih berat jika kumpulan naskah itu tiba-tiba menjadi kupu-kupu. Masih ada kekurangan di sana-sini. Belum sempurna rasanya.
Ada beberapa karya yang kurang memuaskan (bukan tidak memenuhi syarat).
Namun, sebagai editor, sebenarnya ada rasa tidak tega jika karya teman-teman ditolak untuk dimasukkan dalam naskah buku. Di sinilah dilemanya. Padahal, satu sisi kita ingin mengejar kualitas.
Kualitas itu menentukan penjualan buku. Dan, penjualan buku tentu adalah fokus utama sang penerbit.
Tetapi bagaimanapun juga, sebagai orang yang terlibat dalam tim penerbit, mau tidak mau, kami harus memikirkan masa depan bisnis. Makanya tim editor harus bekerja ekstra dan tahan terhadap suara-suara yang tidak enak.
Supriadi (Ketua FLP UH), Nendenk (DP FLP UH), dan Innah (DP FLP UH), terpaksa termasuk orang yang naskahnya diberi kesempatan untuk diperbaiki. Sekali lagi, bukan karena tidak memenuhi syarat, hanya kurang memuaskan. Dan beberapa nama yang lain.
***
Coba teman-teman bayangkan...
Secara umum, gambaran karya teman-teman FLP UH terkait palestina ini, seperti berikut:
Pertama, menceritakan orang Indonesia yang peduli terhadap Palestina. Gaya ceritanya sama. Kalau bukan aksi, memberi sumbangan dan lain-lain.
Kedua, tokohnya orang Indonesia, namun sang tokoh menceritakan kembali tokoh baru yang ada di Palestina. Ini yang sering saya sebut sebagai "cerpen temannya temannya". Ceritanya juga sama. Kalau bukan "bermimpi, berarti teringat kembali". Alurnya flashback -karena sang tokoh pernah ke palestina sebagai relawan atau sejenisnya. Begitu saja.
Ketiga, menceritakan orang palestina, namun semua ceritanya juga hampir sama. Anak-anak yang berhadapan dengan tentara Israel. Pake batu lalu syahid.

Ada juga beberapa karya yang kurang logis, baik dari segi waktu, tempat, dan peristiwa. Untuk itu, perlu riset memang sebelum kita membuat karya dengan latar waktu dan tempat yang belum pernah kita kunjungi.

Ada banyak sebetulnya ide kalau kita ingin buat cerpen palestina. Bisa cerita tentang anak yang sudah tidak bisa lagi bermain bola karena tanahnya direbut. Bisa cerita susahnya cari pekerjaan di daerah konflik. Intinya Unik!
***
Buku ini rencana menjadi proyek awal lini penerbitan, divisi bisnis dan fundrising FLP Sulsel. Terima kasih kepada penanggung jawab lini, Dyah restyani, yang telah mengembara ke mana-mana untuk mengembangkan penerbit ini. Dan, syukurlah telah menemui titik terang -walaupun belum ada nama label yang pas.

Oke, sebelum ada pengumuman selanjutnya, Silakan Masukkan Karya Anda yang Lebih Mantap. Sebanyak-banyaknya!"

Fitrawan Umar (Tim Editor)
Selengkapnya...

Jumat, 10 Desember 2010

DICARI!! 50 Cerpenis Muda



Selengkapnya...

Selasa, 07 Desember 2010

Surga Ibu

Oleh: Fitrawan Umar
(Pemenang Ketiga Lomba Cipta Cerpen Menpora 2010)
Sore itu, aku masih melihat ibu dengan senyum manis saat memainkan balida1. Mengurai benang, seutas demi seutas hingga membentuk sehelai kain Toraja.
Ayah datang dengan wajah mendung. Kemudian membawa hujan dan halilintar hingga aku tak tahu apa yang terjadi. Terakhir, kulihat ayah membawa tas besar beserta tabungan tempat ibu selalu menyimpan uang.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, ayah tak pernah lagi kulihat rupanya. Ibu selalu merenung dan sakit-sakitan, hingga berhenti bernafas.
Kutanya pada nenek, kenapa ibu berhenti bernafas.
“Apa ibu sudah mati, Nek?”
“Belum, ibu mu masih sakit.”
Hari-hari setelah itu kemudian aku dan nenek silih berganti memberi makan untuk ibu.
***

Baru saja aku datang, Matinggoro Tedong2 sudah dimulai saat matahari melintas ke barat. Tedong itu mengamuk uring-uringan. Sebilah parang panjang telah membilas lehernya yang gagah. Darah mengucur, membuatku mual memandang. Simbuang batu3 membisu sebagai saksi dinaikkannya jenazah Lie Ne Ne dari Tongkonan Tammuon4 ke tempat lebih tinggi, Tongkonan Barebatu5.
Aku berdiri bersama kerumunan orang. Dari jauh, wajah keluarga Lie Ne Ne menjadi sendu. Setelah tubuh tedong terpotong-potong, aku mendekat mengambil bagian dan membawanya pulang.
Di rumah, nenek sedang mempersiapkan makanan. Kuperlihatkan daging tedong tadi, dan menaruhnya di pinggir tungku.
“Ibu sudah makan, Nek?”
“Belum. Ini, kamu yang bawakan.”
Ibu terlihat ceria hari ini. Kuletakkan makanan di samping, lalu kucium keningnya.
“Ibu, makan, ya.”
Ibu terdiam.
“Kira-kira tedong sekarang harganya berapa, Fred?” Tanya nenek.
“Sekitar 15 jutaan.”
Aku tertegun. Kutahu maksud nenek. Akhirnya hembusan nafas panjang yang kemudian keluar dari kami berdua.
Esok hari, acara Rambu Solo6 Lie Ne Ne masih berlangsung. Terik matahari yang membulat tak mengganggu perhelatan ini.
Tampak laki-laki mengusung jenazah dengan duba-duba7. Bersama itu, di depan, kain merah lamba-lamba membentang dipegang para wanita. Di depan lagi, tedong berbaris-baris. Di depan lagi, pasukan tompi saratu, pembawa umbul-umbul. Dan yang paling di depan, orang-orang dengan memeluk gong besar. Semua berjalan beriringan menuju Rante8.
Aku bersama penonton lain mengikut di belakang. Namun, aku teringat ibu yang belum makan, siang ini.
Kutunaikan tugasku, memberi makan ibu, dan mencium keningnya. Dan, aku berbalik lagi menuju Rante.
***
Suatu pagi, Leo, teman mainku, bertanya.
“Kapan Rambu Solo untuk ibumu digelar?”
Aku belum mengerti waktu itu. “Acara apa itu?”
“Masa kamu tidak tahu, upacara untuk menghormati orang mati.”
“Ibuku belum mati! Ia masih sakit.” Aku tersinggung karena setiap hari, aku dan nenek, masih terus memberi ibu makan dan mengajaknya bicara selama hampir setahun. Walaupun setiap kali makanan itu tak pernah disentuh dan ibu terus membisu9.
“Ibumu memang masih sakit, tapi arwahnya akan gentayangan sebelum diantar ke Puyo10 lewat Rambu Solo.”
“Kau mengada-ada Leo.”
Aku meninggalkan Leo seketika dan segera menghadap nenek.
“Memang betul. Tapi, kita belum bisa menyanggupinya.”
Waktu itu, perasaanku tak karuan. Kulihat ibu terbujur kaku.
***
Di lapangan, sudah ramai orang-orang. Termasuk para bule yang masing-masing memegang kamera. Para penggiring jenazah telah sampai. Mereka jalan melambat. Kemudian menuju ke Lakkien11 untuk membaringkan jenazah.
Para keluarga Lie Ne Ne menaiki Lantang12 yang telah disediakan. Di sana, mereka menanti sanak saudara yang akan berkunjung. Aku sendiri masih berkumpul bersama penonton lain. Di tengah lapangan, delapan puluh lebih tedong, bersama simbuang batu, dan ratusan babi.
Aku menghitung tedong-tedong itu sambil membayangkan wajah ibu. Ah, andai keluarga Lie Ne Ne ini memberiku delapan ekor saja.
Satu dua sanak saudara keluarga Lie Ne Ne datang. Menjelang sore, digelar Mappasilaga Tedong13. Hiruk pikuk penonton terdengar ribut. Tedong saling bertumbuk kepala berganti-ganti. Para bule tadi mendekat menembakkan cahaya yang akan menyimpan momen itu ke dalam layar.
Aku pulang dengan sejumlah asa yang menggantung. Di dekat ibu, aku mengeluh. Menatap wajahnya membuat hati menjadi galau. Aku panjatkan permohonan kepada Pencipta agar waktu untuk ibu segera datang.
Nenek selalu menasehati agar aku mencari ayah. Katanya, ayah sudah sukses di tanah orang. Tapi kebencian yang menggantung di dada membuatku urung.
***
“Leo, bisa kau ceritakan apa itu Puyo?”
“Ibu saya pernah bilang, Puyo itu adalah tempat para arwah leluhur untuk menjalani kehidupan berikutnya. Dari sanalah nanti kita akan ke Surga.”
“Jadi, kita semua akan kembali hidup, begitu?”
“Iya. Karena kematian itu hanya fase dari kehidupan. Kita semua sebenarnya berasal dari langit, dan akan kembali ke sana. Tapi, kita baru bisa ke Puyo dan Surga kalau keluarga yang ditinggalkan mengadakan Rambu Solo.”
“Tapi bagaimana kalau kita tidak punya uang membiayai Rambu Solo?”
“Ya, pokoknya harus dilaksanakan.”
“Apa harus membeli tedong sebanyak itu?”
“Tedong itulah yang menjadi kendaraan dan bekal untuk hidup di Puyo.”
***
Mappasilaga tedong di Acara Lie Ne Ne sudah sangat ramai. Satu per satu tedong diujicobakan. Orang-orang bersorak ketika tanduk tedong saling bertemu. Dan sorakan semakin kencang di saat satu tedong memilih mengalah.
Para bule girangnya minta ampun. Mungkin acara seperti ini tak disaksikan di kampung halamannya. Aku sempat berpikir kenapa aku dan ibu tidak tinggal saja di kampung bule itu. Supaya ibu tak mengalami nasib seperti ini.
Aku berharap Pemilik Alam berkenan menyiapkan jalan ke Puyo buat ibu, sesegera mungkin.
***
Semua sanak saudara keluarga Lie Ne Ne yang selama ini ditunggu sudah datang di Rante. Jenazah Lie Ne Ne kemudian akan di bawa ke pemakaman. Kain merah membentang mengiringi proses Ma’palao14 itu.
Tiba-tiba, aku melihat ayah di antara kerumunan orang. Aku mengikutinya bersama rombongan menuju lumbung. Ayah bersama dengan seorang perempuan. Kuyakin istri barunya.
Dadaku terasa bergemuruh. Ingin segera berlari meluapkan dendam dan amarah pada lelaki bejat itu. Tapi aku mengingat Ibu. Arwah ibu mungkin masih di sini. Tersiksa bergentayangan, ingin diantar ke Puyo.
Ah! Apa ku pilih berdamai saja dengan ayah. Toh nyawa tak kembali seberapapun amarah menggelegar. Sisa ayah satu-satunya harapan untuk Rambu Solo Ibu. Kukira ia sudah memiliki harta banyak.
Ah! Tapi apa mungkin. Lelaki itu tak punya perasaan! Pergi meninggalkan ibu dan aku, anak satu-satunya.
“Leo, bagaimana menurutmu?”
“Coba bicarakan baik-baik saja dengan ayahmu.”
Iring-iringan jenazah terus berjalan. Aku beranikan diri mendekati ayah yang berada dalam rombongan keluarga Lie Ne Ne. Mungkin istrinya termasuk cucu atau keponakan turunan bangsawan itu.
“Ayah!”
Lelaki itu tersentak. Perempuan di dekatnya menatap tajam.
“Untuk apa kau ke mari?”
“Ayah, saya mohon perhatikan ibu.”
“Bukankah ibumu sudah meninggal?!”
“Tapi, acara Rambu Solo buat ibu belum dilaksanakan. Hanya satu permintaan saya dan nenek, bantu Rambu Solo ibu.”
“Ha.. Waktu ibumu hidup saja jarang aku perhatikan. Apalagi kalau sudah mati.”
“Ayah sama sekali tak pernah bertanggung jawab terhadap ibu!” Aku mulai berontak. Orang-orang di samping menoleh. Si perempuan dekat ayah terus bertanya-tanya. Aliran darahku mengalir kencang. Ingin mengamuk.
“Fred, apa kau pikir, aku mencari uang hanya untuk membiayai acara kematian ibumu? Lebih baik aku menghidupi orang hidup. Sana minggir!”
“Ayah brengsek!!”
Belum amarah ini terlampiaskan, orang-orang sudah menahanku.
“Singkirkan anak ini!!”
***
“Leo, kenapa jalan menuju Surga itu begitu sulit?”
“Karena Puang Matua15 hanya ingin melihat pengorbanan kita.”
Malam itu, aku kembali pulang memberi makan untuk ibu.
***
Makassar, 29 Juli 2010

Catatan:
1. Balida: Alat tenun tradisional Toraja
2. Matinggoro Tedong: Memotong kerbau
3. Simbuang batu: Batu untuk menambat kerbau
4. Tongkonan Tammuon: Tongkonan (rumah adat) pertama tempat jenazah berasal
5. Tongkonan Barebatu: Tongkonan yang berada di atas tingkat Tongkonan Tammuon
6. Rambu Solo: Upacara adat Toraja untuk proses penguburan jenazah.
7. Duba-duba: Semacam keranda jenazah
8. Rante: Lapangan tempat ritual Rambu Solo dilaksanakan
9. Rambu Solo merupakan ritual yang harus dilaksanakan oleh keluarga yang ditinggalkan. Selama Rambu Solo belum digelar, maka orang yang meninggal dianggap ‘belum mati’ dan tidak boleh dikubur. Jenazah masih dianggap ‘sakit’, dan harus diperlakukan seperti orang hidup –diajak bicara, diberi makan, rokok, dll.
10. Puyo: Alam baka
11. Lakkien: Menara tempat disemayamkan jenazah saat prosesi berlangsung
12. Lantang: Rumah sementara yang dibuat dari kayu atau bamboo
13. Mappasilaga tedong: Adu kerbau
14. Ma’palao: Mengusung jenazah ke pemakaman
15. Puang Matua: Tuhan Pencipta
Selengkapnya...

Minggu, 05 Desember 2010

TENTANG PACAR TAK BECUS

Zacky memarkir motornya di depan penjual bakso. Beberapa saat lamanya kami saling terdiam, sampai akhirnya Zacky menggandeng tanganku dan mengajak jalan. Aku tetap diam.
“Ning, kamu mau makan apa?”
“Kenyang” jawabku datar
“Lho, katanya waktu nelpon tadi kamu bilang mau makan di luar” Zacky menatapku keheranan. Aku berbalik arah dan menatapnya beberapa saat dan akhirnya Zacky mengerti.
“Aku mau pulang sekarang”
“Kan Baru saja nyampai Ning” tampaknya Zacky juga mulai kesal.
“Aku tahu, tapi aku bilang mau pulang sekarang juga”. Jawabku ketus.
“Kita makan bakso di pinggir sana dulu” Zacky mencoba menahanku.
“Tidak usah” aku tetap ngotot. Tanpa diperintah Zacky memesan dua mangkok bakso dan menarik tanganku untuk duduk di kursi. Aku memasang tampang kesal. Zacky datang ke rumah dengan penampilannya yang urakan. Rambut sebahu yang tidak disisir, celana jins kumal yang bolong pada kedua lututnya, baju kaos kusut lengkap dengan sandal jepitnya yang membuatku nyaris pingsan melihatnya. Sementara aku dengan susah payah membujuk Emak untuk membelikan baju keluaran terbaru hanya untuk merayakan moment perkenalan Emak dengan Zacky. Aku bisa melihat jelas muka Emak diselimuti kekecewaan dan keprihatinan melihat Zacky. Apalagi Emak yang membukakan pintu untuknya.
“Pacarmu itu?” Emak membuntutiku sampai di kamar.
“Bukan, teman kuliahku” jawabku terpaksa. Aku mengucapkan maaf dalam hati karena telah membohongi Emak.
***
“Makanlah dulu Ning, tidak baik kamu begitu terus” Zacky mulai menyendok baksonya
“Berani sekali kamu ke rumah dengan pakaian seperti itu”. Aku menatap Zacky sengit dan cukup membuatnya berhenti menyendok baksonya.
“Ya Tuhan, kamu masih mempermasalahkan itu Ning?” Zacky menatapku lekat. Matanya melotot tajam, sepertinya dia mulai marah.
“Kamu membuatku harus berbohong pada Emak, selama ini aku selalu bicara yang baik-baik tentangmu di hadapan Emak berharap Emak memberi ijin untuk jalan denganmu, tahu-tahu kamu menghancurkan mimpi-mimpiku”. Aku berdiri hendak meninggalkannya.
“Bisa tidak kamu duduk dulu sampai aku selesai makan” Zacky kembali menarik tanganku. Aku duduk membelakanginya.
“Aku mau pulang” aku setengah berteriak. Semua orang yang ada di tempat itu menatap kami. Zacky buru-buru menghabiskan baksonya dan menarik tanganku menjauh. Aku tetap ngotot untuk pulang.
“Sedikit saja aku memintamu untuk memahamiku sekali ini saja” Zacky memelas.
“Coba kamu tidak datang dengan penampilan urakan seperti itu aku pasti tidak akan marah dan sekarang ijinkan aku pulang!” aku menarik tanganku. Sekeras apapun usahaku melepaskan tanganku Zacky semakin kuat menahanku.
“Aku sudah mengerti kamu sejak awal kita bertemu, kenapa sih kamu tidak berubah, tadinya aku mau memperkenalkan kamu pada Emak, tapi penampilanmu merusak segalanya.
“Aku benci kamu”. Perlahan-lahan Zacky melepaskan tanganku dan memasang helmnya. “Pulanglah jika kamu mau pulang.” Zacky berlalu meninggalkanku. Ingin rasanya aku berteriak kecang-kencang mengumpatnya. Aku menyetop pete-pete 07 yang lewat di depanku. Malang tak satupun yang mau berhenti. Aku merogoh tas mencari hanphone untuk meminta Emak untuk menjemputku. Malang benar nasibku hari ini. Inginnya senang-senang malah membuatku mendongkol. Aku duduk di trotoar sambil menunggu Emak yang tentu saja akan mengomeliku panjang lebar. Malang sungguh malam, mungkin malam ini adalah malam kesialanku. Hari akan hujan, tetapi Emak juga belum juga datang.
“Halo, Emak…cepat mi, mau hujan”
“Kamu naik becak atau ojek saja”, Motor Emak barusan di pinjam Puang Arifmu”
“Aduh Emak, kenapa tidak bilang dari tadi” aku kesal lalu menutup telpon tanpa sempat memberi Emak kesempatan bicara lagi.
“Apa emak tidak pikir, mana ada becak di jalan besar, sudah tahu aku alergi naik ojek, malah menyuruh naik ojek” aku mengumpat dalam hati. Terpaksa kuseret langkahku menelusuri jalan Perintis yang berkelok-kelok. Tereok-seok aku melangkah. Aku mengucapkan sumpah serapah seratus kali pada Zacky. Ingin rasanya aku mencabik-cabik tubuh Zacky sampai remuk. Tegah sekali dia membiarkanku jalan kaki tengah malam begini.
Tik…tik…tik…
“Ya, hujan”
Aku berlari menerobos hujan. Sejuta penyesalan memenuhi kepalaku. Aku marah, kesal, benci bercampur menjadi satu. Kesalahan besar yang aku lakukan adalah memilih Zacky menjadi pacarku yang jelas-jelas tidak pernah memberikan kebahagiaan dalam hidupku.
Aku berlari dalam keadaan basah kuyup.
Sebelum aku melangkah masuk rumah, aku mendapati Zacky telah berdiri di depan pintu. Dengan enggan aku melangkah mendekati pintu dan pura-pura tidak melihatnya, malang Zacky tampaknya tahu aku sedang marah besar padanya. Dia mencengkram tanganku kuat-kuat sampai aku menjerit kesakitan sampai-sampai kucingku lari ketakutan.
“Zacky” mendadak aku merasakan hawa panas di sekujur tubuhku.
“Aku hanya ingin memastikan kamu sudah sampai dengan selamat di rumah, aku sudah menunggumu dari tadi di sini” Bau alkohol dari mulutnya diselingi asap rokok membuatku ingin muntah.
“Lepaskan tanganku?” setengah menjerit aku menatapnya sengit
“Lho, bukannya kamu yang mau pulang sendiri” Zacky berkata dengan entengnya tanpa perasaan bersalah. Aku diam menahan amarah. Tampaknya alkohol telah membuatnya kehilangan separuh kesadarannya.
“Karena kamu sudah di rumah, jadi aku pulang ya sayang. Sampai ketemu di kampus besok” Tanpa menjawab dengan sekali sentakan pintu langsung tertutup dan aku berbalik menuju kamar, eh tahu-tahu Emak sudah berdiri di depanku.
“Ning, diakah pacarmu?”
“E, bukan” aku gelagapan menjawab pertanyaan Emak yang tiba-tiba itu.
“Dia seperti anak yang suka balap-balap di jalan” Aku tidak berani menatap mata Emak, ada perasaan bersalah merasuk tiba-tiba.
“Ning, sudah berapa kali aku bilang kalau mau pacaran, pacaranlah dengan orang yang jelas masa depannya, yang teratur hidupnya. Jangan kayak pacarmu itu, tidak ada modal tidak ada model” aku mematung di depan Emak, takut menatap matanya. Aku tahu Emak sedang murka padaku. Emak berlalu begitu saja meninggalkanku yang masih mematung.
“Ini semua gara-gara Zacky” aku menggerutu dalam hati.
***
Aku berjalan menelusuri koridor FISIP menuju ke WC. Peluh memenuhi sekujur tubuhku. Aku melangkah sambil menunduk, sampai sesosok tubuh berdiri di depan pintu WC Wanita menghalangi langkahku, aku mendongakkan kepala dan siap menyemprotkan amarahku. Namun mendadak kedua bola mataku melotot. Kemarahanku yang siap aku muntahkan tiba-tiba tertahan di ubun-ubun. Sosok seperti baru bangun tidur, rambut sebahu yang acak-acakan, mata merah menyalah, kaos oblong lusuh dengan celana pendek, dan tidak ketinggalan handuk di bahu kirinya sedang berdiri di depanku tanpa merasa bersalah.
“Maaf ya, ini WC wanita” aku beranikan diri menatap kedua bola matanya. Dia juga sedang menatapku. Pandangan mata kami beradu beberapa detik sampai akhirnya dia tersenyum dan berlalu meninggalkanku tanpa mengucapkan apa-apa.
Seminggu kemudian, barulah aku tahu kalau pria itu bernama Zacky yang juga menjabat sebagai ketua baru UKM Korpala Unhas dan aku sebagai sekretarisnya. Hari-hari berikutnya aku habiskan bersama dengannya di UKM. Dialah Zacky, yang membuatku mengeluh setiap hari, dia juga yang membuatku sakit kepala bila sehari tidak melihatnya. Seorang pria yang hidupnya dipenuhi dengan rokok, domino, dan miras, serta penuh dengan kesia-siaan. Seorang pria yang berasal dari jurusan yang sama denganku, tetapi beda 5 angkatan di atasku dan sekaligus menjadi satu-satunya mahasiswa angkatan 2003 yang masih tersisa di jurusanku. Satu-satunya alasanya kuat yang membuat aku melabuhkan hati padanya hanya karena kami berdua sama-sama suka mendaki gunung. Dia pria pertama yang mengajariku jatuh cinta dan pria pertama yang berlabuh. Aku terkadang merasa lelah menjalani hubungan kami yang menurut orang tidak ada romantisnya sama sekali. Sungguh tidak becus.
*** Selengkapnya...