Sabtu, 23 Januari 2010

Telah Terbit Buku Terbaru FLP Unhas


Setelah sekian lama menanti, akhirnya buku "Album Cerita Pilihan Aji Bello" berhasil diluncurkan. Diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Refleksi.
Menu Buku:
Sebatas Penantian (Sultan Sulaiman)
Terminal Daya (Qiyash)
Silanjuk di Salongge (Epiki Fajargoga)
Aji Bello (Fitrawan Umar)
Hercules C-130 (Sultan Sulaiman)
Ana Arung (Chara Aw)
Perjalanan Pulang (ani Dzakiyah)
Bulan kedua di rumah kecil kami (Rasdiyanah Nendenk)
Lelaki Pendiam Penuh Pesona (Fitrawan Umar)
Tatap Surya Seperti Malam (Raidah Intizar)
Saat Cinta Dendangkan Luka (El Zukhrufy)
Namaku Chloe (asti Eka Ramadani)
Mereka bilang, Aku Gila (Radiyanah Nendenk)
Mentari, Aku Masih Di sini (Otumi Annisa)
Peluh Semesta Waktu (Cheri Tarnad Prodigio)
Dearly Beloved Papa (Muthie Salsabil)
Darah Kematian (Zulya Hamida)
I need You Friend (Nurul)
Borwnies itu.. (Yana Yan)
My Mysterious Writer (Qiyash)

Dapatkan Segera di Toko Buku Gramedia dan Toko Buku Terdekat
Atau Hub. FLP UH CENTER 08991824009
Membeli juga berarti Beramal!






Selengkapnya...

Kamis, 21 Januari 2010

ENGKU BADAR*


Oleh : Aida Radar**
aidahrahmanbadar.blogspot.com

Badarudin Mahifa! Nama yang tertera di jadwal mata kuliahku. Pengajar salah satu mata kuliah yang aku programkan pada semester itu. Staf Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, tempat aku menitipkan nama di daftar absensi.

Meski namanya Badarudin Mahifa, orang-orang menyapanya Engku Badar. Engku sebutan hormat masyarakat untuk guru laki-laki pada masa itu. Aku tidak punya cukup informasi sampai tahun berapa sebutan Engku digunakan. Badar adalah nama kecilnya. Terkenallah dia Engku Badar.

Pertama kali bertatap muka di kelas, ia kutaksir berkepala tujuh. Itu terlihat dari uban yang mengganti rambutnya, keriput-keriput yang bertebaran di wajahnya, langkah kakinya juga sudah pelan siput.

Meski penampilan fisiknya menunjukkan tuanya, jangan kira ia seperti dosen-dosen tua kebanyakan. Kepalanya tidak botak seperti teman-teman se-profesinya, rambut putihnya lebat selalu mengilap. Langkah kakinya yang pelan, tidak pernah membuatnya lambat melakukan sesuatu, termasuk mengajar di kelas. Wajah keriputnya bercahaya setiap ia menengadahkannya. Aku tahu asal cahaya itu. Cahaya itu efek air yang selalu ia basuhkan pada anggota tubuhnya. Aku sering menjumpainya di Mesjid Kampus setiap aku waktu salat.



Setiap bertemu, aku sekadar bertutur sapa. Aku tidak punya keberanian bercakap banyak, sampai berlama-lama mengupas topik. Aku tak pernah berani.

Aku sadar, aku mahasiswanya yang kurang menonjol di kelas. Walau otak tidak jongkok, intinya aku ini tidak menonjol. Karena aku takut tak bisa merespon apa yang disampaikan, maka cukup dengan sapa saja, aku puas. Tapi heran, dia hapal namaku. Selalu memanggilku dengan nama lengkap tanpa cacat.

“Faiz Abdul Rahman. Sudah sholat?” ia selalu bertanya seperti itu.

Ah! Bahagianya aku. Walau tidak terlalu aktif di kelas, ia mengenalku, tahu nama lengkapku. Sebagai murid aku merasa dihargai. Itu artinya ia mengenal semua mahasiswanya. Yang aktivis sampai fasivis kelas berat, semua Engku kenal. Satu lagi yang menurutku menarik darinya. Caranya berpakaian. Ia tidak pernah ketinggalan zaman, selalu modis, cara berfikirnya tidak kuno.

“Walau fisik sudah tua, gaya dan cara berfikir harus tetap muda dan sesuai dengan zaman agar kita tidak ketinggalan. Iya toh? Tapi ingat ikuti perkembangan zaman yang sesuai dengan kepribadian agama dan bangsa. Selain itu, tinggalkan! Karena lebih banyak mudharatnya.”

Begitu ia menjawab pertanyaan seorang teman di kelasku mengenai penampilannya.

“Seorang guru adalah panutan. Ia cermin bagi murid-muridnya. Setiap kali murid melihat gurunya, pertama kali yang mereka perhatikan penampilannya. Apakah gurunya berpenampilan baik ataukah awut-awutan? Kesan pertama sesuatu yang sulit dilupakan,” ujar Engku Badar mulai membagi ilmunya.

“Meski di kemudian hari mereka lebih mengenali dan mengetahui seberapa hebatnya guru mereka, mereka tetap selalu mengingat kesan pertama itu. Makanya, sebagai calon guru, penampilan kalian harus mendapat perhatian khusus disamping ilmu yang kalian miliki. Ingat itu baik-baik,” lanjutnya lagi.

Dia berhasil. Guruku yang berdiri di depan kelas itu berhasil membuatku terkesan dengan penampilan pertamanya. Waktu berjalan, ia telah menjadi dosen kesayangan teman-temanku, dan tentu saja aku.

***

Saban Sabtu ia mengajar di kelasku. Hari-hari lain ruang kelas sepi. Tapi tidak hari sabtu, mahasiswa-mahasiswa (bahkan baru pertama kulihat wajahnya) siaga di kelas. Seperti Sabtu itu.

Seseorang duduk di sampingku hari itu. Sebelumnya ia menyapaku lalu memperkenalkan diri.

“Hai…! Apakah tempat ini ada yang punya?” Tanya lelaki itu padaku.

“Oh…! Tidak ada. Tempat ini selalu kosong. Duduk saja!” Jawabku.

“Terima kasih. Saya Andi Fauzan. Panggil saja Uja. Mahasiswa konversi semester dua.”

“Saya Faiz Abdul Rahman. Panggil Faiz. Mahasiswa kelas ini.”

Dari perkenalan itu, aku tahu banyak hal tentang Engku Badar. Ternyata Uja juga pengagum Engku. Dosennya untuk mata kuliah ini bukan Engku Badar. Tapi ia tidak ikut kelasnya. Ia memilih ikut kelasku karena ia ingin Engku Badar yang mengajarnya.

Tidak hanya Fauzan saja yang aku kenal di kelas Engku. Sabtu berikutnya aku berkenalan dengan Doni, mahasiswa satu angkatan di atasku. Sabtu berikutnya lagi dengan Zulkifli, mahasiswa yang sedang menyusun skripsi.

Sabtunya lagi, aku berkenalan dengan orang-orang yang berbeda. Selalu orang yang berbeda seterusnya. Rata-rata memiliki alasan sama dengan Fauzan ketika kutanya mengapa mereka mengikuti kelasku.

Dari perkenalan-perkenalan itu, aku mengetahui lebih banyak tentang dosen kesayanganku.

“Engku Badar itu dosen yang cerdas. Beliau banyak mendapat penghargaan karena kecerdasannya. Beliau telah mengajar sejak berumur dua belas tahun.”

“Menurutku Engku badar diciptakan menjadi guru. Terbukti ia sangat hebat dalam urusan itu.”

“Engku Badar itu seorang duda. Istrinya meninggal karena sakit ketika Engku Badar mendapat tugas di luar daerah. Waktu itu pernikahan mereka baru lima tahun. Mereka tidak memiliki anak. Sepeninggal istrinya, Engku Badar tidak menikah lagi. Ia sangat mencintai istrinya dan merasa bersalah karena tidak bisa menemani di saat-saat terakhir. Jadi sekarang Engku Badar masih tetap sendiri.”

Masih banyak lagi yang aku tahu tentang prestasi-prestasinya. Bahkan kehidupan pribadinya.

***

Sebenarnya aku tidak pernah berpikir kuliah di Jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan, apalagi menjadi guru. Aku hanya mengikuti kemauan orang tuaku yang menginginkan aku menjadi guru seperti mereka. Aku jauh-jauh dari kampung sekolah untuk obsesi itu, obsesi orang tuaku.

Karena setengah hati aku menuntut ilmu di Keguruan, aku kurang suka kuliah selama semester satu dan dua. Aku selalu membayar dan menyelesaikan keperluan administrasi sebelum perkuliahan dimulai, baik dan tepat waktu. Namun semua itu kulakukan agar namaku bisa tetap berada di absensi kelasku dan tentu saja guna menyenangkan hati kedua orang tuaku.

Itu sebelum aku jadi mahasiswa Engku Badar. Setelah aku berguru dan lulus dari mata kuliah Engku –dengan nilai lumayan untuk mahasiswa kurang menonjol sepertiku-, jadi guru telah tertanam dalam jiwa dan ragaku.

Meski sudah lulus dari mata kuliahnya, Engku tetap guruku. Bukan karena ia kembali menjadi dosen mata kuliah yang aku programkan di semester sesudahnya. Tapi sebagai guru tempatku bertukar pikiran. Di semester itu, aku telah menjadi mahasiswa yang sudah menonjol. Aku sudah memiliki keberanian dan rasa percaya diri yang tinggi. Ah ya! Satu lagi aku sudah rajin kuliah. Aku mulai tertarik jadi guru sepenuh hati. Semua itu anugerah Yang Kuasa melalui Engku Badar.

“Kamu tahu mengapa saya jadi guru Faiz?” Tanya Engku Badar padaku dalam suatu kesempatan usai duhur di Mesjid Kampus.

“Pasti karena panggilan jiwa kan Engku?” Jawabku kembali bertanya.

“Yah… itu salah satunya. Tapi ada yang lebih mendorong saya mencintai profesi ini. Kamu tahu apa itu?”

Aku menggelengkan kepala.

“Umur dua belas tahun, saya membaca sebuah buku. Saya sudah lupa judul buku dan pengarangnya. Tapi saya sangat ingat sepenggal kalimat yang begitu menginspirasi saya

“Hmmm….” Ia menarik napas

“Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah Nabi dan Rasul-Nya. Begitu bunyi kalimatnya.”

“Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah Nabi dan Rasul-Nya.” Ia kembali mengulang kalimat itu.

“Karena guru mempunyai tanggung jawab yang besar, memanusiakan manusia. Ia punya tanggung jawab mengubah watak buruk seseorang menjadi baik. Menjadi guru berarti kamu telah mempersiapkan pahala-pahala jariah yang akan terus mengalir walaupun kamu telah berpulang ke Rahmatullah. Maka Faiz, beruntunglah kamu terpanggil melaksanakan pekerjaan mulia ini.”

Ia tersenyum dan menepuk pundakku. Aku meresapi setiap kata yang ia nasihatkan. Dalam hatiku, aku tanamkan kuat-kuat kata-kata itu.

***

Sudah seminggu aku tidak bertemu Engku Badar. Di mesjid dan tiap-tiap ruang kelas telah kujajaki. Aku ingin bertanya sesuatu padanya. Namun aku tak menemukannya. Ia menghilang.

Aku coba bertanya di ruangan jurusan. Nihil. Mereka juga tidak tahu. Pihak jurusan juga mencarinya. Engku tidak pernah mengajar seminggu belakangan.

Aku heran. Ada apa terjadi pada Engku? Tidak biasanya ia tidak mengajar tanpa konfirmasi. Jangankan seminggu, sekali absen dalam satu kelas hampir tidak pernah. Untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku berencana ke rumahnya sepulang kuliah.

Ketika kembali ke kelas untuk mata kuliah selanjutnya, sebuah kabar meremuk redam hatiku. Tubuhku gemetar.

“Innalillahi Wa Innailahi Ra’jiun. Telah meninggal dunia dosen kita, guru kita, ayah kita, pemberi ilmu bagi kita, bapak Drs. Badarudin Mahifa, M.Pd. atau yang biasa dikenal dengan Engku Badar. Beliau berpulang hari ini di Rumah Sakit Umum dalam keadaan belum sadar dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya satu minggu yang lalu. Semoga amal dan kebaikan beliau di terima di sisi Allah SWT. Amin.” Informasi itu disampaikan seseorang, tetangga beliau.

Apa…? Aku tidak percaya dengan semua ini. Ya Allah…! Engku Badar. Dosen kesayanganku telah meninggalkan dunia? Meninggalkan aku dan teman-temanku.

Butiran bening itu tak tertahankan lagi. Aku terdiam di tempat, wajahku pucat mata memerah. Semua kenangan bersama Engku tiba-tiba berkelebat dalam memori otakku Semua nasihatnya kembali terngiang.

“Ya Allah… terimalah Engku di sisimu yang paling baik ya Allah,” Lirihku. Mencoba mengikhlaskannya

Kelas awalnya riuh, kini hening. Semua tertunduk lesu. Kehilangan.

“Pak Faiz… sekarang jadwal mengajar bapak di kelas kami.”

Seseorang membuyarkanku dari lamunan masa lalu itu. Ia adalah Heriansyah. Mahasiswaku di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada Perguruan Tinggi tempat aku mengajar kini.

“Oh…! Terima kasih Heri. Kamu duluan ya! Nanti Bapak menyusul,” kataku.

“Iya Pak.” ia berlalu.

Aku mengambil tas dan perlengkapan mengajarku. Dalam hati aku berjanji untuk memberikan segala pengetahuan yang kumiliki pada mahasiswa-mahasiswaku.

Aku berjalan menuju ke kelas Heriansyah. Ketika melewati sebuah kelas sebelum ruang kelas mengajarku, aku mendengar seseorang berbicara di kelas itu. Tiba-tiba langkahku terhenti.

“Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah Nabi dan Rasul-Nya. Begitu bunyi kalimat dalam buku tersebut. Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah Nabi dan Rasul-Nya.”

Aku tercekat. Kata-kata itu…?

“Engku Badar….”

***

Makassar, 16 Mei 2009.

Pukul 06.51 WITA

Selesai diedit 1 Juli 2009 Oleh Seorang kakak


*Juara pertama lomba penulisan Cerpen pada Pekan Nasional Pers Mahasiswa (PENA EMAS) Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM)

Universitas Hasanuddin Makassar.

**Anggota FLP Sulawesi Selatan

Selengkapnya...

Rabu, 13 Januari 2010

Tips Menulis Cerpen


sumber: www.osolihin.com
Menulis cerpen adalah salah satu “jalan pintas” yang paling sering digunakan seseorang untuk merintis jalan menjadi seorang penulis. Sebelum menjadi penulis beken, biasanya seseorang memulai dengan menulis cerpen di media massa atau majalah-majalah remaja. Cara seperti ini sah-sah saja dilakukan. Toh dengan menulis cerpen, sebenarnya kita juga sedang berbagi ideologi dari kisah-kisah pendek tersebut sebagaimana menulis novel, opini, artikel bahkan buku bacaan.

Namun demikian, banyak juga yang tidak jadi melanjutkan cita-citanya sebagai penulis hanya karena tidak dapat menyelesaikan cerpennya. Ada yang tidak tahu darimana mulai menuliskannya. Ada juga yang tidak tahu bagaimana mengakhiri cerpennya. Celakanya, ketika ia tidak mengetahui hal tersebut, ia langsung mengutuk dirinya bahwa ia benar-benar tidak berbakat menjadi penulis.

Sebenarnya, tidak ada teori yang pasti mengenai penulisan cerpen. Namun, setidaknya tips dibawah ini dapat digunakan untuk memulai menulis cerpen. Yang penting untuk diingat, tips berikut adalah alat bantu untuk menulis cerpen. Jika kelak tips ini tidak membantu bahkan menyusahkan, jangan sungkan-sungkan untuk melupakannya.



Menentukan Tema Besar
Penentuan tema merupakan hal yang paling penting dalam penulisan cerpen. Sebelum membuat cerpen, setidaknya kita harus menentukan titik tekan (stressing point) dari cerpen tersebut. Ada banyak pilihan tema besar yang bisa kita pilih, diantaranya yaitu persahabatan, percintaan, sosial, budaya, sejarah, politik, sains dan tekhnologi, agama, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, kita memilih tema besar SEJARAH. Dari tema inilah kelak, kita akan membuat cerpen.

Menentukan Ide Cerita
Setelah kita menentukan tema besar, kita pastinya mempunyai ide-ide cerita yang berkaitan dengan tema besar tersebut. Percintaan misalnya, dalam hal ini kita bisa menemukan ide tentang pernikahan, perjumpaan pertama, rebutan pacar, saling kirim surat, dan lain sebagainya. Sangat banyak ide yang berkeliaran tentang tema percintaan. Begitu juga dengan tema-tema lainnya.

Dalam hal ini, ada satu hal yang filosofi menulis yang perlu kita ingat. “Janganlah memikirkan apa yang mau ditulis, tapi tulislah apa yang sedang dipikirkan!” tulislah ide-ide itu sebanyak-banyaknya. Jangan pernah takut salah. Toh, ini belum menjadi cerpen. Hanya pencatatan ide saja. Karena tadi kita telah memilih SEJARAH sebagai tema besar, kita mungkin bisa mencatat ide sebagai berikut: cerita nabi, sejarah kemerdekaan, dongeng-dongeng masyarakat, malin kundang, sangkuriang, dan lain sebagainya.

Mengembangkan Ide
Nah, inilah saatnya kita mengembangkan ide-ide tersebut. Dari sekian banyak ide yang kita tuliskan, tentulah ada satu ide yang sangat akrab ditelinga bahkan telah ada gambaran mengenai jalan ceritanya. Itulah yang harus kita kembangkan.

Dalam hal ini, satu hal yang perlu kita ingat adalah TEORI MENULIS ITU MUNCUL SETELAH ADA TULISAN. Jadi, tulislah sesuka hati, jangan pernah memikirkan apakah cerpen kita sesuai EYD atau tidak. Cerpen tersebut masuk akal atau tidak. Tokoh cerpen ini menarik atau tidak. Setting kejadiannya sesuai dengan aslinya atau tidak. Jangan pernah memikirkan hal-hal yang demikian. Dari ide diatas tadi, kita akan mengembangkan cerita nabi terkhusus nabi Ibrahim.

Merias Cerpen
Setelah ide tersebut kita kembangkan hingga dirasa cukup dan selesai, kini tibalah saatnya kita merias cerpen tersebut. Ingatlah sebuah teori yang mengatakan bahwa TIDAK ADA TULISAN YANG BAGUS KETIKA DITULIS PERTAMA KALINYA. Semua tulisan pastilah melalui proses editing. Dalam proses inilah, kita perlu memikirkan EYD, masuk akal atau tidaknya cerpen, tokohnya menarik atau tidak, dialognya terlalu formal atau nyata, setting kejadiannya sesuai asli atau tidak.

Kita juga perlu memikirkan apakah akhir dari cerpen ini memuaskan pembaca atau tidak. Mudah ditebak atau tidak. Jika semuanya telah cukup, selamat cerpen tersebut telah selesai.

Sebagai contoh berikut cerpen saya yang berhasil saya tulis dan telah dimuat di Nalar Magazine Edisi Pertama

Kata Orang Aku Mirip Nabi Ibrahim
Beberapa Bulan Yang Lalu

“Dek!” ujarku dihadapan istriku. “Idul Adha tahun ini Abang ingin berkurban 1 ekor kambing kalau kambing kita jadi melahirkan besok.”

“Terserah abang aja,” ujar istriku sambil menghidangkan kopi dihadapanku.

Itulah pembicaraanku dengan istriku tercinta malam hari sebelum kambingku melahirkan. Dengan lahirnya kambingku, nazarku untuk berkurban Idul Adha ini harus kupenuhi.

Sebulan Menjelang Idul Adha
Sekuat apapun manusia, sekaya apapun pengusaha, tak akan mampu menghalangi datangnya musibah. Musibah terkadang adalah awal dari kenikmatan bila kita sabar dalam menghadapinya. Tetapi, manusia sering tidak mampu untuk bersabar dalam menghadapi segala musibah. Sehari setelah kematian dua kambingku, anak kambing yang baru dilahirkan dan induk perempuan dari kambing tersebut karena keracunan, istriku menyusul menghadap keharibaan Allah SWT. Istriku meninggal akibat penyakit tipus yang dideritanya. Peristiwa ini membuat kesendirian dalam diriku ditemani oleh kambing jantanku.

“tok…tok…tok!” suara ketukan pintu rumahku.
Kubuka pintu dan seorang lelaki setengah baya berdiri dihadapanku. Diucapkannya salam dan aku membalasnya seraya mempersilahkannya untuk masuk. Akan tetapi ia menolak dengan alasan masih banyak rumah yang harus disinggahinya. Lelaki itu memperkenalkan dirinya. Namanya Yanto, salah seorang panitia penyelenggara kurban pada hari raya Idul Adha. Kedatangannya itu mengingatkanku pada nazar yang telah kuniatkan beberapa bulan yang lalu.

“Bagaimanakah hidupku bila kambing satu-satunya yang kumiliki kukurbankan? Apakah harta yang menopang kehidupanku? Hartaku satu-satunya hanyalah kambing itu, dan aku telah menazarkannya beberapa bulan yang lalu. Bolehkah aku membatalkan nazarku dengan alasan tidak adanya hartaku selain kambingku itu?” pertanyaan demi pertanyaan itu berkelabat hebat dalam pikiranku.

Ditengah kesendirianku itu, aku akhirnya membulatkan tekad untuk tetap mengorbankan kambingku satu-satunya itu. Aku yakin Allah akan menggantinya dengan ganti yang lebih besar dan lebih mulia. Bukankah Allah telah menjanjikan bahwa barang siapa yang mengorbankan harta dijalan-Nya akan mendapatkan ganti yang lebih banyak dan lebih mulia dari apa yang diberikannya? Bukankah barang siapa yang “menolong” Allah akan ditolong oleh Allah? Itulah yang menjadi tekadku dalam hati.

Akhirnya, aku membawa kambingku menuju Mesjid Raya, sekretariat panitia kurban wilayahku. Dijalan, aku bertemu dengan Pak Bram, salah satu tetangga yang kurang berkecukupan, sama seperti diriku.

“Assalamu’alaikum, Pak Ibrahim!” sapanya.

“Wa’alaikum Salam” sapaku seraya bersalaman dengannya.

“Mau kemana ni, Pak!” ujarnya lanjut, “Singgah dulu”

Akupun singgah sebentar. Kuceritakan padanya niatku tentang pengorbanan kambingku. Kurasa ia kurang setuju. Ia berdalih bahwa berkorban itu hanya bagi orang yang mampu. Orang-orang seperti kami berhak untuk menerima hewan kurban bukan mengkurbankan hewan.

“Allah pasti tau mana yang miskin dan mana yang kaya. Walaupun Pak Ibrahim itu telah bernazar untuk mengorbankan kambing, Allah pasti tau toh, bahwa Pak Ibrahim masih membutuhkan kambing itu. Karena memang kambing itulah kambing satu-satunya yang merupakan harta pak Ibrahim. Bagaimana pak Ibrahim akan hidup kalau kambing satu-satunya dikorbankan. Pakai doa dan tawakkal? Tidak mungkin pak! Lebih baik dipikirkan lagi tentang rencana itu.
Aku hanya menjawab dengan senyuman. Orang seperti Pak Bram kalau dilawan akan bertambah semangat menantang. Maklum, orang miskin biasanya emosian kalau diajak berbicara. Akupun pamit setelah beberapa menit berbincang dengannnya.

Beberapa meter sebelum sampai ke Mesjid, kulihat Pak Rudi baru keluar dari pagar mesjid. Kusapa dia dan berbincang sebentar dengannya. Ia mengetahui niatku tetapi, sama seperti Pak Bram, sepertinya Pak Rudi kasihan terhadap nasibku.

“Lho? Bukankah pak Ibrahim masih membutuhkan kambingnya? Dengan apa pak Ibrahim hidup tanpa kambing? Apa tidak ditunda dulu hingga tahun depan?”

“Ya saya percaya saja pada Allah, Pak! Saya hanya ingin menunaikan nazar saya.” Begitu jawabku.

“atau saya beli. 700 ribu. Bapakkan bisa membeli kambing yang berharga 500 ribu dan 200 ribunya bisa bapak jadikan modal?” Pak Rudi menawarkan solusi

Hatiku sempat goyah. 200 ribu bagiku adalah modal yang cukup besar dan berharga. Bila aku membelikan kambing yang berharga 500 ribu, bukankah aku telah menunaikan nazarku? Walaupun tidak dengan kambingku.

Tapi untunglah pikiran seperti itu hanya tersimpan dalam relung hatiku tanpa sempat terucap. Sekali lagi aku hanya berterima kasih kepada Pak Rudi dan aku tetapi bertekad untuk mengkurbankan kambingku tanpa menjualnya terlebih dahulu.

“mau dibantu ko’ nolak?!” begitu ujar pak Rudi berbisik sebelum meninggalkanku.

Idul Adha
“Allahu Akbar…..Allahu Akbar….Allahu Akbar…” sayup-sayup takbir bergemuruh dimenara-menara mesjid disekitar wilayahku. Idul Adha telah tiba. Aku melaksanakan shalat idul adha di mesjid raya sekalian menyaksikan pengorbanan kambingku.

¤kata orang aku mirip nabi ibrahim¤
Darah bersih keluar dari leher kambingku diiringi takbirku yang keluar dari kedua bibir. Mataku berkaca pertanda kebahagiaan Allah masih memberi kesempatan untuk berkurban kepadaku.

“Pak Ibrahim. Assalamu’alaikum…”

Suara itu milik Ustadz Imron, salah seorang pimpinan Pondok Pesantren yang ada diwilayahku. Beliau mengajakku berbincang-bincang. Rupanya beliau punya rencana untuk membuat peternakan kambing diwilayahku dan belum mendapatkan penggembalanya. Ia menawarkan pekerjaan ini kepadaku.

“Gimana Pak Ibrahim?”

Mataku berkaca. Aku teringat tatkala Nabi Ibrahim mendapatkan anaknya kembali setelah “menyembelihnya”. Kusujudkan tubuhku. Ustadz Imron tersenyum.

Publikasi
Saatnya mempublikasikan adalah saat unjuk gigi. Jangan pernah malu untuk mempublikasikan tulisan. Jangan pernah menghina tulisan sendiri sebelum mempublikasikannya. Terkadang, ada tulisan yang kita anggap jelek namun menarik menurut orang lain. Sebaliknya, menurut kita tulisan itu menarik, namun respon pembaca biasa-biasa saja. Kesimpulannya, publikasikanlah karya terlebih dahulu dan tunggulah kejutan-kejutan yang menarik.

Radinal Mukhtar Harahap, alumnus PP. Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Bermukim di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Selengkapnya...

Jumat, 01 Januari 2010

Press Release LOMBA CIPTA PUISI INDOSAT

Sebagai upaya ikut membentuk karakteristik bangsa yang kreatif, mencintai keindahan dalam karsa, cipta, dan karya puisi, juga untuk melahirkan seniman (penyair) dengan talenta baru yang diharapkan dapat menjadi agent of change (agen perubahan), PT. Sinar Abdi Mukti Jaya selaku payung www.situseni.com, bekerjasama dengan PT. Indosat, Tbk. menggelar LOMBA CIPTA PUISI INDOSAT. Total hadiah Rp50 Juta. Lomba akan dimulai tanggal 2 Januari 2010, dan pengiriman puisi disampaikan melalui www.situseni.com.



1. Ketentuan Lomba
1. Ketentuan Umum
1. Terbuka untuk umum.
2. Peserta harus mendaftar sebagai member www.situseni.com.
3. Memiliki SIM card Indosat: Mentari atau IM3, nomornya dicantumkan dalam formulir lomba.
4. Nomor SIM card Indosat harus aktif selama mengikuti lomba. Panitia akan melakukan pengecekan.
5. Bila nomor SIM card Mentari atau IM3 yang didaftarkan tidak aktif, atau fiktif, maka peserta akan didiskualifikasi.
6. Mengisi formulir Lomba Cipta Puisi Indosat yang disediakan pada portal www.situseni.com.
2. Ketentuan Khusus
1. Puisi ditulis dalam bahasa Indonesia.
2. Tema bebas.
3. Karya sendiri. Bila suatu hari terbukti hasil plagiat, akan didiskualifikasi.
4. Belum pernah dipublikasikan di media apapun (cetak dan elektronik).
5. Belum pernah diikutsertakan dalam lomba apapun.
3. Ketentuan Teknis
1. Teknis Umum
1. Lomba terdiri dari dua tahapan: Lomba Bulanan dan Lomba Triwulan (Grand Final).
2. Puisi yang telah didaftarkan, akan dipublikasikan pada database Rubrik Puisi. Nama penyairnya tidak dicantumkan.
2. Lomba Bulanan
1. Satu member situseni.com hanya berhak mengirimkan satu judul puisi pada Lomba Bulanan.
2. Tetapi pada Lomba Bulanan berikutnya, boleh mengikuti lomba kembali dengan mengirimkan puisi yang lain.
3. Penilaian puisi terbaik dilakukan oleh Dewan Juri dan member situseni.com.
4. Dewan Juri akan menilai semua puisi yang masuk, dan memilih dua puluh lima (25) judul Puisi sebagai Finalis Lomba Bulanan.
5. Dua puluh lima (25) judul puisi Finalis Lomba Bulanan akan ditayangkan pada halaman depan situseni.com.
6. Member situseni.com mem-voting puisi terbaik yang menjadi Finalis Lomba Bulanan.
7. Setiap member situseni.com hanya bisa melakukan satu kali voting.
8. Dewan Juri menghitung hasil voting, dan mempertimbangkan kelayakannya untuk menetapkan tiga (3) judul puisi sebagai Puisi Terbaik Lomba Bulanan.
3. Lomba Triwulan (Grand Final)
1. Lomba Triwulan diikuti oleh Puisi-puisi Terbaik Lomba Bulanan, atau sebanyak 3 judul puisi X 3 bulan = 9 judul puisi.
2. Ke-9 Judul puisi finalis Lomba Triwulan akan dinilai oleh Dewan Juri Khusus dan Member.
3. Pemenang Lomba Triwulan (Grand Final) adalah:
1. Satu (1) judul Puisi Terpopuler Indosat versi member situseni.com.
2. Tiga (3) judul Puisi Terbaik Indosat versi Dewan Juri Khusus.
3. Satu (1) judul Puisi Utama Indosat.
Keterangan: Lomba Bulanan
1. Pengiriman puisi untuk Lomba Bulanan dibuka mulai tanggal 1 hingga akhir bulan, pukul 23.59 WIB, melalui formulir yang disedaiakan di www.situseni.com.
2. Tanggal 1 - 10 bulan berikutnya, Dewan Juri menilai puisi-puisi yang masuk, dan memilih dua puluh lima (25) judul puisi terbaik sebagai Finalis Lomba Bulanan.
3. Pengumuman Dua puluh lima (25) judul puisi Finalis Lomba Bulanan disampaikan oleh Dewan Juri pada tanggal 10 pukul 22.00 WIB, dan ditayangkan di halaman depan situseni.com.
4. Member situseni.com mulai berhak menilai dan memberikan voting terhadap dua puluh lima (25) judul puisi Finalis Lomba Bulanan, sejak tanggal 11 pukul 00.01. WIB hingga tanggal 15 pukul 23.59 WIB.
5. Bila ada voting yang masuk setelah tanggal 15 pukul 23.59 WIB, dinyatakan gugur.
6. Dewan Juri menilai hasil voting member situseni.com pada tanggal 16 - 17, dan mengumumkan tiga puisi Puisi Terbaik Lomba Bulanan pada tanggal 18 pukul 22.00.
7. Hadiah Puisi Terbaik Lomba Bulanan disampaikan oleh panitia kepada pemenang via transfer elektrik (pulsa) dan rekening Bank (uang).
Lomba Triwulan (Grand Final)
1. Lomba Triwulan diselenggarakan setelah Lomba Bulanan selesai dilaksanakan selama tiga (3) bulan.
2. Peserta lomba mulai berhak memberikan voting terhadap sembilan (9) judul puisi finalis untuk memilih satu (1) judul Puisi Terpopuler Indosat. Voting oleh peserta lomba mulai dilakukan tanggal 20 April 2010 pukul 00.01 WIB hingga 30 April 2010 pukul 23.59 WIB.
3. Bila ada voting setelah tanggal tersebut, maka dinyatakan gugur.
4. Dewan Juri Khusus melakukan penilaian terhadap sembilan (9) judul puisi untuk kemudian memilih tiga (3) judul sebagai Puisi Terbaik Indosat, dan satu (1) judul Puisi Utama Indosat, dilakukan tanggal 20 hingga akhir bulan.
5. Pengumuman Satu (1) judul Puisi Terpopuler Indosat, Tiga (3) judul Puisi Terbaik Indosat, serta satu (1) judul Puisi Utama Indiosat disampaikan oleh Dewan Juri pada tanggal 1 Mei, pukul 22.00 WIB, dan akan ditayangkan di halaman depan www.situseni.com
6. Hadiah Lomba Triwulan (grand final) diberikan dalam sebuah acara khusus yang dihadiri oleh para pemenang, Dewan Juri, pihak Indosat, dan pihak www.situseni.com.
2. Dewan Juri
1. Dewan Juri untuk Lomba Bulanan, adalah orang-orang yang kompeten dalam bidang perpuisian dan kebahasaan.
2. Dewan Juri Lomba Triwulan (Grand Final) adalah Dewan Juri Khusus yang terdiri dari Dewan Juri Lomba Bulanan ditambah dua orang yang berasal dari pakar sastra atau aktivis perpuisian.
3. Aspek Penilaian oleh Dewan Juri
1. Kedalaman dalam penggarapan tema, amanat, bunyi, suasana, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.
2. Kekentalan dalam sublimasi dan simbolisasi.
4. Hadiah
1. Dua puluh lima (25) Puisi Finalis Lomba Bulanan, masing-masing memperoleh hadiah voucher Indosat Rp150.000.
2. Tiga (3) judul Puisi Terbaik Indosat dalam Lomba Bulanan, masing-masing memperoleh hadiah voucher Indosat Rp250.000 + uang Rp1.000.000.
3. Tiga (3) judul Puisi Terbaik Indosat dalam Lomba Triwulan pilihan Dewan Juri, masing-masing memperoleh hadiah voucher Indosat Rp500.000 + uang Rp1.500.000.
4. Satu (1) judul Puisi Terpopuler Indosat pilihan member dalam Lomba Triwulan, memperoleh hadiah voucher Indosat Rp500.000 + uang Rp 1.500.000.
5. Satu (1) puisi peraih Puisi Utama Indosat dalam Lomba Triwulan, memperoleh voucher Indosat Rp1.500.000 + uang tunai Rp15.000.000.
6. Hadiah hiburan Lomba Bulanan diberikan kepada peserta yang ikut melakukan voting untuk Lomba Bulanan. Nomor SIM Card peserta akan diundi, dan diambil 5 pemenang, masing-masing memperoleh voucher Indosat Rp100.000.
7. Hadiah hiburan Lomba Triwulan diberikan kepada peserta yang ikut melakukan voting untuk Lomba Triwulan. Nomor SIM Card peserta akan diundi, dan diambil 6 pemenang, masing-masing memperoleh voucher Indosat Rp250.000.
Keterangan Tambahan:
1. Puisi-puisi finalis pada setiap Lomba Bulanan (total 75 judul puisi), akan dibukukan oleh www.situseni.com, dan para penulisnya (penyair), berhak memperoleh royalti sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam royalti perbukuan.
2. Launching buku akan dilangsungkan bersamaan dengan penyerahan hadiah bagi pemenang Puisi Utama Indosat.
3. Informasi lain yang dianggap perlu berkait dengan Lomba Cipta Puisi Indosat ini, akan disampaikan melalui www.situseni.com.


Selengkapnya...

FLP Sulsel : Dari Muswil Ke Muswil

Oleh Yanuardi Syukur
(Ketua Umum FLP Sulsel 2004-2006, yankoer.multiply.com)
flpsulsel.multiply.com

MUSWIL I (Eksistensi Lembaga, Rahmawati Latief Ketua Umum)

Musyawarah Wilayah (Muswil) I Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel diadakan pertama kalinya di tahun 2001. Awalnya dari ketertarikan beberapa aktivis lembaga dakwah Islam di UNHAS terhadap dunia kepenulisan yang digagas oleh FLP. FLP di Pusat berdiri pada 1997 oleh Helvy Tiana Rosa (HTR), Asma Nadia (nama aslinya, Asmarani Rosalba) dan Muthmainnah (nama aslinya, Maimon Herawati).

Beberapa aktivis Makassar itu kemudian berkorespondensi dengan HTR perihal pembentukan FLP di tanah Makassar. HTR menyetujui. Setelah itu, kemudian diadakanlah persiapan-persiapan menuju pembentukan FLP Makassar. Rahmawati Latief, Suryani S. Kadir, dan Hasnah A. Rahman, adalah beberapa aktivis yang punya andil besar di situ. Rahma kemudian mengumpulkan beberapa aktivis mahasiswa dan pelajar untuk menjadi semacam panitia persiapan pembentukan FLP. Pamflet pun disebar untuk pertemuan perdana sekaligus pembentukan dan pemilihan ketua FLP Makassar.


Inilah kali pertama diadakan Muswil di FLP Sulsel. Beberapa nama muncul sebagai kandidat ketua, termasuk sastrawan Muhary Wahyu Nurba. Pada akhirnya, peserta Muswil yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, dan aktivis serta praktisi kepenulisan di Makassar memilih Rahmawati Latief sebagai ketua umum pertama FLP Wilayah Makassar yang waktu itu diadakan di Masjid Pusata Dakwah Muhammadiyah Sulsel, depan kampus UNHAS Tamalanrea.

Setelah pemilihan ketua, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan badan pengurus. Bendahara periode ini bernama Masrurah Usman (aktifis KAMMI Sulsel, mahasiswa ekonomi UNHAS). Hasil dari Muswil Pertama ini adalah terbentuknya FLP sekaligus dengan struktur pengurus yang sangat gemuk, hampir 50 orang pengurus waktu itu. Untuk mengakomodasi peserta yang hadir, maka banyak dari peserta yang dimasukkan dari pengurus.

FLP Wilayah Makassar berjalan lancar, ada diskusi pekanan, bedah karya hingga event besar. Pada diskusi pekanan, ada Muhary Wahyu Nurba, Anil Hukma, dan Rahmawati Latief sendiri sebagai pemateri. Muhary membawakan materi puisi dan cerpen, Anil materi cerpen (waktu itu ada dibagikan juga salah satu cerpennya yang dimuat di Kompas), dan Rahma membawakan materi artikel.

Salah satu event besar yang digelar FLP ketika itu adalah bedah buku Ketika Duka Tersenyum (KDT) yang merupakan antologi bersama untuk pencarian dana bagi pengobatan jalan Pipiet Senja yang menderita penyakit Thalassemia. Acara ini diadakan di beberapa kota di Indonesia, termasuk Makassar. Hadir dari Jakarta sebagai pemateri adalah cerpenis terkenal Gola Gong, sedangkan pemateri dari Makassar adalah Muhary Wahyu Nurba. Acara yang digelar di Baruga Andi Pangerang Pettarani kampus UNHAS ini mendapat respon yang positif dari banyak kalangan. Bahkan di Koran Kampus IDENTITAS, dimuat tulisan dari Gola Gong tentang kegiatan ini.

Karena terkonsentrasi dalam pengurusan menjadi dosen di Universitas Tadulako (UNTAD) Palu dan beasiswa S2 dari Ford Foundation (FF), akhirnya membuat semangat ber-FLP melemah. Rahmawati Latief, akhirnya menetap di Palu mengajar. Di Makassar Rahma memberikan mandat kepada Sriyanti Anwar (Mahasiswa Farmasi UNHAS 99) sebagai Pjs ketua. Selanjutnya, koordinasi FLP lebih banyak diperoleh via surat elektronik (email) dari Rahma ke Mustain, Yanuardi dan kawan-kawan.

Karena tidak berjalannya FLP dalam waktu yang relatif lama, muncul usulan dari beberapa kalangan untuk membubarkan FLP. Ini muncul karena tidak berjalannya roda organisasi dan kegiatan. Namun, karena eksistensi FLP telah ada, maka roda organisasi ini harus terus dipertahankan. Dari Palu Rahma selalu berkata kepada beberapa pengurus FLP yang masih di Makassar, “FLP ini lembaga dakwah kita. Banyak sekali yang mau bergabung dengan FLP. Dan ini harus kita jaga.”

MUSWIL II (Perluasan Jaringan, Yanuardi Syukur Ketua Umum)

Rahma meminta kepada beberapa pengurus yang masih aktif untuk membuat semacam Muswil menggantikan Rahma. Pada Muswil yang diadakan, tidak ada yang bersedia menjadi ketua. Yanuardi Syukur, Mustain Ruddin, Adi Agus Sewang, Sriyanti Anwar, Retno Anggarini Gussalim, Kamaruddin, Muhammad Nurhidayat Kaban, dan seterusnya, tidak ada yang bersedia menjadi ketua. Beberapa waktu kemudian, saat Rahma ke Makassar, diadakanlah kembali Muswil II yang tertunda karena tidak ada yang bersedia. Akhirnya, setelah melalui lobby, terpilihlah Yanuardi Syukur sebagai ketua umum FLP Wilayah Makassar Periode 2004-2006 menggantikan Rahma sejak 2001-2004.

Sebelum Muswil itu, FLP kedatangan beberapa penulis baru, seperti S. Gegge Mappangewa. Tenaga dan pengalaman Gegge pun dimanfaatkan sedemikian rupa lewat diskusi cerpen, tips dan trik, untuk membangkitkan kembali semangat FLP yang hampir punah. Pada kepengurusan Yanuardi, Gegge dimandat sebagai coordinator Divisi Penulisan dan Penerbitan (DPP). Selanjutnya, dicarilah sosok sekretaris umum, dan ditemukanlah Hamran Sunu yang cerpennya tak berapa lama sudah dimuat di Koran Kampus IDENTITAS UNHAS. Sedangkan bendahara dipilihlah Fatmawati (mantan bendahara di masa Rahma), kemudian diganti dengan Retno Anggarini Gussalim (Bahasa Jerman UNM), kemudian diganti lagi dengan Murgibah Marshanda (mahasiswa ekonomi UNHAS berprestasi kelahiran Fukuoka, Jepang).

Pada periode ini FLP terus meningkatkan diri. Kegiatan pekanan diadakan. Diundanglah penulis-penulis muda Makassar untuk membawakan materi di forum FLP. M. Aan Mansyur, Rahmad M. Arsyad, dan beberapa lainnya menjadi pemateri di FLP. Selanjutnya, selama periode ini dibentuk cabang dan ranting FLP. Terbentuklah FLP Cabang Makassar dengan ketua Suherni Syam (Mahasiswa Bahasa Inggris UNM), FLP Ranting STIK Tamalate dengan ketua Nofiandri (Mahasiswa STIK TM), FLP ranting UIN dengan ketua Aswadi Andi (Mahasiswa UIN), FLP cabang Maros dengan ketua Abdul Asis Aji (Mahasiswa STAI DDI Maros), dan FLP ranting UNHAS dengan ketua Partomo (mahasasiswa Sastra Arab UNHAS).

Sepulang dari Munas I FLP di Jogja yang diikuti oleh Yanuardi Syukur, S. Gegge Mappangewa dan Adi Agus Sewang, FLP Wilayah Makassar diganti dengan FLP Wilayah Sulsel. Kenapa diganti? Karena dalam AD/RT FLP, struktur FLP Wilayah berada di propinsi, berarti di Sulsel, namanya FLP Sulsel, bukan FLP Makassar karena Makassar adalah nama Kotamadya di lingkup Sulsel.

FLP mengadakan diskusi mengundang Asma Nadia, juga selanjutnya mengundang Helvy Tiana Rosa ke Makassar. Kumcer pertama Gegge berjudul “Kupu-Kupu Rani” dibedah di kampus UIN Alauddin oleh Meta Sekar Puji Astuti (dosen bahasa Jepang UNHAS, lulusan Ohio, USA). Pada moment Tsunami Aceh dan Sumatera Utara, FLP membuat Antologi Puisi 101 Penulis Makassar yang dananya diberikan untuk masyarakat Aceh via FLP Aceh. Dana ini diterima langsung oleh Cut Januarita (mantan ketua FLP Aceh), kemudian diteruskan ke Ferhat (ketua FLP Aceh setelah Cut Intan).

Pada periode Yanuardi, FLP terus memperkuat eksistensinya dengan membuka banyak-banyak ranting dan cabang. Sehingga ada seorang pengamat FLP yang mengatakan, “FLP ini seperti partai saja, ada cabang-cabangnya. Di masa saya mahasiswa, kita hanya bentuk satu lembaga saja, sementara FLP ini seperti partai.”

MUSWIL III (Peningkatan Kualitas Karya, S Gegge Mappangewa Ketua Umum)

FLP terus berbenah. Muswil III diadakan di aula kampus Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Tamalatea Makassar selama dua hari. Muswil dibuka dengan diskusi “Potret Budaya Literasi di Indonesia.” Siang harinya, baru dimulai rapat Muswil yang dipimpin oleh tiga pimpinan sidang: Fakhruddin Ahmad (Koordinator Divisi Penulisan dan Penerbitan FLP Maros), Nur Ali Akbar (Sekum FLP Maros) dan Aswadi Andi (Ketua FLP UIN Alauddin). Inilah moment ketika FLP Sulsel menggunakan metode persidangan yang relatif memadai dan mendekati sistem persidangan yang baku. Selama ini FLP mengadakan sidang berdasarkan “kesepakatan bersama”, artinya dipermudah saja mekanisme persidangannya.

Pada moment ini, FLP menerbitkan buku Indie, berjudul “Menjelajahi Negeri Tulisan” yang berisi tips, trik, wacana, dan pengalaman menulis oleh Yanuardi Syukur, Hamran Sunu, S. Gegge Mappangewa dan Nofiandri. Selain itu juga menerbitkan sebuah kumpulan cerpen (Sebelumnya, FLP ranting UNHAS juga menerbitkan buku indie, Bila Pacarmu Seorang Demonstran)

Dalam Muswil III ini, setelah penjaringan bakal calon, muncullah dua nama calon, yaitu S. Gegge Mappangewa dan Fakhruddin Ahmad. Fakhruddin yang awalnya pimpinan sidang kemudian diganti karena menjadi calon ketua FLP Sulsel. Para calon juga diminta oleh sidang untuk membaca Al-Qur’an. Peserta ingin membuktikan bahwa para calon adalah orang yang tidak buta aksara Al-Qur’an. Ini menjadi penilaian tersendiri di mata sidang. Pada pemilihan, akhirnya terpilihlah S. Gegge Mappangewa sebagai ketua umum FLP Wilayah Sulawesi Selatan Periode 2006-2008.

Di masa Gegge, struktur senantiasa dipertahankan. Tidak ada yang namanya reshuffle pengurus seperti yang ada di jaman Rahma dan Yanuardi. Pertimbangan Gegge, karena sama saja apakah pengurus di-reshuffle atau tidak. Jadi, Gegge memilih untuk mempertahankan apa yang sudah ada sambil membentuk beberapa struktur FLP. Gegge sebagai ketua dibantu oleh Sultan Putra Sulaiman sebagai sekum dan—seperti yang dibahasakan Gegge dalam Muswil IV FLP di kampus UMI—“sekretaris pribadi” karena keduanya memang tinggal di bawah satu atap Pondok Toris Jalan Bung Tamalanrea. Bendahara di periode ini adalah Hj. Sinardi (Mahasiswa Pascasarjana UNHAS). Sedangkan Koordinator Kaderisasi Fakhruddin Ahmad, dan beberapa struktur lainnya.

FLP mengadakan Training of Trainer (TOT) di Pesantren Darul Istiqamah, sekaligus dengan Mabit, menginap semalaman di Masjid Jami’ Darul Istiqamah Pusat, Maros. Ini kali pertama FLP mengadakan TOT dan Mabit (menginap). Peserta yang mengikuti kegiatan ini sangat antusias dan berharap akan ada follow up-nya. FLP juga mengadakan Training of Recruitment (TOR) di Lokasi Kolam Renang Bantimurung. Banyak yang berminat, dan termotivasi untuk menjadi penulis sejak kegiatan ini. Selanjutnya, TOR diadakan juga di gedung APTISI depan Alfa Tamalanrea.

Banyak kegiatan diadakan di masa Gegge. Namun, seperti juga yang dialami oleh pengurus sebelumnya, masalah belum adanya sekretariat yang kondusif membuat kegiatan FLP belum maksimal. Di Rahma, secret FLP berada di rumahnya (SKARDA N) dan di Masjid Pusat Dakwah Muhammadiyah. Di masa Yanuardi, alamatnya berpindah dari Pondok ICFAR Perintis Kemerdekaan IV, kemudian ke Pondok TORIS Jalan Bung Tamalanrea. Sedangkan di masa Gegge, sekret berada di tempat kostnya Gegge, Pondok TORIS, melanjutkan alamat sekret dari periode sebelumnya.

Di masa ini, FLP membentuk ranting di STIS Azhar Center, juga di kampus UMI. Pembentukan di kampus UMI, dirangkaikan dengan kegiatan mahasiswa UMI yang juga mengundang penulis buku best seller Zero to Hero, Solikhin Abu Izzuddin.

Beberapa FLP ranting tidak berjalan maksimal. Di UIN, seperti mati suri (masih ada, namun tidak berjalan baik), di kampus STIK TM beberapa waktu tidak segencar waktu yang lalu. Di UIN karena kurangnya koordinasi sehingga membuat kegiatan FLP tidak maksimal, sedangkan di STIK TM juga seperti itu.

Pada periode Gegge, FLP juga membuat buku Indie berjudul “Suka Duka Penulis Pemula” yang berisi kumpulan tulisan kader FLP. Selain itu, Antologi Pusi “Menggenggam Cinta” juga diterbitkan. Di masa Gegge, kepopulerannya sebagai cerpenis nasional menjadi motivasi tersendiri di mata aktivis FLP. Ada rasa ingin seperti Gegge yang ratusan cerpennya pernah dimuat di Aneka Yess, Kawanku, Keren Beken, Annida, Sabili, dst. Selain itu juga ada keinginan untuk terus berkarya, karena Gegge yang notabene orang Sidrap saja bisa menasional, kenapa yang yang lain tidak?

MUSWIL IV (Profesionalisme dan Perluasan, Sultan Sulaiman Ketua Umum)

Muswil IV diadakan di Auditorium Al-Jibra UMI. Kampus UMI adalah kampus yang bersejarah. Banyak moment pernah terjadi di sini, perisitiwa April Makassar Berdarah atau yang dikenal dengan “AMARAH”, persitiwa masuknya Polisi mengobrak-abrik kampus UMI, karena rekannya kabarnya “disandera” oleh mahasiswa dalam sebuah demonstrasi. UMI menyimpan banyak kenangan berkaitan dengan peristiwa politik, termasuk sweeping saat kerusuhan Ambon melanda. Kenapa kampus UMI yang dipilih sebagai tempat Muswil IV, setidaknya karena tiga alasan: pertama, FLP UMI baru terbentuk, dan otomatis semangatnya masih fresh; kedua, selama ini kegiatan FLP selalu berada di sekitar UNHAS atau Tamalanrea, dan ketiga, karena di sinilah kampus dimana seorang S. Gegge Mappangewa sang nahkoda FLP 2006-2008 pernah berkuliah di Jurusan Teknik Mesin, sebuah jurusan yang mengharapkan lulusannya menjadi ilmuwan dalam bidang mesin, namun oleh Gegge ditinggalkannya demi keinginan sang Gegge menjadi penulis yang namanya dimuat di koran atau majalah—di masa mudanya saat melihat tulisan orang, Gegge sering berandai-andai seandainya nama penulis itu adalah namanya. Sepertinya Gegge ingin memberikan sumbangsih bagi almamaternya, bahwa saya telah membuat buku, dan inilah salah satu karya saya untuk UMI: Cupiderman 3G!

Di pagi hari, acara dimulai dengan bedah buku Cupiderman 3G karangan Gegge. Pembedahnya adalah Dul Abdul Rahman (mahasiswa Pascasarjana UNHAS, penulis cerpen) dan Hj. Siti Rabiah (dosen Bahasa Indonesia UMI, dosennya Gegge di masa mahasiswa). Novel lucu ini menarik, settingnya Makassar—seperti kebanyak karya Gegge yang lainnya. Menurut Gegge, novel ini mulanya adalah gabungan dari beberapa cerpen lucunya yang pernah ada. Akhirnya ia kemas, dan jadikan Cupiderman 3G. Di Lingkar Pena Publishing House (LPPH) Jakarta, beberapa buku kumcer lucu pernah diterbitkan seperti: Suparman Pulang Kampung (SPK), dan Badman: Bidin! Cerpen Gegge juga pernah dimuat di SPK.

Novel Cupiderman 3G, bercerita tentang Yusuf, yang tidak senang dipanggil dengan Ucup, karena nama Ucup—seperti karakter yang ada di film Bajaj Bajuji—selalu ketiban sial. Yusuf selalu “dikerjain” oleh adiknya bernama Cenrani—nama Cenrani pertama kali muncul dalam kumcer Gegge berjudul Kupu-Kupu Rani (KKR), nama ini terinspirasi dari sebuah daerah di Bone bernama Cenrana. Karena sering ketiban sial, Yusuf pun ingin mengubah gaya, dia ke salon 3G, rambutnya direbonding. Tak berapa lama dia dapat informasi sebuah radio yang berlokasi di Mall Panakkukang—Mall ter-ramai jaman kini di Makassar—yang membutuhkan seorang presenter. Akhirnya, Yusuf melamar dan mengenakan kostum Cupiderman (terinspirasi dari film Spiderman yang dibintangi Tobey Mc. Guire). Yusuf diterima, acaranya sangat meriah, banyak anak-anak muda yang tertarik dengan acara “Cupiderman 3G” tapi tidak tahu siapa presenternya, karena sejak awal Yusuf selalu memakai kostum itu, bahkan orang di radio itu juga tidak ada yang tahu persis siapa sosok sebenarnya Cupiderman karena tertutup mukanya.

Suatu waktu, karena sukses, Cupiderman diminta ke Jakarta untuk tampil di TV. Sebelumnya, di Makassar, dia juga diminta untuk memperlihatkan wajahnya kepada penggemarnya di Mall Panakkukang. Karena wajah Yusuf pas-pasan (walau saat ngaca, selalu dilihat wajahnya agak mirip dengan Tobey Mc. Guire). Akhirnya, Yusuf menyerahkan kostumnya kepada temannya yang dulunya bau badan, akhirnya lama-lama mengikuti saran Yusuf jadi harum. Lelaki itu bernama Ukul, wajahnya ganteng. Ini dilakukan Yusuf karena tidak ingin mengecewakan fansnya. Dia tidak mau kalau nanti pas buka topeng, ternyata wajahnya gak menarik. Akhirnya, Ukul-lah yang menjadi Cupiderman. Yusuf dengan ikhlas menyerahkan gelarnya itu kepada temannya agar penggemarnya tidak kecewa.

Singkat cerita, Yusuf kedatangan tamu, ternyata orang tuanya bukan yang saat ini bersamanya. Orang tuanya hanyalah seorang cleaning service di Palopo, beberapa jam dari Makassar kota. Yusuf akhirnya kembali ke orang tuanya dan menjalani hidupnya yang baru, yang semoga jauh dari kesan sial seperti karakter yang melekat dalam Ucup dalam Bajaj Bajuri.

Novel ini bagus sekali dibaca, menarik, lucu dan haru. Seperti juga karya Gegge yang lain, selalu ada keharuan di situ. Gegge selalu menyelipkan pesan moral bahwa kita harus berbuat baik, kita harus selalu kembali untuk menjadi yang terbaik. Novel ini pada edisi ke-2 dibedah di Lecture Theatre (LT) 8 Kampus UNHAS yang dibuka oleh Pembantu Rektor III UNHAS, Nasaruddin Salam, yang ternyata gurunya Gegge (Gegge memanggilnya, “Ustad”)

Kembali ke Laptop! Pada Muswil IV ini sidang dipimpin oleh Yanuardi Syukur dan Abdul Asis Aji. Setelah LPJ, pandangan umum, dan penjaringan calon, muncul tiga nama yang bersedia menjadi calon ketua, yaitu: Sultan Putra Sulaiman (mantan Sekum), Fakhruddin Ahmad (mantan Koordinator Kaderisasi) dan Hj. Sinardi (mantan Bendahara Umum). Dalam penjaringan awal, beberapa nama muncul sebagai bakal calon, yaitu: Hamran Sunu (mantan sekum), Faradiba Asmarani (pengurus FLP), S. Gegge Mappangewa (mantan ketua wilayah), dan Abdul Asis Aji (mantan ketua FLP Maros), Sultan Putra Sulaiman (mantan sekum wilayah), Fakhruddin Ahmad (mantan koord. Kaderisasi FLP Sulsel) dan Hj. Sinardi (mantan bendahara FLP Sulsel).

Dalam pemilihan, akhirnya muncullah Sultan Putra Sulaiman sebagai pemenang mutlak sebagai ketua umum FLP Wilayah Sulsel 2008-2010. Sultan meraih puluhan suara, sedangkan Fakhruddin dan Sinardi, meraih 8 dan 9 suara. Dalam sambutannya, Sultan meminta kepada teman-teman FLP untuk membantunya dalam amanah besar ini. Sultan adalah penulis produktif, tulisannya pernah dimuat di koran lokal hingga Sabili dan pernah menjuarai beberapa kali lomba kepenulisan.



Selengkapnya...