Minggu, 05 Desember 2010

TENTANG PACAR TAK BECUS

Zacky memarkir motornya di depan penjual bakso. Beberapa saat lamanya kami saling terdiam, sampai akhirnya Zacky menggandeng tanganku dan mengajak jalan. Aku tetap diam.
“Ning, kamu mau makan apa?”
“Kenyang” jawabku datar
“Lho, katanya waktu nelpon tadi kamu bilang mau makan di luar” Zacky menatapku keheranan. Aku berbalik arah dan menatapnya beberapa saat dan akhirnya Zacky mengerti.
“Aku mau pulang sekarang”
“Kan Baru saja nyampai Ning” tampaknya Zacky juga mulai kesal.
“Aku tahu, tapi aku bilang mau pulang sekarang juga”. Jawabku ketus.
“Kita makan bakso di pinggir sana dulu” Zacky mencoba menahanku.
“Tidak usah” aku tetap ngotot. Tanpa diperintah Zacky memesan dua mangkok bakso dan menarik tanganku untuk duduk di kursi. Aku memasang tampang kesal. Zacky datang ke rumah dengan penampilannya yang urakan. Rambut sebahu yang tidak disisir, celana jins kumal yang bolong pada kedua lututnya, baju kaos kusut lengkap dengan sandal jepitnya yang membuatku nyaris pingsan melihatnya. Sementara aku dengan susah payah membujuk Emak untuk membelikan baju keluaran terbaru hanya untuk merayakan moment perkenalan Emak dengan Zacky. Aku bisa melihat jelas muka Emak diselimuti kekecewaan dan keprihatinan melihat Zacky. Apalagi Emak yang membukakan pintu untuknya.
“Pacarmu itu?” Emak membuntutiku sampai di kamar.
“Bukan, teman kuliahku” jawabku terpaksa. Aku mengucapkan maaf dalam hati karena telah membohongi Emak.
***
“Makanlah dulu Ning, tidak baik kamu begitu terus” Zacky mulai menyendok baksonya
“Berani sekali kamu ke rumah dengan pakaian seperti itu”. Aku menatap Zacky sengit dan cukup membuatnya berhenti menyendok baksonya.
“Ya Tuhan, kamu masih mempermasalahkan itu Ning?” Zacky menatapku lekat. Matanya melotot tajam, sepertinya dia mulai marah.
“Kamu membuatku harus berbohong pada Emak, selama ini aku selalu bicara yang baik-baik tentangmu di hadapan Emak berharap Emak memberi ijin untuk jalan denganmu, tahu-tahu kamu menghancurkan mimpi-mimpiku”. Aku berdiri hendak meninggalkannya.
“Bisa tidak kamu duduk dulu sampai aku selesai makan” Zacky kembali menarik tanganku. Aku duduk membelakanginya.
“Aku mau pulang” aku setengah berteriak. Semua orang yang ada di tempat itu menatap kami. Zacky buru-buru menghabiskan baksonya dan menarik tanganku menjauh. Aku tetap ngotot untuk pulang.
“Sedikit saja aku memintamu untuk memahamiku sekali ini saja” Zacky memelas.
“Coba kamu tidak datang dengan penampilan urakan seperti itu aku pasti tidak akan marah dan sekarang ijinkan aku pulang!” aku menarik tanganku. Sekeras apapun usahaku melepaskan tanganku Zacky semakin kuat menahanku.
“Aku sudah mengerti kamu sejak awal kita bertemu, kenapa sih kamu tidak berubah, tadinya aku mau memperkenalkan kamu pada Emak, tapi penampilanmu merusak segalanya.
“Aku benci kamu”. Perlahan-lahan Zacky melepaskan tanganku dan memasang helmnya. “Pulanglah jika kamu mau pulang.” Zacky berlalu meninggalkanku. Ingin rasanya aku berteriak kecang-kencang mengumpatnya. Aku menyetop pete-pete 07 yang lewat di depanku. Malang tak satupun yang mau berhenti. Aku merogoh tas mencari hanphone untuk meminta Emak untuk menjemputku. Malang benar nasibku hari ini. Inginnya senang-senang malah membuatku mendongkol. Aku duduk di trotoar sambil menunggu Emak yang tentu saja akan mengomeliku panjang lebar. Malang sungguh malam, mungkin malam ini adalah malam kesialanku. Hari akan hujan, tetapi Emak juga belum juga datang.
“Halo, Emak…cepat mi, mau hujan”
“Kamu naik becak atau ojek saja”, Motor Emak barusan di pinjam Puang Arifmu”
“Aduh Emak, kenapa tidak bilang dari tadi” aku kesal lalu menutup telpon tanpa sempat memberi Emak kesempatan bicara lagi.
“Apa emak tidak pikir, mana ada becak di jalan besar, sudah tahu aku alergi naik ojek, malah menyuruh naik ojek” aku mengumpat dalam hati. Terpaksa kuseret langkahku menelusuri jalan Perintis yang berkelok-kelok. Tereok-seok aku melangkah. Aku mengucapkan sumpah serapah seratus kali pada Zacky. Ingin rasanya aku mencabik-cabik tubuh Zacky sampai remuk. Tegah sekali dia membiarkanku jalan kaki tengah malam begini.
Tik…tik…tik…
“Ya, hujan”
Aku berlari menerobos hujan. Sejuta penyesalan memenuhi kepalaku. Aku marah, kesal, benci bercampur menjadi satu. Kesalahan besar yang aku lakukan adalah memilih Zacky menjadi pacarku yang jelas-jelas tidak pernah memberikan kebahagiaan dalam hidupku.
Aku berlari dalam keadaan basah kuyup.
Sebelum aku melangkah masuk rumah, aku mendapati Zacky telah berdiri di depan pintu. Dengan enggan aku melangkah mendekati pintu dan pura-pura tidak melihatnya, malang Zacky tampaknya tahu aku sedang marah besar padanya. Dia mencengkram tanganku kuat-kuat sampai aku menjerit kesakitan sampai-sampai kucingku lari ketakutan.
“Zacky” mendadak aku merasakan hawa panas di sekujur tubuhku.
“Aku hanya ingin memastikan kamu sudah sampai dengan selamat di rumah, aku sudah menunggumu dari tadi di sini” Bau alkohol dari mulutnya diselingi asap rokok membuatku ingin muntah.
“Lepaskan tanganku?” setengah menjerit aku menatapnya sengit
“Lho, bukannya kamu yang mau pulang sendiri” Zacky berkata dengan entengnya tanpa perasaan bersalah. Aku diam menahan amarah. Tampaknya alkohol telah membuatnya kehilangan separuh kesadarannya.
“Karena kamu sudah di rumah, jadi aku pulang ya sayang. Sampai ketemu di kampus besok” Tanpa menjawab dengan sekali sentakan pintu langsung tertutup dan aku berbalik menuju kamar, eh tahu-tahu Emak sudah berdiri di depanku.
“Ning, diakah pacarmu?”
“E, bukan” aku gelagapan menjawab pertanyaan Emak yang tiba-tiba itu.
“Dia seperti anak yang suka balap-balap di jalan” Aku tidak berani menatap mata Emak, ada perasaan bersalah merasuk tiba-tiba.
“Ning, sudah berapa kali aku bilang kalau mau pacaran, pacaranlah dengan orang yang jelas masa depannya, yang teratur hidupnya. Jangan kayak pacarmu itu, tidak ada modal tidak ada model” aku mematung di depan Emak, takut menatap matanya. Aku tahu Emak sedang murka padaku. Emak berlalu begitu saja meninggalkanku yang masih mematung.
“Ini semua gara-gara Zacky” aku menggerutu dalam hati.
***
Aku berjalan menelusuri koridor FISIP menuju ke WC. Peluh memenuhi sekujur tubuhku. Aku melangkah sambil menunduk, sampai sesosok tubuh berdiri di depan pintu WC Wanita menghalangi langkahku, aku mendongakkan kepala dan siap menyemprotkan amarahku. Namun mendadak kedua bola mataku melotot. Kemarahanku yang siap aku muntahkan tiba-tiba tertahan di ubun-ubun. Sosok seperti baru bangun tidur, rambut sebahu yang acak-acakan, mata merah menyalah, kaos oblong lusuh dengan celana pendek, dan tidak ketinggalan handuk di bahu kirinya sedang berdiri di depanku tanpa merasa bersalah.
“Maaf ya, ini WC wanita” aku beranikan diri menatap kedua bola matanya. Dia juga sedang menatapku. Pandangan mata kami beradu beberapa detik sampai akhirnya dia tersenyum dan berlalu meninggalkanku tanpa mengucapkan apa-apa.
Seminggu kemudian, barulah aku tahu kalau pria itu bernama Zacky yang juga menjabat sebagai ketua baru UKM Korpala Unhas dan aku sebagai sekretarisnya. Hari-hari berikutnya aku habiskan bersama dengannya di UKM. Dialah Zacky, yang membuatku mengeluh setiap hari, dia juga yang membuatku sakit kepala bila sehari tidak melihatnya. Seorang pria yang hidupnya dipenuhi dengan rokok, domino, dan miras, serta penuh dengan kesia-siaan. Seorang pria yang berasal dari jurusan yang sama denganku, tetapi beda 5 angkatan di atasku dan sekaligus menjadi satu-satunya mahasiswa angkatan 2003 yang masih tersisa di jurusanku. Satu-satunya alasanya kuat yang membuat aku melabuhkan hati padanya hanya karena kami berdua sama-sama suka mendaki gunung. Dia pria pertama yang mengajariku jatuh cinta dan pria pertama yang berlabuh. Aku terkadang merasa lelah menjalani hubungan kami yang menurut orang tidak ada romantisnya sama sekali. Sungguh tidak becus.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar