Sabtu, 10 Juli 2010

Bait Kehidupan



Oleh : Supriadi
Ketua Forum Lingkar Pena Periode 2010/2011

Hidup ini memang membingungkan, aku selalu hanyut dalam kekesalan yang membayang samar dalam timpuk egoku. Siapa aku? Bayangku hadir dalam usia menuju kematangan umur mendekati kedewasaan. Ragu semakin mencuat mengukir keraguan kalau aku bukan anak mama. Bertahun silam aku menangis di kala semua orang menganggapku anak pungut, dengan alasan yang tak jelas. Aku terlalu tampan menjadi anak mama dan papa yang katanya tak ada miripnya denganku. Tapi, bagaimanapun mereka berteriak, aku yakin kalau aku anak buah cinta ayah dan mama.
Hidup jauh darimu, Mama, membuatku semakin sadar betapa butuhnya aku belaian kasihmu nan lembut, meskipun aku semakin sadar kita tak akan selamanya bersama mengarungi hidup penuh ritme ini. Ke mana aku harus mempertanyakan kebingunganku yang semakin menjadi-jadi ini?
***
Anak kecil itu hadir lagi di depan kamarku di pondok, menggigit bibirnya dengan liur yang jatuh membasahi dada. Tangannya tergigit dengan bibir besar yang semakin hampir jatuh, sementara sebelah tangannya lagi menggerakan besi pintu masuk pondokanku. Kesal hadir lagi menyibakkan rasa kemanusiaanku, mataku melotot menakutinya. Meskipun aku sangat sayang anak kecil seumur dengannya, tapi aku tak akan bisa iba melihatnya. Ejekan dari teman sepondok cukup membuatku berbuat tak adil pada anak yang belum sekolah itu. Mana mungkin aku disamakan dan dimirip-miripkan dengan anak yang tak jelas waras dan tindaknya? Setiap orang yang baru melihat, akan berkesimpulan anak itu keterbelakangan mental.


Hussshh..hushh, bisikku kecil dengan ekspresi yang makin geram kepada anak itu. Kapan ia pergi? Atau aku perlu mengusirnya dengan cara yang kasar?
“Ila, ke mari Kau cepat.”
Suara memanggil anak kecil itu. Syukurlah, ia kan pergi dari tempat ini. Magrib yang berganti waktu, mengiringi kepergiannya. Bersama seorang pengasuh yang acak rambutnya dengan pakaian acak-acakan pula.
“Apakah aku benar-benar mirip dengan anak itu?”
Kaca cermin di hadapanku yang biru dan retak ini menjadi penilai. Bibirku tebal, apakah memang mirip dengan anak itu? Mataku mirip orang korea. Ah! Mana mungkin aku mirip dengan anak itu, tak ada tanda sedikitpun yang menguatkan.
Aku menutupi kecurigaan pada diriku sendiri. Hanya satu yang tak pernah aku saksikan dan kusamakan dengan anak itu, cara jalanku yang kata teman-teman di pondok juga sangat mirip. Apakah anak itu idiot? Dan aku juga idiot? Tidak! Tidak mungkin! Aku adalah mahasiswa berprestasi. Mana mungkin aku seorang lelaki yang keterbelakangan mental.
Pikiran menghipnotisku tidak bisa tidur malam ini. Aku harus cari tahu siapa anak itu. Besok, aku akan berkunjung ke rumahnya. Siapa anak itu, dia saudaraku yang dibuang? Seingatku ibu juga belum pernah melahirkan setelah ia melahirkanku. Aku adalah penderita sindrom? Inilah kejadian paling mungkin yang semakin membuatku rajin bercermin. Aku akan semakin marah pada manusia-manusia pencela yang mengataiku mirip dengan anak berwajah terbelakang itu. Aku sensitif akhir-akhir ini, mungkin karena sering dianggap mirip dengan anak itu.
***
Aku tepati janji untuk niatku semalam. Kuikuti kata hatiku untuk berkunjung ke rumah anak kecil itu. Dengan pengasuhnya yang berbusana dan berpenampilan seperti orang gila, disertai jualan asongan di tangan. Kalau bukan ibunya, mungkin dia bibinya. Kuikuti ia dari belakang berjalan menuju rumah yang entah di mana tujuanya. Aku semakin berdebar rasanya, melangkah jauh yang sulit kuperkirakan jaraknya. Ternyata aku berhenti pada ujung sungai di kota besar ini. Di sana ada gubuk kecil yang tak berdampingan dengan tempat tinggal manusia satu pun. Aku yakin inilah rumahnya. Aku sengaja bertanya pada perempuan tadi yang serupa orang gila.
“Anak itu tinggal di sini?”
“Kenapa tanya-tanya?”
“Bapak….bapak….,” anak itu berteriak sambil berlari ke arahku.
Aku yang lagi stress dan jijik tiba-tiba menghempaskan kaki menendangnya hingga di luar batas. Kulihat, kepala anak kecil itu tertabrak pada sebuah batu yang kupastikan membuat kepalanya berdarah.
“Tolooong!!” Teriak perempuan tadi.
Aku lari dengan kencang. Aku takut. Aku sungguh tak sadar melakukan tindakan gila barusan.
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi, kuambil tas dan beberapa helai baju, aku harus pulang ke Bulukumba, kampung halamanku. Bukannya aku mau lari dari kesalahan, tapi aku benar-benar takut. Aku stres atas apa yang telah aku perbuat. Aku akan lenyap untuk sementara waktu ini.
***
Sejam lalu aku telah sampai di rumahku ini, rumah yang begitu sederhana namun penuh dengan hiasan suasana cinta. Menempuh jarak dari kota ke rumahku tak sampai memakan waktu enam jam. Aku belum berucap apapun kepada mama dan papa, aku menggigil dalam takut. Aku tiba larut malam, langsung tertidur. Mama pun mengerti aku sedang lelah. Ia pasti tak mau menggangguku.
“Kamu kenapa, Nak, kamu mengigo?”
“Mama dan papa mendengar Kau bicara kosong.”
“Tidak Ma. Aku tak apa-apa.”
Aku menangis dan mendekap mama, saya kira inilah saatnya aku ceritakan masalahku di Makassar kepada mama dan papa. Aku betul-betul bercerita lepas. Mulai tentang apa yang kuperbuat tadi siang, kecurigaanku mama punya anak lain, atau aku seorang yang mengalami keterbelakangan mental, dan aku tutup dengan pertanyaan apakah aku memang anak angkat.
Ibu menangis sekejap. “Yang pasti kau bukan anak angkat, Nak.”
Kata-katanya goyah karena getaran akibat air mata yang terus mengalir. Ibuku yang begitu cantik memerah mukanya karena menangis.
“Kau adalah harapan nenek, harapan semua orang, Nak. Kau begitu susah dilahirkan hingga ibu berjuang hidup dan mati supaya kau hidup. Kau dilahirkan dengan rasa sakit yang tak pernah dirasakan sakitnya oleh ibu lain. Kau dilahirkan meskipun ibu harus tidak tidur selama tiga hari tiga malam karena kesakitan setiap detik.” Air mata ibu semakin tumpah.
“Kau akan kaget ketika kau tahu masa kecilmu. Kau adalah seorang yang jijik dipandang dulu. Kau seorang anak persis seperti anak yang kau ceritakan. Kau memang keterbelakangan mental, Nak. Kau adalah orang yang dijauhi semua orang. Meskipun begitu, ibu tetap berusaha membesarkanmu. Entah karena kasih sayang, sekarang kau seperti manusia normal.”
Pikiranku melayang membayangkan masa kecilku seperti apa. Setelah aku membayangkan diriku, aku membayangkan sosok anak kecil bermuka keterbelakangan mental.
Aku pun larut dalam tangis. Pantas saja aku tak pernah ingat betul bagaimana kondisi waktu aku masih kecil. Aku seorang yang keterbelakangan mental yang berubah karena cinta seoorang ibu.
“Apakah aku berubah karena cinta, Ma?”
“Ya! Karena cintalah kau bisa diubah, dan karena cintalah kau bisa tumbuh, Nak. Ibu yakin kalau kamu bisa menjadi anak normal, oleh karena itu kau harus cinta dengan orang sekitarmu. Jangan pernah remehkan orang lain, karena kita semua manusia itu sama tak ada yang lebih”.
Aku tahu betul siapa aku malam ini. Kuberdiri menghadap-Mu, Tuhan.
Aku malu pada diriku, mengapa aku harus jijik pada orang di sekitarku, padahal penampilan fisik bukanlah segalanya. Kasihan anak itu. Aku telah tak adil padanya, seharusnya anak itu diberi belaian kasih sayang bukan malah dijauhi. Aku terus mengangis hingga tak sadar aku tertidur dalam dekapan ibu. Aku bertekad dalam hati untuk membagi cinta buat anak kecil yang belum kutahu siapa ayah dan ibunya itu. Salam cinta untukmu adik kecil.[]


1 komentar:

Posting Komentar