Senin, 21 Juni 2010

Surat Biru


Oleh: Fitrawan Umar

(Tulisan ini belum selesai, Mari kita sama-sama selesaikan!! Kira-kira bagaimana kelanjutannya..)

silakan klik di sini


Selengkapnya...

Ilusi

Cerpen Qiyash (Republika, 20 Juni 2010)

MALAM hari baginya neraka. Dosa tak penting lagi. Dalam kamus hidupnya, dosa itu adalah metamorfosis dari pahala. Tiada pahala tanpa dosa. Maka, beruntunglah pahala memiliki dosa di sampingnya. Tanpa pikir panjang, ia meraih tasnya. Berwarna merah mencolok. Ia memakai minidress ketat juga berwarna merah mencolok dan sepatu berhak lima sentimeter yang baru dibelinya di Pasar Sentral. Kakinya sudah menginjak pinggir kota. Kota yang penuh lampu-lampu ritmik. Dari gang sempit, bau dan pengap. Ia ngos-ngosan. Berlari dikejar bayangan. Bayangan itu antara nyata dan tidak. Ketika ia memperjelas tatapannya, bayangan itu tiba-tiba lenyap. Namun, bayangan itu sesekali muncul ketika matanya tak jaga. Wajahnya tak jelas. Hanya warna putih yang bisa tertangkap.

Bayangan itu seakan-akan menginginkan dirinya. Menginginkan nyawanya. Juga, seperti bayangan kesalahan yang terus membuntutinya. Ini sudah hari ketiga ketika bayangan itu datang. Dan, pertama kali muncul di mimpinya. Ia berusaha menutupi takutnya dengan bersikap acuh dan semakin menggila. Tapi, sekuat ia memberi tekanan, bayangan itu semakin kuat menghantui malam-malamnya.


Klakson pete-pete menyadarkannya dari pertarungan rasa takut itu. Ia mengakhiri tarikan napas kelelahannya dan bangkit dari posisi setengah rukuk. Sopir pete-pete bergantian membunyikan klaksonnya. Menawarinya tumpangan. Sambil meneriakkan kata-kata gombal murahan khas buaya kampung. Inilah perjalanan menuju neraka.

Akhirnya, tiba di mulut neraka. Kau pasti membayangkan neraka tak seindah ini. Neraka ini adalah surga dunia. Isinya hanyalah pemburu surga dunia. Manusia-manusia yang berlumuran nafsu, haus kesenangan, hanya mengenal uang dan wanita. Ini benar-benar mulut neraka, bahkan bayangan itu pun tak mau mendekat. Bayangan itu tak pernah sekalipun menampakkan dirinya di tempat ini. Itulah mengapa ia selalu merasa aman berada dalam miniatur neraka ini. Baginya, tempat ini adalah penyelamat hidupnya dari kecemasan dan kelaparan hari esok meskipun kadang membayangi hidupnya akan kecemasan kekal mendatang.

Namun, sudah tiga hari ini, ia dongkol. Kedongkolan pertanda besok akan lapar. Nihil. Hanya nihil-lah yang tergambar dalam realitas ataupun angan-angan. Tempat ini tak lagi menawarkan kebahagiaan hari esok. Ia merasa seperti barang lama yang tetap dipajang, tetapi sudah usang, diutak-atik pelanggan-pelanggan sebelumnya. Melirik pun tak ada. Yang tercium hanyalah bau usang. Bagaimanapun manisnya ucapan merayu, tetap tak menarik perhatian. Dia tahu, dirinya telah mengering dan gugur bersama daun-daun kering lainnya. Bahkan melapuk. Daun-daun muda yang semakin produktif menggeser posisinya.

Dia masih cantik. Cantik karena make up tebal yang menopeng di wajahnya. Menutupi keriput-keriput wajahnya. Apakah isi neraka hanyalah perempuan berwajah cantik dan bertubuh montok? Atau, pria-pria kelas eksekutif berkantong tebal. Ia termenung menatap kondisi di sekelilingnya. Setidaknya, ia masih punya harapan untuk bermimpi. Bermimpi menuju surga. Meskipun bau surga tak mau mendekat dan tak mau menghinggapi bunga tidurnya.

“Mbak, kok duduk saja. Nggak kerja, ya?” wajah manis nan lugu menghampirinya. Umur gadis itu masih 15 tahun.

Wajah sinis itu tersihir menyungging. “Iya. Kayaknya Mbak mau berhenti dulu.”

“Lho? Mbak, kok gitu? Terus, yang biayain sekolahnya Adi siapa, Mbak?”

“Nanti kubawa ke ayahnya dan meminta tanggung jawab.”

“Tapi, Mbak tahu siapa ayah Adi? Bukannya selama ini Adi dibiayai sama Mbak?” gadis lugu itu sedikit pun tak punya rasa cemas. Kenyataan seperti itu juga akan menimpa dirinya.

“Mbak tahu,” jawabnya tidak yakin. Lalu, menunduk lesu.

Tiba-tiba, seorang perempuan berdandan mewah, make up menor, dan tampang ganas datang. Ditemani rokok yang ia pegang, terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Sesekali, ia mengembuskan asap di kedua katup bibirnya yang marun. Wanita itu memanggil Dina.

“Sana, Din. Mbak Leli udah manggil kamu tuh. Rezekimu datang. Ntar kalau kamu nggak dipakai lagi baru menyesal,” perintahnya kepada gadis barusan.

Ia semakin menyadari. Begitulah hukum alam. Semuanya pasti ada regenerasi. Dina kini sangat diminati. Melihat badannya yang masih segar bugar. Kulit wajahnya masih kencang dan halus. Tanpa make up pun Dina masih cantik. Tapi, hukum alam pun pasti menghinggapi Dina. Yang suatu saat akan bernasib sama dengannya. Kasihan. Dina sama sekali tak tahu apa-apa.

Ratna masih duduk di salah satu sudut bar. Ditemani dengan minuman kesukaannya. Beraroma alkohol. Matanya menerawang ke sekelilingnya. Tiba-tiba, titik pandangnya berubah. Semua titik pandang yang ia lihat adalah penghuni neraka. Semuanya hanyalah bahan bakar api neraka. Ruangan itu berubah menjadi nyala api membentuk dinding besar. Minuman di gelasnya berubah menjadi darah dan nanah. Musik berganti suara bara api yang membakar panas, cambukan tali raksasa, desisan ular yang siap memangsa, jeritan penghuni neraka yang kesakitan.

Orang-orang yang menari tak lagi bergerak gemulai mengikuti musik. Gerakannya berubah, badan meliuk-liuk, menahan siksa yang pedih. Bising. Tambah bising dan semakin bising. Suara-suara jeritan itu memekakkan telinganya. Hingga membuat gendang telinganya mau pecah. Sesosok makhluk aneh tiba-tiba mendekatinya. Semakin dekat. Makhluk itu membawa cambuk raksasanya, setrika raksasa, gunting raksasa, dan peralatan-peralatan aneh lainnya. Makhluk itu serupa dengan makhluk yang mengejarnya tiga hari ini dengan wajah yang juga tak dapat ditebak. Makhluk itu bersiap mengeluarkan cambuknya. Di belakang makhluk itu, ada ular besar yang bersiap memangsanya. Sedari tadi mengeluarkan lidahnya. Keluar masuk.

Tubuhnya gemetar. Keringat mengucur deras membasahi tubuhnya. Wajahnya pucat. Bibirnya membiru. Ia beranjak dan segera lari meninggalkan tempat itu. Makhluk dan ular itu terus mengejarnya. Ia terus berlari. Jalanan tiba-tiba dihampari duri dan jeruju. Pepohonan menjadi api. Kendaraan menjadi binatang buas yang siap menerkam. Tak ada tempat yang layak untuk bersembunyi. Semuanya bersekongkol untuk menangkap Ratna.

Semakin jauh ia berlari, tiba-tiba telinganya menangkap suara rinai merdu, lembut, dan tenang. Suara itu timbul tenggelam di tengah jeritan-jeritan manusia yang kesakitan. Semakin ia berlari, suara itu semakin jelas terdengar. Sama sekali berbeda dari alunan musik para musisi. Lebih indah dari simfoni Mozart atau Beethhoven. Suaranya merinai aneh, namun merdu. Akhirnya, ia sampai di sumber suara itu. Ia tiba di sebuah halaman. Para makhluk yang megejarnya semakin menjauh, tak mampu lagi menjangkaunya. Seperti ada sebuah pembatas yang menghalanginya masuk di kawasan ini. Makhluk itu akhirnya lenyap, tak membekas. Perasaannya lega. Keringatnya tiba-tiba kering. Berganti rasa sejuk yang menenangkan batinnya. Menembus masuk ke kulitnya. Jauh lebih sejuk dari angin musim dingin. Kesejukan yang tak ada tandingannya.

Langkah kakinya bergerak menyusuri tempat itu. Semuanya terlihat indah. Sungai-sungai mengalirkan air yang berkilauan. Jernih, riak, dan gemercik. Pepohonan berdiri kokoh dan rindang. Dilengkapi dengan buah-buahan, ruah dan segar. Istana megah menghampar hingga menembus langit. Penghuninya berwajah teduh, berseri, bercahaya, dan tersenyum ramah kepadanya. Semua orang memakai pakaian berbahan sutra, bergelang emas, dan mutiara. Semuanya sedang asyik bercengkerama, penuh canda tawa.

Ia singgah di sebuah peristirahatan. Di bawah pohon teduh lagi nyaman. Di sampingnya, mengalir sungai. Ia menggayungkan tangannya ke air sungai itu. Lalu, membasuh wajahnya. Benar-benar segar. Sesegar tegukan air dingin para kafilah yang dilanda kehausan. Kemudian, ia berbaring menghilangkan penatnya. Ia mengatup kan matanya. Perlahan. Seluruh anggota tubuhnya mengikuti, tertunduk lesu. Terbuai oleh senandung yang melenakan. Semakin jauh mengalun. Suara itu semakin melarutkannya dalam ketenangan. Hingga terlelap.

Rinai suara itu kembali membangunkannya. Membuka matanya perlahan. Ia tersadar. Semuanya berubah. Hidupnya seketika berestorasi. Suara itu berubah menjadi azan yang tengah berkumandang. Tubuhnya terbaring di atas altar sajadah. Matanya tertuju ke atas. Melihat plafon kubah masjid yang megah. Ilusi itu membawanya ke tempat ini. Tempat yang nyaman dalam ilusi berkedok mimpi. Rangsangan yang berasal dari perintah otak menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Ia beranjak dan segera mengambil air wudhu. Ia membasuh wajahnya. Rasanya seperti salsabil dalam ilusinya. Inilah pertama kali ia menghadap Tuhannya pada usia yang menginjak renta. Karena, cercah itu masih ada. (*)

Keterangan:

Pete-pete adalah nama lain dari angkot yang digunakan di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.

Qiyash adalah nama pena dari Bulqia Mas’ud, lahir di Polewali, 30 November 1989. Saat ini, ia mengambil jurusan Sastra Inggris di Universitas Hasanuddin, Makassar. Aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Makassar dan menulis cerpen. Karyanya sudah dimuat di beberapa media massa. Dua buah cerpennya telah dibukukan dalam Antologi Aji Bello: Album Cerita Pilihan bersama anak-anak FLP Ranting Unhas.

Cerpen ini meraih juara kedua dalam lomba menulis cerpen Islami Semarak Ramadahan 2009 antarmahasiswa yang dilaksanakn oleh Pengurus Harian Mushala Al Afiyah Universitas Hasanuddin.
Selengkapnya...

Laporan Pertanggungjawaban Ketua FLP 2009/2010 (5)

D. Divisi Dana dan Usaha
1. Gambaran Umum
Setiap organisasi pada dasarnya memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi secara finansial. Divisi Dana dan Usaha di FLP dimaksudkan untuk hal demikian. Divisi ini diharapkan bisa menjadi tiang kemandirian organisasi. Divisi Dana dan Usaha diberi kebebasan melakukan usaha-usaha apa pun yang halal dan tidak mengikat.

2. Kondisi Kepengurusan
Kondisi kepengurusan dana dan usaha mengalami pasang surut. Salah satunya karena rapat divisi jarang dilaksanakan. Hanya satu dua anggota yang aktif.

3. Program Kerja
a. Iuran Anggota
Pada awal-awal kepengurusan, program kerja ini berjalan dengan baik. Namun, di semester kedua kepengurusan, iuran anggota mulai tidak lancar.
b. Infak Rapat
Kegiatan ini kadang terlaksana. Sebagai media kader untuk beramal dalam menjalankan kegiatan organisasi.
c. Penjualan Merchandise
Penjualan merchandise ini sering dilaksanakan. Termasuk pada saat bazaar.
d. Pengadaan Jaket FLP
Tidak terlaksana
e. Pembagian persen
Agenda ini ialah konsesus bersama anggota FLP. Bila ada karya yang dimuat atau memenangkan lomba, maka 5-10% masuk ke dalam kas FLP. Agenda ini berjalan dengan baik.

4. Saran
Agar kepengurusan ke depan lebih kreatif dalam menjalankan kerja-kerja Divisi Danus. Serta semangat dan bertanggung jawab.

Selengkapnya...

Laporan Pertanggungjawaban Ketua FLP 2009/2010 (4)

C. Divisi Kaderisasi
1. Gambaran Umum
Divisi kaderisasi merupakan rahim dari sebuah organisasi. Nafas keberlanjutan organisasi ditentukan oleh jalan tidaknya divisi ini.
Divisi kaderisasi FLP Unhas periode ini berupaya diperkuat untuk menjamin tersedianya generasi pelanjut di FLP. Divisi ini juga bertanggung jawab terhadap kuantitas dan kualitas kader. Untuk itu, dilakukan program kerja yang mengarah ke tujuan-tujuan tersebut.

2. Kondisi Kepengurusan
Kepengurusan Divisi Kaderisasi periode ini tidak terkelola dengan baik. Rapat pengurus amat jarang dilakukan. Meski demikian, program kerja telah diupayakan untuk dilaksanakan.

3. Program Kerja
a. Workshop Kepenulisan
Kegiatan ini terlaksana dengan baik. Dilaksanakan pada hari Sabtu, 31 Oktober 2009, bertempat di LT.1 Fakultas Teknik Unhas. Jumlah peserta mencapai 60-an orang. Kegiatan ini bertujuan untuk menambah wawasan kader dan juga mahasiswa umum dalam dunia kepenulisan.
b. Sekolah Menulis
Sekolah menulis merupakan pertemuan pekanan FLP. Bertujuan untuk meningkatkan dan memantau kualitas karya kader. Sekolah menulis periode ini mulai dijalankan pada pertengahan bulan Oktober. Namun, pada akhir Desember, sekolah menulis diambil alih oleh Wilayah. Baru setelah Training of Recruitment FLP Unhas dilaksanakan, sekolah menulis ini berjalan kembali. Sekolah menulis dilaksanakan di Gedung Ipteks atau di depan perpustakaan Unhas.

c. Training of Recruitment
Kegiatan ini merupakan ajang perekrutan anggota baru FLP Unhas. Dilaksanakan pada tanggal 7-9 Mei 2010 di LEC.Athirah Baruga Antang. Peserta mencapai 33 orang. Kegiatan ini berjalan dengan baik.

4. Saran
Agar kepengurusan ke depan lebih mempertajam arah dan mekanisme pengkaderan. Serta lebih kreatif, inovatif, militan, dan istiqamah terhadap kerja-kerja organisasi.



Selengkapnya...

Laporan Pertanggungjawaban Ketua FLP 2009/2010 (3)

B. Divisi Hubungan Masyarakat
1. Gambaran Umum
Sebuah organisasi dituntut mampu untuk dapat mengembangkan skill anggota serta memberikan sumbangsih kepada masyarakat. Dalam menjalankan misi tersebut setiap organisasi harus memiliki sebuah divisi yang bergerak dalam hal menyosialisasikan berbagai macam bentuk kegiatan atau segala sesuatu yang berhubungan dengan keorganisasian baik kepada masyarakat umum maupun kepada lembaga-lembaga lain sehingga dapat memperluas jaringan, membangun link serta pembentukan citra oraganisasi sehingga dapat dikenal secara luas dan menyeluruh. Divisi Hubungan Masyarakat atau yang biasa di singkat dengan divisi humas merupakan divisi yang berfungsi untuk mengemban tugas tersebut.
Pada periode kepengurusan ini, Divisi Humas FLP Ranting Unhas telah melakukan sosialisasi-sosialisasi kepada pihak luar (eksternal), yakni berupa pengenalan FLP secara maksimal di kampus-kampus, sekolah dan pada masyarakat umum. Membangun link dan pencitraan diri dengan menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Selain itu divisi humas juga berfungsi untuk meningkatkan sense of belonging antara sesama anggota FLP dengan menempatkan diri sebagai pihak penengah yang dapat mencegah dan melerai jika terjadi masalah di pihak internal organisasi dengan memfasilitasi adanya diskusi-diskusi yang membahas masalah-masalah serta kendala yang terjadi dalam kepengurusan serta mengadakan silaturahmi pengurus FLP Ranting Unhas maupun dengan pengurus lainnya (cabang atau wilayah). Tujuan-tujuan tersebut kemudian diwujudkan dalam program kerja Divisi Humas akan dijelaskan secara lengkap pada pembahasan selanjutnya.

2. Kondisi kepengurusan
Dalam melakukan program kerja Divisi Humas, kendala yang dihadapi yaitu kurangnya jumlah anggota humas yang aktif sehingga menghambat kinerja program kerja yang telah dilakukan. Namun dalam kepengurusan ini, divisi humas tetap berusaha mencapai target sesuai dengan program kerja yang telah ditetapkan.
Pada dasarnya kondisi divisi humas FLP Unhas sedang tidak baik-baik saja. Tidak terkoordinir dengan baik, tidak jalan sesuai dengan waktu yang ditargertkan. Beberapa program kerja dikondisikan dengan program kerja lain, karena kurangnya dana.

3. Program Kerja
a. FLP Road To Campus
Program kerja ini bertujuan untuk menyosialisasikan FLP di kampus dengan sasaran mahasiswa baru. Dilaksanakan pada penerimaan mahasiswa baru Unhas di Baruga A.P.Pettarani, tanggal 18 Agustus 2009.


b. FLP Road To School
Tidak terlaksana
c. Birokrat Networking
Program kerja ini bersifat menjalin komunikasi yang baik dengan pihak birokrat kampus. Ini rutin dilakukan.
d. Rumah Inspirasi
Tidak terlaksana
e. Silaturrahim rutin dengan FLP Ranting lain
Silaturrahim dengan FLP Ranting lain terjalin dengan baik. Hanya saja kunjungan secara organisasi ke kampus-kampus lain tidak dapat terlaksana.
f. Pengadaan Website FLP Ranting Unhas
Terlaksana berupa website blog, dengan alamat www.flpunhas.blogspot.com
g. Empowering Discussion
Terlaksana hanya sekali dalam kepengurusan, yang seharusnya rutin tiap bulan.
h. Restrukturisasi Blog, Grup FB maupun Frienster FLP Ranting UNHAS
Blog dan FB sudah terkelola dengan baik
i. Ramadhan With FLP
Terlaksana, dengan agenda kegiatan berupa baksos ramadhan, dan buka puasa bersama di Masjid Al-Aqsa Unhas.
j. Kunjungan Media
Kunjungan media dilaksanakan dengan berkunjung ke Identitas dan juga Fajar (Include pada saat TOR I FLP Unhas)
k. FLP in action : Pengajuan Karya rutin ke Identitas UNHAS
Kegiatan ini terlaksana dengan baik.

4. Saran
a. Agar semuanya mendahulukan kerja tim, bukan individual. Terutama untuk posisi ketua atau koordinator dari tiap divisi.
b. Diperlukan rapat evaluasi kepengurusan yang berjalan intens agar hasil dari evaluasi dapat menjadi perbaikan ke depannya.
c. Sekali-kali diperlukan silaturahim kader agar mempererat tali ukhuwah dan kerjasama satu sama lain.



Selengkapnya...

Laporan Pertanggungjawaban Ketua FLP 2009/2010 (2)

A. Divisi Penulisan dan Penerbitan
1. Gambaran Umum
Departemen penulisan dan penerbitan merupakan ujung tombak dari organisasi kepenulisan seperti FLP Ranting UNHAS. Departemen yang menangani produktivitas dan kreativitas dari FLP UNHAS ini sudah seharusnya mempunyai cara-cara untuk memajukan organisasinya. Departemen penulisan dan penerbitan periode ini mempunyai 4 program kerja yaitu bedah buku, majalah FLP, lomba menulis, dan pena award. Semua kegiatan ini bertujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas tulisan anggota dan pengurus pada khususnya dan mahasisawa UNHAS pada umumnya. Tapi karena satu dan lain hal, salah satu program kerja tidak dapat terlaksana yaitu pena award. Pengurus deparetemen penerbitan dan penulisan periode ini berharap agar pena award dapat dilaksanakan di periode selanjutnya.

2. Kondisi kepengurusan
Kepengurusan departemen penulisan dan penerbitan periode ini mengalami ketimpangan saat koordinatornya memutuskan untuk mengakhiri karirnya di FLP Ranting UNHAS. Pengganti koordinator departemen penulisan dan penerbitan pun masih denial dengan jabatan barunya. Hanya beberapa lintir orang yang masih aktif bekerja untuk departemen ini. Hasilnya, terjadi kekurangan koordinasi yang mengakibatkan ada program kerja yang tidak terlaksana dan beberapa hambatan yang terjadi akibat kurangnya koordinasi antar pengurus.

3. Program Kerja
a. Bedah Buku
Tanggal: Ahad, 2 mei 2010
Tempat: Aula Departemen Sosial Provinsi Sulawesi Selatan
Tujuan: Mengajak para remaja, dewasa, orang tua agar lebih mencintai membaca dan menulis karena membaca dan menulis adalah kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dan merupakan aktivitas yang bermanfaat.
b. Penerbitan Majalah
Penerbitan majalah ini bertujuan sebagai media penyampaian opini, karya, dan sarana publikasi seputar program FLP UNHAS. Majalah yang ditargetkan terbit sekali sebulan, ternyata hanya bisa terbit sekali dalam setahun. Yakni pada bulan Agustus 2009.
c. Lomba Menulis
Kegiatan ini bertujuan sebagai upaya FLP UNHAS untuk menumbuhkan semangat kompetensi menulis di kalangan mahasiswa UNHAS. Lomba ini disatukan dalam acara Pekan Literasi FLP Unhas. Lomba dilangsungkan tanggal 8-27 februari 2010.
d. Pena Award
Kegiatan ini sebagai bentuk kompetisi karya sesama kader FLP. Tidak Terlaksana.

4. Saran
Saran untuk departemen penulisan dan penerbitan selanjutnya agar tidak hanya melanjutkan program kerja di tahun ini tapi juga memberikan program- program kerja yang baru dan lebih bisa membawa FLP UNHAS lebih unggul. Serta tingkatkan koordinasi antara koordinator departemen dengan anggota-anggotanya.



Selengkapnya...

Laporan Pertanggungjawaban Ketua FLP 2009/2010 (1)

KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, tidak henti-hentinya kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sebagaimana Dia tidak henti-hentinya mencurahkan nikmat dan karunia-Nya buat kita semua sehingga pada kesempatan kali ini, kita masih bisa merasakan nikmat hidup dan kehidupan, dan kemudian kita akhirnya bertemu dalam momen yang sangat istimewa ini.
Salawat dan salam tak lupa terkirim kepada Rasulullah Muhammad SAW, sosok pemimpin sejati yang menjadi rujukan pemimpin-pemimpin besar, sosok panglima ulung yang menjadi panutan pasukan militer di seluruh dunia, sosok sahabat setia yang begitu menjaga sahabatnya baik di kala senang maupun susah, dan sosok suami idaman yang begitu pandai membahagiakan orang yang dicintainya. Semoga suri tauladan Beliau selalu menjadi landasan prilaku kita dalam menjalani perjalanan kehidupan ini.

Teman-teman sekalian…
Forum Lingkar Pena (FLP) Unhas, bila diibaratkan bumi, maka ia telah sedang melalui rotasi dan revolusi hingga akhirnya tiba pada titik sekarang ini. Bila diibaratkan matahari, maka ia telah bersinar terus menerus hingga akhirnya tiba pada momentum seperti saat ini. Bila diibaratkan bintang, maka ia telah menjadi teman yang senantiasa menerangi hingga akhirnya tiba pada sebuah waktu layaknya hari ini. Bila diibaratkan kapal, FLP Unhas telah meninggalkan daratan, kemudian berlayar, memecah ombak, mengarungi lautan, melawan angin, menaklukkan gelombang, melintasi pulau ke pulau, hingga semua akhirnya tiba pada labuhan tempat kita beristirahat sejenak, yakni momentum Musyawarah Ranting FLP Unhas.
FLP Unhas telah berdiri sejak tahun 2006. Begitu banyak warna yang menghiasi pelangi perjalanan organisasi ini tiap tahunnya. Mungkin ada warna terang benderang yang menarik perhatian, namun tidak sedikit warna gelap yang memaksa kita tuk harus mengerutkan kening menahan gelisah. Begitulah memang adanya. Segala sesuatu di alam semesta ini terus berdinamika dan terus berdialektika hingga pada suatu masa mencapai titik seimbangnya.
Begitu juga kisah yang mengiringi novel cerita FLP Unhas 2009/2010 ini. Kisah-kisah yang tertuang menyimpan drama dan nuansa tersendiri. Alur cerita bisa jadi sulit ditebak. Latar mungkin saja sulit ditemukan padanan katanya. Konflik bisa jadi tidak terkelola dengan baik dalam setiap babnya. Susunan kalimat boleh jadi masih tidak efektif. Hingga tokoh-tokoh yang dimunculkan mungkin saja tidak memiliki karakter kuat, yang bisa membangun cerita dalam novel ini menjadi lebih baik.
Sebagai penulis novel cerita kepengurusan FLP Unhas 2009/2010, tentunya kami harus mempertanggungjawabkan apa yang telah kami tulis. Karena setiap kita akan dituntut pertanggungjawaban yang telah diperbuat, entah itu secara vertikal maupun horizontal.

Teman-teman sekalian….
Dengan segala kerendahan hati dan dengan memohon ampunan dari Allah SWT, izinkan kami membacakan laporan pertanggungjawaban ketua FLP Unhas periode 2009/2010.


Selengkapnya...

Minggu, 13 Juni 2010

Palestina Memanggilmu

Republika Minggu, 13 Juni 2010 pukul 15:20:00

SASTRA

Oleh Andi Asrawaty

"Di negeri kami langit selalu tampak bercahaya, dari jauh sekilas cahaya itu akan tampak indah, berwarna-warni menghias angkasa. Namun, siapa sangka? Ternyata cahaya itu datang meminta ribuan tumbal nyawa. Nyawa dari manusia-manusia yang jiwanya tidak pernah merasakan takut tatkala suara-suara raksasa dari rudal-rudal melebur bersama suara-suara senapan yang menebarkan ratusan peluru. Menyayatkan sembilu atas ribuan nyawa. Pembantaian atas penghianatan kemanusiaan itu datang dari sebuah negeri calon penghuni neraka abadi. Mereka datang dengan hasrat kebinatangan, bukan lagi kerasukan, tapi naluri kebinatangan itu telah menelusup, menjalar, bahkan telah mendarah daging dalam diri mereka, hingga sebuah nyawa kaumnya tidak lebih berharga dari nyawa seekor nyamuk yang harus segera dimusnahkan."


"Di negeri kami, mereka datang menumpang sebagai pengungsi, lalu sedikit demi sedikit menggorogoti, perlahan tapi pasti mendesak kami semakin tersingkir dari Jalur Gaza, jalur yang seharusnya menjadi hak milik kami sepenuhnya. Lalu, hari demi hari, sedikit demi sedikit mendobrak terang-terangan menyebarkan kaki-kaki perampasan hak-hak atas tanah kami. Konflik itu bermula pada 1948, tanggal 14 Mei saat para Zionis memperoleh kemerdekaannya di negeri kami. Sementara kami harus terjajah di negeri sendiri. Organisasi terbesar di dunia membuat keputusan tidak rasional, mereka mengesahkan pendudukan atas 80 persen wilayah kami. Mereka akhirnya leluasa datang dengan ribuan tentara yang dilengkapi senjata kaliber tercanggih, buldoser serta mesin-mesin pembunuh raksasa yang mereka tempatkan di titik-titik penting. Menghancurkan permukiman beserta seluruh isi dan penghuninya. Sampai saat ini, kami terjajah, tapi hanya untuk sementara menyimpan kekuatan untuk kembali bangkit mengambil alih tanah kami."

"Di negeri kami, senjata, tank, mayat yang berserakan, bau anyir darah, suara rintingan tangis, suara pejuang semua menjadi hal yang wajar. Ah … mereka sungguh lancang mencipakan neraka mencekam di bumi di negeri kami yang kaya akan minyak dan damai. Kami boleh saja terjajah secara fisik, namun jiwa kami tidak akan pernah kalah oleh todongan senapan yang pelatuknya dapat kapan saja meledakkan kepala kami.

Secara kasat mata mereka mungkin menang, itu pun hanya sementara. Sementara mereka semakin mengganas. Keinginan untuk melumpuhkan dan menguasai tanah air kami secepatnya terus menguasai jiwa mereka, tapi sayang keinginan mereka hanya sebuah mimpi utopis bagi kami karena jiwa kami tak akan pernah mungkin terjamah oleh kehancuran fisik maupun mental."

Suara-suara itu terus bergema di setiap ruang pendengaranku, begitu nyata suara jeritan seorang saudara seiman nun jauh di sana. Bukan hanya satu, kadang-kadang suara itu menjelma menjadi dua, tiga, seratus, bahkan ribuan suara yang meneriakkan penderitaan dan menyuarakan keteguhan hati serta menceritakan detail rekaman rentetan peristiwa sadis yang mereka alami. Akh, ribuan saudaraku nun jauh di sana membutuhkan pertolonganku. Jauh di dalam relung hatiku suara itu menggedor-gedor hatiku memanggil untuk berbuat sesuatu untuk mereka.

Bersama aktivis-aktivis Islam kami salalu melakukan aksi demonstrasi terkadang disertai aksi teaterikal yang bercerita kebiadaban Israel dan sekutunya memorak-porandakan negeri Palestina. Demonstrasi, menghimpun kekuatan bersama, menyuarakan kutukan terhadap negara kafir yang menyerang tanpa nalar, melanggar HAM, membunuh secara keji, dan di atas segalanya negara laknat itu telah melukai dunia Islam. Aksi demi aksi kulakukan atas dasar pembelaan hak-hak Palestina yang nyata terinjak-injak. Berharap jeritan-jeritan yang datang mengunjungi muara nuraniku dapat sedikit berdamai.

Namun tidak, jeritan itu semakin menjadi bahkan menjelma nyaris nyata dalam mimpiku.
Kulihat bocah-bocah kecil yang memegang ketapel, para wanita menggengam senjata. Tubuh-tubuh berserakan oleh bom, bangunan yang hancur menyisakan puing-puing yang bercampur dengan darah. Akh, jeritan tangis dan perlawaan saudara-saudaraku terdengar dan tergambar begitu jelas bukan lagi mengetuk, tapi seakan meruntuhkan gendang telinga nuraniku.

Ditemani embusan angin malam serta suara kendaraan yang sesekali lewat memecah kesunyian malam, dua orang pria berdarah bugis itu masih duduk di teras suatu rumah bercengkerama dengan sinar temaram lampu lima watt yang tak teracuhkan oleh sinar bulan purnama.

"Daeng aku ingin berangkat ke Palestina." Setelah terdiam hampir satu jam lamanya dengan pikiran masing-masing. Ismail akhirnya memenjarakan sepi dengan dengan membuka suaranya yang diiringi desah.

Pria setengah baya yang disapanya, Daeng hanya menyeruput kopi yang sudah tidak lagi mengepulkan asap. Sesaat dia terdiam.
"Ternyata selama ini, itu yang membuatmu resah Is."

Pertanyaan pria itu hanya sampai di situ, dia tahu benar pria muda yang telah dia anggap sebagai adik kandung itu akan bercerita banyak padanya malam ini. Sudah tampak lama dirinya menangkap keresahan yang terbaca tanpa kata. Tak pernah sekalipun dia menanyakan permasalahan itu pada adiknya. Dia tahu betul kepribadian Mail yang tertutup. Ketika dia merasakan perlu berbagi, ungkapan itu akan mengalir sendiri, tanpa tanya, hanya ada jawab.

"Ya Daeng, telah lama aku memikirkan untuk hal ini."
"Jihad? Tapi, bukankah di sini kita juga melakukan perjuangan untuk Palestina?"
"Ya, Daeng, tapi ..."
Daeng hanya mengangguk, tanpa bertanya apa-apa.
Tapi, setiap malam aku merasakan gelisah, aku mendengar jeritan yang meminta pertolonganku. Entah itu apa? Aku merasa, mereka membutuhkanku.
"Is, tidak usah pergi jika alasan keberangkatanmu ..."
Hanya udara yang menyampaikan melanjutkan pria itu.

"Atas dasar apa kau beranggapan demikian? Lalu, kau anggap aku ini siapa, Kak Yuni siapa, anak-anak panti siapa? Kau pikir selama ini kami bukan keluarga?"

"Afwan Daeng, bukan itu, bukan, sungguh aku sudah menganggap Daeng kakak sendiri, Kak Yuni juga, dan semua adik-adik panti di sini. Tapi, saya merasa tidak cukup jika hanya melakukan aksi dari jauh dan membiarkan saudara kita menderita. Jauh dalam hati nurani saya memanggil untuk berbuat lebih dari sekadar melakukan aksi peduli dari sini."

"Bagaimana dengan kuliah kamu?"
"Saya sudah memutuskan untuk berhenti kuliah Daeng."
Sesaat dia memandangi bulan purnama yang bulat, mengagumi keindahannya. Lalu, mengucap syukur dan kagum atas kekuasaan Tuhannya.

"Kuliah? Sudah tiga bulan saya mengikuti kuliah Daeng, tapi saya tidak begitu tertarik hanya berkutat dengan teori-teori itu, bukankah saya sudah dapat membacanya di buku? Bahkan, sebelum kuliah dimulai, saya sudah paham dengan teori tersebut. Saya akan kuliah di Palestina saja, kuliah di antara tangisan dan empati, dengan senjata dan nyali, dengan darah dan keberanian, di antara mayat dan persaudaraan. Itulah kuliah kehidupan yang saya inginkan. Mempraktikkan teori secara riil! Saya rindu pahala jihad, Daeng, mereka memanggil saya Daeng, jelas sekali jeritan itu, mereka menunggu dengan berteriak sangat keras, keras sekali. Izinkan saya Daeng, sekarang saya hanya membutuhkan keridaan Daeng merelakan saya pergi."

"Sejujurnya, tidak akan ada yang membuat saya takut menuju Palestina, saya tidak akan gentar menghadapi Zionis, bahkan maut sekalipun, kecuali perpisahan dengan kalian. Selain kalian, tidak akan ada yang menahan kepergianku, tidak ada yang akan mengharapkan kedatanganku, sejak saya telah lahir yatim piatu, tak juga pernah tahu keluarga selain Daeng, Kak Yuni, dan semua adik-adik panti. Kalian adalah keluarga yang paling berharga yang pernah ada. Saya sudah merasa sangat beruntung mengenal kalian, terutama Daeng yang telah membebaskan saya dari jeratan kehidupan malam menuju cahaya Islam.

Tidak perlu lagi Daeng keluarkan uang untuk kuliah saya, pergunakan saja untuk adik-adik. Saya tidak mau membebani Daeng lebih jauh. Lebih dari cukup, Daeng menyadarkan saya dari kehidupan gelap dengan dunia Islam yang begitu indah. Dalam hal itu, saya sungguh tidak mampu membalas Daeng, hanya Allah saya selau berharap untuk menggantikan surga sebagai ganjaran kebaikan setimpal dengan kebaikan Daeng. Mohon Daeng jangan menghalangi saya, ini sudah keputusan saya yang bulat."

"Tidak ada satu pun yang akan menghalangi kamu Is, tidak juga aku. Sejak pertama melihatmu di jalan sewaktu mencopetku, aku telah mendalami sinar matamu yang menyimpan ketegasan, kini setelah memahami Islam seutuhya, kau telah matang. Kedewasaan telah menjamah jiwa dan ragamu. Maka, apa yang harus aku kulakukan selain doa yang tulus melepasmu mencari surga Allah yang kau dambakan."

Ismail akhirnya berdiri di tengah-tengah rakyat Palestina, merasakan penderitaan menyaksikan banjir darah Palestina. Emosi pria itu tak lagi terbendung, tatkala melihat kebiadaban berlangsung di depan matanya. Seorang tentara mencengkeram tangan seorang anak kecil yang mencoba melempari batu ke arah pasukan Israel, menumpahkan dendam atas kematian ibunya menjelang suara azan hendak berkumandang. Seketika, refleks sang tentara mencengkeram tangan anak itu. Hendak dipatahkan, hukuman tak berperikemanusiaan tak terkecuali pada anak-anak. Dengan langkah seribu pria itu melakukan perlawanan. Namun …

Hari itu, tepat tiga bulan lamanya Ismail bergulat bersama berbagai suara dan bau kematian. Setelah berhasil menembus penjara raksasa terbesar yang diciptakan Israel untuk memblokade Palestina terhadap dunia luar. Di dalam penjara itu mereka dipasung dengan bom, peluru-peluru seperti hendak menghancurkan regenerasi warga Palestina.

Hari itu, sebuah peluru telah mendarat tepat di dadanya atas pembuktian kepedulian yang nyata atas Palestina. Tapi, Ismail tidak lagi merasakan sakit, nyerinya telah menguap bersama jeritan-jeritan yang berteriak memanggil namanya. Senyap, dan mengalun begitu indah bersahut-sahutan. Ismail ternyata telah menangkap jeritan-jeritan dari surga yang telah memanggil namanya jauh di atas langit. Allahu Akbar. Akhirnya jeritan terakhir itu diteriakkannya atas nama syahid sebagai penebus kebebasan Palestina suatu hari nanti.


Andi Asrawaty, lahir di Watampone, Sulawesi Selatan, pada 14 Mei 1990. Karya-karyanya, baik puisi maupun cerpen, telah dimuat di sejumlah media massa, baik lokal maupun nasional. Seperti Harian Fajar dan Identitas di Makassar dan Republika. Aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Makassar.


Selengkapnya...

Selasa, 01 Juni 2010

RANI DALAM DIAMNYA



Oleh: Masnawati M (Alumni TOR FLP Unhas)
Menikmati suasana sore di tepi sebuah danau. Di bawa pohon yang rindang. Aku masih diselimuti awan kebingungan. Untuk pertama kalinya aku bertemu lagi dengannya, sejak berthun tahun terpisah. Tapi tak seperti kebanyakan orang yang baru ketemu. Kami tidak berhamburan melepas rindu yang kami lakukan hanya saling menatap. Tak ada rangkaian kata yang keluar dari mulut kami. Bibir terkunci kami seperti tidak saling mengenal. Tapi sejak pertemuan kemarin sore, ia menjadi dingin kepadaku. Seperti es batu yang siap untuk dilelehkan. Kucoba menanyakan kepadanya apa yang terjadi. Tapi jawaban yang aku dapat hanya melihatnya terdiam menatapku dengan tatapan menghakimi.
Aku mengenlanya di sekolah dasar beberapa tahun yang lalu. Dia Rani sahabat kecilku yang paling kusayangi. Dia pindahan dari pulau Kalimantan. Kami di tempatkan di kelas yang sama dan duduk berdampingan. Hingga keakraban itu mulai mengikat hati kami. Sampai kemudian kami harus terpisahkan. Itu terjadi waktu kami kelas 5 SD. Dia tiba-tiba pergi. Pindah sekolah mengikuti ayahnya, tanpa pamit dan tanpa meninggalkan pesan sedikitpun.


Sejak saat itu, kami kehilangan komunikasi. Aku masih melanjutkan sekolahku, sampai di perguruan tinggi.
“ Ran, Halloo…” tiba-tiba Tari datang menghentakkan tangannya ke pundakku. Aku tersadar dari lamunanku. Pikiranku ternyata sudah jauh meninggalkan ragaku. Kubalas sapaan Tari dengan sesungging senyum. Tak perlu basa basi, tanpa disuruh duduk pun ia langsung duduk tepat di depanku.
“ Ada apa Nara, mukanya kok kisut kayak benang kusut sih?” katanya sambil mencubit gemas kedua pipiku.
“ Nggak ada apa-apa kok…Cuma pengen aaja menampakkan muka kisut kayak benang kusut” jawabku sekenanya sambil tertawa ringan.
“ Nara, masih masalah dengan Rani itu yah?” Tari ternyata mampu menebak apa yang sedang menari-nari di kepalaku. Masalah Rani aku memang pernah menceritaknnya pada Tari. Hanya kepadanya.
“ Kok tahu, tebakan kamu hebat juga yah” masih dengan nada bercanda.
“nggak usah dipikirlah. Percuma saja kan kalau cuma kamu aja yang mengingatnya, memikirkannya tapi dia tidak pernah mengingatmu. Merespon ucapanmu juga dia tidak sudi kan? yah sudahlah, cukup!” suara tadi melehkan mutiara dari sudut kelopak mataku.
Diam. Kami terdiam beberapa lama. Larut dalam pikiran masing-masing. Dan pikiranku masih berlari ke arah Rani. Entahlah dengan Tari. Aku tak tahu dimana pikiranya bermuara.
Kemarin adalah pertemuanku yang kedua kalinya dengannya. Semua terjadi secara kebetulan dan kemarin adalah puncak dari semua tanda Tanya yang masih menggelayatiku. Kebingunganku kembali menguasai pikiranku. Mengeja setiap sketsa yang pernah terjadi antara aku dan sahabat kecilku.
Sejak pertemuan kemarin, kami seperti tidak saling mengenal. Dia seperti menjelma menjadi manusia baru yang tak saling mengenal dengan masa lalunya. Mungkin ini juga salahku. Sejak pertemuan kami yang pertama di sebuah pusat pembelanjaan, kusodorkan pertanyaan demi pertanyaan kepadanya. Aku tak bermaksud membuatnya tersudut, tapi inilah bentuk rasa bahagiaku bisa bertemu dengan sahabat lamaku. Semua pertanyaaku dib alas dengan senyuman. Senyuman yang tak perenah aku lihat sebelumnhya. Manis tapi tersirat makna di baliknya. Dan aku tak mampu menerjemahkannya. Karena terburu-buru, kutinggalkan dia sendiri dan aku tak sempat mendengar penjelasannya. Kulambaikan tanganku padanya,
“ Sampai ketemu lain kali yah” sambil berlalu meninggalkannya sendiri. Aku tak berpikir untuk meminta nomor Hp atau alamatnya. Tapi sebelum aku tinggalkan, tanganya menyodorkan kepadu sebuah kartu nama.
“ Tar… kartu nama” ingatanku tiba-tiba tertuju pada sebuah kartu nama.
“ Kartu nama apaan?” Tari berbalik tidak mengerti dengan apa yang aku maksud.
“ Kemarin Rani menyodorkan sebuah kartu nama. Aku juga nggak tahu sih itu kartu nama siapa, tapi yang jelas itu bukan kartu nama ayahnya. Mungkin kita bisa menemukan jawab dari kartu nama ini” kamu maukan temani aku mencarinya?” nadaku sedikit memaksa.
“ Ya udah deh, aku temani. Biar semua jelas dan muka kisut kamu berubah.” Jawab Tari sambil keduanya beranjak meninggalkan danau tempatnya berbincang.
Menyusuri ibu kota dengan kendaraan motor. Meliuk kiri, meliuk kanan. Aku diliputi rasa penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi dengannya. Mungkinkah dia benar-benar amnesia. Kusingkirkan semua pikiran negatifku, kami sudah berada di depan rumah seorang yang tidak dikenal. Ku tekan bel pagarnya dari dalam rumah tampak seorang ibu paruh baya membuka pintu pagar. Mempersilahkan kami masuk dengan ramah.
“ Cari siapa Nak?” Tanya ibu itu sambil mempersilahkan kami duduk.
“ Bisa ketemu Rani ?” suaraku seperti timbul tenggelam menayakan kabar Rani.
“Iya sebentar saya panggilkan”
Tak beberapa lama Rani keluar dari kamar membawa bingkai yang kamipun tak tahu itu bingkai apa. Dia masih diam. Diam yang penuh misteri. Tapi sebuah gerakan tangan berusaha menguntai kalimat. Kalimat yang berusaha menjelaskan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi.

Selengkapnya...