Oleh : Aida Radar**
aidahrahmanbadar.blogspot.com
Badarudin Mahifa! Nama yang tertera di jadwal mata kuliahku. Pengajar salah satu mata kuliah yang aku programkan pada semester itu. Staf Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, tempat aku menitipkan nama di daftar absensi.
Meski namanya Badarudin Mahifa, orang-orang menyapanya Engku Badar. Engku sebutan hormat masyarakat untuk guru laki-laki pada masa itu. Aku tidak punya cukup informasi sampai tahun berapa sebutan Engku digunakan. Badar adalah nama kecilnya. Terkenallah dia Engku Badar.
Pertama kali bertatap muka di kelas, ia kutaksir berkepala tujuh. Itu terlihat dari uban yang mengganti rambutnya, keriput-keriput yang bertebaran di wajahnya, langkah kakinya juga sudah pelan siput.
Meski penampilan fisiknya menunjukkan tuanya, jangan kira ia seperti dosen-dosen tua kebanyakan. Kepalanya tidak botak seperti teman-teman se-profesinya, rambut putihnya lebat selalu mengilap. Langkah kakinya yang pelan, tidak pernah membuatnya lambat melakukan sesuatu, termasuk mengajar di kelas. Wajah keriputnya bercahaya setiap ia menengadahkannya. Aku tahu asal cahaya itu. Cahaya itu efek air yang selalu ia basuhkan pada anggota tubuhnya. Aku sering menjumpainya di Mesjid Kampus setiap aku waktu salat.
Setiap bertemu, aku sekadar bertutur sapa. Aku tidak punya keberanian bercakap banyak, sampai berlama-lama mengupas topik. Aku tak pernah berani.
Aku sadar, aku mahasiswanya yang kurang menonjol di kelas. Walau otak tidak jongkok, intinya aku ini tidak menonjol. Karena aku takut tak bisa merespon apa yang disampaikan, maka cukup dengan sapa saja, aku puas. Tapi heran, dia hapal namaku. Selalu memanggilku dengan nama lengkap tanpa cacat.
“Faiz Abdul Rahman. Sudah sholat?” ia selalu bertanya seperti itu.
Ah! Bahagianya aku. Walau tidak terlalu aktif di kelas, ia mengenalku, tahu nama lengkapku. Sebagai murid aku merasa dihargai. Itu artinya ia mengenal semua mahasiswanya. Yang aktivis sampai fasivis kelas berat, semua Engku kenal. Satu lagi yang menurutku menarik darinya. Caranya berpakaian. Ia tidak pernah ketinggalan zaman, selalu modis, cara berfikirnya tidak kuno.
“Walau fisik sudah tua, gaya dan cara berfikir harus tetap muda dan sesuai dengan zaman agar kita tidak ketinggalan. Iya toh? Tapi ingat ikuti perkembangan zaman yang sesuai dengan kepribadian agama dan bangsa. Selain itu, tinggalkan! Karena lebih banyak mudharatnya.”
Begitu ia menjawab pertanyaan seorang teman di kelasku mengenai penampilannya.
“Seorang guru adalah panutan. Ia cermin bagi murid-muridnya. Setiap kali murid melihat gurunya, pertama kali yang mereka perhatikan penampilannya. Apakah gurunya berpenampilan baik ataukah awut-awutan? Kesan pertama sesuatu yang sulit dilupakan,” ujar Engku Badar mulai membagi ilmunya.
“Meski di kemudian hari mereka lebih mengenali dan mengetahui seberapa hebatnya guru mereka, mereka tetap selalu mengingat kesan pertama itu. Makanya, sebagai calon guru, penampilan kalian harus mendapat perhatian khusus disamping ilmu yang kalian miliki. Ingat itu baik-baik,” lanjutnya lagi.
Dia berhasil. Guruku yang berdiri di depan kelas itu berhasil membuatku terkesan dengan penampilan pertamanya. Waktu berjalan, ia telah menjadi dosen kesayangan teman-temanku, dan tentu saja aku.
***
Saban Sabtu ia mengajar di kelasku. Hari-hari lain ruang kelas sepi. Tapi tidak hari sabtu, mahasiswa-mahasiswa (bahkan baru pertama kulihat wajahnya) siaga di kelas. Seperti Sabtu itu.
Seseorang duduk di sampingku hari itu. Sebelumnya ia menyapaku lalu memperkenalkan diri.
“Hai…! Apakah tempat ini ada yang punya?” Tanya lelaki itu padaku.
“Oh…! Tidak ada. Tempat ini selalu kosong. Duduk saja!” Jawabku.
“Terima kasih. Saya Andi Fauzan. Panggil saja Uja. Mahasiswa konversi semester dua.”
“Saya Faiz Abdul Rahman. Panggil Faiz. Mahasiswa kelas ini.”
Dari perkenalan itu, aku tahu banyak hal tentang Engku Badar. Ternyata Uja juga pengagum Engku. Dosennya untuk mata kuliah ini bukan Engku Badar. Tapi ia tidak ikut kelasnya. Ia memilih ikut kelasku karena ia ingin Engku Badar yang mengajarnya.
Tidak hanya Fauzan saja yang aku kenal di kelas Engku. Sabtu berikutnya aku berkenalan dengan Doni, mahasiswa satu angkatan di atasku. Sabtu berikutnya lagi dengan Zulkifli, mahasiswa yang sedang menyusun skripsi.
Sabtunya lagi, aku berkenalan dengan orang-orang yang berbeda. Selalu orang yang berbeda seterusnya. Rata-rata memiliki alasan sama dengan Fauzan ketika kutanya mengapa mereka mengikuti kelasku.
Dari perkenalan-perkenalan itu, aku mengetahui lebih banyak tentang dosen kesayanganku.
“Engku Badar itu dosen yang cerdas. Beliau banyak mendapat penghargaan karena kecerdasannya. Beliau telah mengajar sejak berumur dua belas tahun.”
“Menurutku Engku badar diciptakan menjadi guru. Terbukti ia sangat hebat dalam urusan itu.”
“Engku Badar itu seorang duda. Istrinya meninggal karena sakit ketika Engku Badar mendapat tugas di luar daerah. Waktu itu pernikahan mereka baru lima tahun. Mereka tidak memiliki anak. Sepeninggal istrinya, Engku Badar tidak menikah lagi. Ia sangat mencintai istrinya dan merasa bersalah karena tidak bisa menemani di saat-saat terakhir. Jadi sekarang Engku Badar masih tetap sendiri.”
Masih banyak lagi yang aku tahu tentang prestasi-prestasinya. Bahkan kehidupan pribadinya.
***
Sebenarnya aku tidak pernah berpikir kuliah di Jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan, apalagi menjadi guru. Aku hanya mengikuti kemauan orang tuaku yang menginginkan aku menjadi guru seperti mereka. Aku jauh-jauh dari kampung sekolah untuk obsesi itu, obsesi orang tuaku.
Karena setengah hati aku menuntut ilmu di Keguruan, aku kurang suka kuliah selama semester satu dan dua. Aku selalu membayar dan menyelesaikan keperluan administrasi sebelum perkuliahan dimulai, baik dan tepat waktu. Namun semua itu kulakukan agar namaku bisa tetap berada di absensi kelasku dan tentu saja guna menyenangkan hati kedua orang tuaku.
Itu sebelum aku jadi mahasiswa Engku Badar. Setelah aku berguru dan lulus dari mata kuliah Engku –dengan nilai lumayan untuk mahasiswa kurang menonjol sepertiku-, jadi guru telah tertanam dalam jiwa dan ragaku.
Meski sudah lulus dari mata kuliahnya, Engku tetap guruku. Bukan karena ia kembali menjadi dosen mata kuliah yang aku programkan di semester sesudahnya. Tapi sebagai guru tempatku bertukar pikiran. Di semester itu, aku telah menjadi mahasiswa yang sudah menonjol. Aku sudah memiliki keberanian dan rasa percaya diri yang tinggi. Ah ya! Satu lagi aku sudah rajin kuliah. Aku mulai tertarik jadi guru sepenuh hati. Semua itu anugerah Yang Kuasa melalui Engku Badar.
“Kamu tahu mengapa saya jadi guru Faiz?” Tanya Engku Badar padaku dalam suatu kesempatan usai duhur di Mesjid Kampus.
“Pasti karena panggilan jiwa kan Engku?” Jawabku kembali bertanya.
“Yah… itu salah satunya. Tapi ada yang lebih mendorong saya mencintai profesi ini. Kamu tahu apa itu?”
Aku menggelengkan kepala.
“Umur dua belas tahun, saya membaca sebuah buku. Saya sudah lupa judul buku dan pengarangnya. Tapi saya sangat ingat sepenggal kalimat yang begitu menginspirasi saya
“Hmmm….” Ia menarik napas
“Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah Nabi dan Rasul-Nya. Begitu bunyi kalimatnya.”
“Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah Nabi dan Rasul-Nya.” Ia kembali mengulang kalimat itu.
“Karena guru mempunyai tanggung jawab yang besar, memanusiakan manusia. Ia punya tanggung jawab mengubah watak buruk seseorang menjadi baik. Menjadi guru berarti kamu telah mempersiapkan pahala-pahala jariah yang akan terus mengalir walaupun kamu telah berpulang ke Rahmatullah. Maka Faiz, beruntunglah kamu terpanggil melaksanakan pekerjaan mulia ini.”
Ia tersenyum dan menepuk pundakku. Aku meresapi setiap kata yang ia nasihatkan. Dalam hatiku, aku tanamkan kuat-kuat kata-kata itu.
***
Sudah seminggu aku tidak bertemu Engku Badar. Di mesjid dan tiap-tiap ruang kelas telah kujajaki. Aku ingin bertanya sesuatu padanya. Namun aku tak menemukannya. Ia menghilang.
Aku coba bertanya di ruangan jurusan. Nihil. Mereka juga tidak tahu. Pihak jurusan juga mencarinya. Engku tidak pernah mengajar seminggu belakangan.
Aku heran. Ada apa terjadi pada Engku? Tidak biasanya ia tidak mengajar tanpa konfirmasi. Jangankan seminggu, sekali absen dalam satu kelas hampir tidak pernah. Untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku berencana ke rumahnya sepulang kuliah.
Ketika kembali ke kelas untuk mata kuliah selanjutnya, sebuah kabar meremuk redam hatiku. Tubuhku gemetar.
“Innalillahi Wa Innailahi Ra’jiun. Telah meninggal dunia dosen kita, guru kita, ayah kita, pemberi ilmu bagi kita, bapak Drs. Badarudin Mahifa, M.Pd. atau yang biasa dikenal dengan Engku Badar. Beliau berpulang hari ini di Rumah Sakit Umum dalam keadaan belum sadar dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya satu minggu yang lalu. Semoga amal dan kebaikan beliau di terima di sisi Allah SWT. Amin.” Informasi itu disampaikan seseorang, tetangga beliau.
Apa…? Aku tidak percaya dengan semua ini. Ya Allah…! Engku Badar. Dosen kesayanganku telah meninggalkan dunia? Meninggalkan aku dan teman-temanku.
Butiran bening itu tak tertahankan lagi. Aku terdiam di tempat, wajahku pucat mata memerah. Semua kenangan bersama Engku tiba-tiba berkelebat dalam memori otakku Semua nasihatnya kembali terngiang.
“Ya Allah… terimalah Engku di sisimu yang paling baik ya Allah,” Lirihku. Mencoba mengikhlaskannya
Kelas awalnya riuh, kini hening. Semua tertunduk lesu. Kehilangan.
“Pak Faiz… sekarang jadwal mengajar bapak di kelas kami.”
Seseorang membuyarkanku dari lamunan masa lalu itu. Ia adalah Heriansyah. Mahasiswaku di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada Perguruan Tinggi tempat aku mengajar kini.
“Oh…! Terima kasih Heri. Kamu duluan ya! Nanti Bapak menyusul,” kataku.
“Iya Pak.” ia berlalu.
Aku mengambil tas dan perlengkapan mengajarku. Dalam hati aku berjanji untuk memberikan segala pengetahuan yang kumiliki pada mahasiswa-mahasiswaku.
Aku berjalan menuju ke kelas Heriansyah. Ketika melewati sebuah kelas sebelum ruang kelas mengajarku, aku mendengar seseorang berbicara di kelas itu. Tiba-tiba langkahku terhenti.
“Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah Nabi dan Rasul-Nya. Begitu bunyi kalimat dalam buku tersebut. Guru adalah pekerjaan yang dimuliakan Allah SWT setelah Nabi dan Rasul-Nya.”
Aku tercekat. Kata-kata itu…?
“Engku Badar….”
***
Makassar, 16 Mei 2009.
Pukul 06.51 WITA
Selesai diedit 1 Juli 2009 Oleh Seorang kakak
*Juara pertama lomba penulisan Cerpen pada Pekan Nasional Pers Mahasiswa (PENA EMAS) Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM)
Universitas Hasanuddin Makassar.
**Anggota FLP Sulawesi Selatan
skip to main |
skip to sidebar
Berkaryalah, Maka Dunia Akan Melihatmu
Kamis, 21 Januari 2010
ENGKU BADAR*
Kupu-Kupu Palestina
Buku Baru
Pasang Link FLP Unhas di blog Anda
Anak FLP Unhas
- Alinda Nurbaety Hasanah
- Andi Asrawaty
- Angriana
- Ani Dzakiyah
- Arief Ungu
- Arieska Arief
- Asti Eka Ramadhani
- Ayu Ismal
- Bulqia Mas'ud
- Dyah Restyani
- Fitrawan Umar
- Fitria Dewi Usman
- Isma Ariyani
- Muh.Arief Rosyid
- Muthmainnah
- Noviar Syamsuryah S
- Raidah Intizar
- Rasdiyanah Nd
- Reza Al Sofyan
- Reza Kahlil
- Saputri Mulyanna
- St. Muttia A. Husain
- sukmawati
- Sultan Sulaiman
- Supriadi
- Uswatun Hasanah
- Wahyuddin Opu
- Wahyuni Hadrawi
FLP-ers Sulsel
FLP Semua...
Kata-Kata
Berkaryalah, Maka Dunia Akan Melihatmu (Yana Yan)
Kita tidak sekadar menulis. Menulis itu mudah!
Tapi, berjamaah itu lebih baik (Wawan)
Menulis membutuhkan keberanian, dobrak semua rasa ketakutan untuk menulis, semua di mulai dari nol dan takkan kembali menjadi nol bila terus di asah….genggam erat-erat penamu dan biarkan dia menodai kertas putih yang polos dengan jutaan karya yng terlahir dari buah pikiranmu. (Chipiet)
Kita tidak sekadar menulis. Menulis itu mudah!
Tapi, berjamaah itu lebih baik (Wawan)
Menulis membutuhkan keberanian, dobrak semua rasa ketakutan untuk menulis, semua di mulai dari nol dan takkan kembali menjadi nol bila terus di asah….genggam erat-erat penamu dan biarkan dia menodai kertas putih yang polos dengan jutaan karya yng terlahir dari buah pikiranmu. (Chipiet)
Koment Ya
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar