Hm, ini dia cerpen terbaik peserta TOR FLP UH menurut penilaian panitia. Cerpen ini dibuat dalam waktu semalam loh saat TOR berlangsung...
Yang lain, jangan mau kalah!! Ayo belajar terus di sekolah menulis FLP!
***
AKU SAYANG NENEK
Oleh: Nurafni Oktaviyah
Aku menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutku. Suapan terakhir sarapan di Minggu cerah ini. Kuceruput secangkir teh manis sedikit demi sedikit. Suara yang timbul dari bibirku ketika menyerumput hangatnya teh menimbulkan sensasi yang tak biasa bagiku. Sambil memejamkan mata, kunikmati sensasi itu.
“ Ssrrllp… ssrrllp” berkali-kali terdengar dari bibirku sambil bersandar dari kursi goyang teras rumah, memandangi orang yang lalu lalang di jalan.
“ Hei… tepukan keras dipundakku membuatku tersendak Tubuh tua tapi masih lincah itu kini berdiri di hadapanku. Berkecak pinggang disampingnya tergeletak gunting rumput.
“Uhuk…uhuk…” suara batukku terdengar beberapa kali. Setetes air teh keluar dari hidung mancungku, warisan dari kakek guyut”
“ Nenek! Bikin kaget saja. Kalau Rinda menelan sendok nenek mau tanggung jawab?”
Kutatap wajahnya, tidak ada guratan kepedulian disana. Sepertinya bakalan pecah perang dingin lagi. Entah untuk yang keberapa.
“ Rinda, kamu itu sudah mahasiswi. Masa masih harus diajari etika dan sopan santun saat makan. Sudah makan di teras, pakai angkat kaki, minum pun tidak sopan. Apa perlu nenek ajarkan table manner?”
What? Nenek tahu table manner segala? Sejak kapan? Tapi semua pertanyaan itu hanya kutanamkan di benakku. Alurnya sudah aku tahu. Pastinya, jika aku balas ucapanya, ia akan berubah menjadi pengkhotbah. Bisa memakan waktu sampai dua jam, seperti biasanya sebelum itu terjadi, kuputuskan kabur ke ruang tamu.
Nenek masih bergeming di tempatnya. Kutolehkan muka kea rah nenek ketika melewati ambang pintu. Ekor mataku tertuju ke kakinya. Sepatu bot selutut, belepotan lumpur masih tersisah di sana. Mataku melotot seketika.
“ nenek… Rinda baru selesai ngepel lantai” teriakku histeris.
Kutinggalkan nenek dengan wajah masam. Masih sempat aku lihat mukanya kebingungan menatap jejak-jejak langkah lumpur yang di tinggalkan di atas ubin putih teras rumah kami.
***
Sejak nenek datang ke rumah ini, suasana berubah total 180° dari keadaan normal. Sebenarnya nenek punya rumah di kampung di pelosok Kabupaten Sinjai. Tapi sejak kakek meninggalkan kampung dan tinggal bergilir di rumah kedua anaknya. Om Deni, anak pertama nenek tinggal di Sulawesi Barat. Anak Bungsu nenek, ayahku mndapat giliran untuk nenek tinggal. Sejak satu bulan belakangan ini, artinya masih ada satu bulan lagi nenek di sini sebelum ke Sulawesi Barat.ke tempat Om Deni.
Sebenarnya nenek baik dan sangat penyanyang. Ia selalu memberiku hadiah. Apalagi jika sehabis menerima uang pensiunan kakek, aku pasti mendapat jatah darinya. Aku juga sering memijatnya jika mulai mengeluh kakinya yang tiba-tiba kram. Ciuman lembutnya dan pelukan hangatnya selalu diberikan pertanda terima kasih dan rasa puas terhadap pijitanku. Itu jika keadaan normal. Sangat berbeda jika suasana perang muncul. Ada saja kelakuan nenek yang kadang membuat aku sedikit kasar dengan ucapanku kepadanya. Bukan maksudku seperti itu, tetapi kadang nenek melakukan kesalahan yang sama, dalam waku yang relative tidak berselang. Misalnya seperti pagi tadi selesai mengepel lantai, nenek dengan santainya bolak-balik di tempat itu. Tanpa rasa bersalah memakai sandal kotor. Di lain waktu ia begitu rajin membereskan dapur yang kotor. Saat aku bantu ia menolak. Awalnya aku bersyukur karena nenek meringankan bebanku yang habis kuliah mesti bantu-bantu dapur. Tapi apa yang terjadi? Pekerjaan dapur memang kelihatan selesai, Tapi peralatan masih berminyak, bau dan tidak bersih. Dilain waktu, nenek pernah merapikan kamarku. Semua kertas-ketas yang bertebaran dimbilnya kemudian di bakar di tong sampah, termasuk tugas kuliah 10 lembar yang ditulis tangan. Bagaiman tidak ngamuk.
Rumah menjadi ramai oleh teriakan-teriakanku. Banyak ulah nenek yang harus aku hadapi dengan mengomelinya, bermuka masam di hadapanyan. Atau kadang hanya suara nenek yang terdengar tanpa henti bicara. Memberikan siraman rohani untuk ayah dan ibu. Kadang aku bedoa semoga nenek tidak betah tinggal di rumah ini. Kejam yah?
***
Nenk kritis. Sekarang di UGD RSU Whidin. Kutatap layar ponselku lama. Pesan dari ibu kuterima saat akan melangkah masuk ke ruang kelas. Tak sempat lagi meminta izin dosen yang sudah telat setengah jam. Kuayuhkan langkahku tergesa menuju rumah sakit. Syukur letaknya dekat dengan fakultasku, Fakultas Hukum.
Sambil berjalan ke rumah sakit kutelpon ibu. Ktanya nenek terpeleset di kamar mandi, ia jatuh pingsan dan belum sadar sampai sekarang.
“ Allah… ini salahku. Kulupakan kewajibanku membersihkan WC minggu kemarin karena hatiku kejengkelan kepada nenek”
Kuberdoa semoga aku masih diberi kesempatan melihat senyum nenek dan merasakan hangat pelukannya. Biarlah rumah rebut, gaduh, da ceramah nenek terdengar tiap malam. Biarlah. Aku ingin memeluknya dan berkata “ aku saying nenek”
skip to main |
skip to sidebar
Berkaryalah, Maka Dunia Akan Melihatmu
Rabu, 19 Mei 2010
Yang Tersisa dari TOR I FLP UH
Kupu-Kupu Palestina
Buku Baru
Pasang Link FLP Unhas di blog Anda
Anak FLP Unhas
- Alinda Nurbaety Hasanah
- Andi Asrawaty
- Angriana
- Ani Dzakiyah
- Arief Ungu
- Arieska Arief
- Asti Eka Ramadhani
- Ayu Ismal
- Bulqia Mas'ud
- Dyah Restyani
- Fitrawan Umar
- Fitria Dewi Usman
- Isma Ariyani
- Muh.Arief Rosyid
- Muthmainnah
- Noviar Syamsuryah S
- Raidah Intizar
- Rasdiyanah Nd
- Reza Al Sofyan
- Reza Kahlil
- Saputri Mulyanna
- St. Muttia A. Husain
- sukmawati
- Sultan Sulaiman
- Supriadi
- Uswatun Hasanah
- Wahyuddin Opu
- Wahyuni Hadrawi
FLP-ers Sulsel
FLP Semua...
Kata-Kata
Berkaryalah, Maka Dunia Akan Melihatmu (Yana Yan)
Kita tidak sekadar menulis. Menulis itu mudah!
Tapi, berjamaah itu lebih baik (Wawan)
Menulis membutuhkan keberanian, dobrak semua rasa ketakutan untuk menulis, semua di mulai dari nol dan takkan kembali menjadi nol bila terus di asah….genggam erat-erat penamu dan biarkan dia menodai kertas putih yang polos dengan jutaan karya yng terlahir dari buah pikiranmu. (Chipiet)
Kita tidak sekadar menulis. Menulis itu mudah!
Tapi, berjamaah itu lebih baik (Wawan)
Menulis membutuhkan keberanian, dobrak semua rasa ketakutan untuk menulis, semua di mulai dari nol dan takkan kembali menjadi nol bila terus di asah….genggam erat-erat penamu dan biarkan dia menodai kertas putih yang polos dengan jutaan karya yng terlahir dari buah pikiranmu. (Chipiet)
Koment Ya
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar