Senin, 11 April 2011

Full Day With You.. FLP-ers..

Catata perjaanan FLP-ers 10 April 2011

Menanti

Mentari menyambut dengan cerah saat aku melangkahkan kaki keluar rumah, hendak ke kampus memenuhi agenda dengan teman-teman. Hari itu kami sudah merencanakan untuk melaksanakan agenda satu hari bersama.

“Assalalam, FLP-ers agenda sekolah menulis minggu ini, Ahad 10_04_11:

1. Survey ke pelabuhan paotere.

2. Menengok saudari kita Aida Radar.

3. Bedah buku “Badik” oleh Aspar Paturusi (Artis senior sekaligus budayawan sulsel) kumpul jam 08.00, On Time yah, yang telat ditinggal.”

Begitu kira-kira bunyi smsnya. Kini sekolah menulis FLP-UH tidak hanya diadakan kaku, dengan duduk dan mendengarkan materi, diskusi santai dan jalan-jalan pun kami coba untuk mengusir kejenuhan aktifitas yang begitu-begitu saja. Aku akhirnya berusaha secepat kilat sampai tepat waktu di titik kumpul, tak mau kemakan kata-kata, nyatanya aku masih terlambat 18 menit, Huff. Dua orang sudah di sana. Dengan harap-harap cemas kami menanti kedatangan teman-teman, takutnya jumlah kami sedikit. Akhirnya setelah menunggu setengah jam kemudian, Alhamdulillah teman-teman sudah berkumpul dan kami pun bergegas. Dengan jumlah 14 orang, Asra, Dewi, Mutia, Isma, Habibah, Tenri, Sukma, Enci, Ica, Adi, Opu, Dika, Reza, dan tak lupa K atun yang selalu setia, kami menaiki pete-pete menuju agenda pertama ke pelabuhan Paotere Makassar, mencoba menjelajahi sisi-sisi gelap dari masyarakat Makasar.

Agenda Pertama

Kami turun di salah satu pasar, di sana kami menyaksikan sisi Makassar yang lain, mencoba keluar sejenak refresh dari rutinitas kampus yang memenatkan kepala, terkadang menyesakkan jiwa, tidak jarang menjemukan. Kuliah, presentasi, mengerjakan tugas. Kami ingin melihat sejenak Makassar dengan wajahnya yang lain. Kami para penulis memang harus banyak jalan-jalan menemukan, merasakan, melihat, mendengar segala sesuatunya secara langsung agar kepekaan menjadi terlatih.

Kami melewati masyarakat awam, yang setiap harinya bergumul dengan hawa asin lautan yang warnanya tidak lagi berwarna biru, airnya telah berganti menjadi hitam. Banyak pertanyaan yang muncul di kepala. Ada yunior yang bertanya

“Kaka’ ini kan laut kok warnanya hitam?”

“Limbah de” kataku polos. Yah limbah, dimana-mana, minyak, bahan kimia, dan limbah telah merasuki birunya laut menggantikannya dengan hitam dari keserakahan orang-orang.

Lagi-lagi Sampah, bosan!

Kaki kami terus melangkah dari satu tempat ke tempat lain, meninggalkan kanal-kanal yang disesaki perahu-perahu kecil milik nelayan. Urat nadi mata pencaharian masyarakat tersebut. Kami menuju ke pelelangan ikan. Bau amis semakin dekat, tapi kami tidak merasa mual, yah, kami mencoba menikmati bau amis, bau khas kehidupan masyarakat pesisir.

Laut, ikan dan kapal, kami mendekati dermaga, ternyata masih sama, sampah-sampah di sana sini, ada kelapa, plastik minuman, kertas kayu-kayu, bahkan tikus matipun ada, sampah-sampah itu bergerak mengikuti irama ombak. Tidak lagi terlalu heran dengan hal tersebut, kami memang sudah sering menemukan sampah di air, ada di sungai, di selokan. Sekarang kami menemukannya di laut apa bedanya?

Tapi adalah, yang tertinggal di hati. Ada sebuah sumpah yang terpatri di dasarnya yang paling dalam, sebagai mahasiswa intelek yang Insya Allah beriman dan berilmu, kami tidak akan membuang sampah lagi sembarangan. Sebuah sumpah yang tidak terucap. Bahkan angin pun tak kuasa mendengarnya. Sumpah itu terselubung dalam hati, telah merekat dengan lem kesadaran.

Akh, kesal rasanya jika terkadang mahasiswa dengan gampangnya menbuang sampah, padahal tidak jauh darinya terdapat sebuah tempat sampah, maka jangan heran juga jika supir pete-pete setelah minum langsung membuang sampahnya di badan jalan raya. Maka jangan heran kalau masyarakat tidak lagi risih. Tapi, bagi kami yang menyaksikannya setiap hari, ada sebuah kejengkelan melihat hal tersebut kembali berulang dan berulang. Maka, selemah-lemahnya iman adalah mencegah dalam hati, dan perbuatan terkecil ialah membuang sampah pada tas jika tidak menemukan tempat sampah di sekitar kita.

And The Rain Falls

Kami terus melewati tanah-tanah becek yang berwarna hitam serta mengeluarkan bau seperti comberan, diantara orang-orang yang sedang bertransaksi membeli ikan. Ada bapak yang baru saja mengangkap hasil ikan terbaiknya sebuah ikan besar sepanjang seperdua tinggi manusia kira kira, satu meter lebih, bapak itu sumringah. Di sisi-lain anak kecil melompat ke laut yang penuh sampah itu bercengkrama dengan laut. Tetap ceria. Akh, Mereka masih bisa tersenyum, menikmati hidup.

Yah, bagi kami senyum mereka bagaikan terkadang sebuah obat yang dapat menambah kesyukuran dan sedikit bersahabat dengan rasa malu dan bergumul dengan rasa visioer. Bagaimana tidak anak-anak itu masih bisa tersenyum, walaupun setiap harinya mereka bergumul dengan penderitaan, masa depan mereka tidak jelas, entah nanti malam mereka bisa makan atau tidak. Kemiskinan telah mencengkram leher mereka. Tapi, mereka masih bisa tersenyum, tidak kalah akan hidup. Terus menerus bertahan, melawan dan berdamai dengan keadaan. Lalu kita, terkadang terlalu asyik dengan hidup tanpa rasa peduli. Di lain sisi, kita bahkan menangis dan rapuh untuk hal-hal yang seharusnya masih bisa diatasi. Misalnya mendapat nilai C, tersinggung, putus cinta, atau apalah yang seharusnya tidak membuat kita terlalu sedih berlarut-larut. Terkadang kita merasa bahwa kita adalah yang paling menderita, namun ternyata ada yang lebih menderita. Kasihan..

Tidak lama kemudian, langit di sebelah selatan kami mendung, kemudian berarak tepat di atas kami. Gerimis-demi gerimis akhirnya turun tanpa undangan. Kami tidak ambil pusing, kami pikir hujan tidak akan berlangsung lama. Aku sendiri baru saja ingin mewawancarai nelayan. Para nelayan itu kelihatan sumringah ketika di foto apalagi di tanyai ini itu, mungkin mereka merasa penting. Tapi memang mereka begitu penting, tanpa nelayan-nelayan itu bagaimana mungkin ikan berprotein tinggi itu dapat tersaji dengan lezat di hadapan kita setiap harinya. Baru saja nelayan itu mengungkapkan rasanya kesepian dilautan selama dua minngu tidak melihat manusia, terombang-ambing pada cakrawala yang luasnya tak terbatas oleh pandangan mata. Aku melihat ke arah kiri dan kanan, teman-temanku tidak lagi bersamaku, aku mohon pamit dan meminta terima kasih pada bapak nelayan, lalu lari menembus hujan mencari teman-teman. Ternyata mereka berada di pelelangan, di tempat paling pinggir kami merapat ke tempat dimana anak-anak ikan hiu yang cukup besar telah di jual. Kasihan. Teman-teman masih sempat berfoto dengan hiu-hiu itu.

Wisata Kuliner

Hujan masih saja terus berlangsung, sementara perut kami telah keroncongan, lalu kami akhirnya meninggalkan pelelangan ikan menembus hujan yang tidak lagi begitu deras. Kami menuju tempat makan, lalu kami memuaskan perut dengan menu sea food ala pelabuhan paotere.

Agenda Kedua

Waktu terus berlanjut, jam telah menunjukkan pukul 11.30 menit kami harus segera menuju agenda selanjutnya, menjenguk k Aida Radar yang sedang sakit. Sesampainya di sana Alhamdulillah beliau sudah agak baikan. Beliau tersenyum bahagia melihat kedatangan kami yang datang bergerombol. Kak, aida cepat sembuh yah, biar bisa beraktivitas kembali bareng kami.

Agenda Ketiga

Kami kembali berjalan kaki, sebuah pemandangan yang langka, ada segerombolan anak muda yang berjalan kaki, bukan karena tidak punya uang, tidak pula untuk berdemo. Cukup jauh ternyata, tapi jalan kaki itu hemat dan sehat teman-teman. Yah, mana ada sekarang anak muda mau jalan di tengah kendaraan yang melintas, ada hal terbesar yang terganjal dalam hati dan pikiran mereka, hal yang tidak penting. Gengsi. Pukul 01.00 kami sudah tiba di kantor Fajar, cepat satu jam dari waktu yang disepakati sebelumnya, yah, cukup lama kami menunggu akhirnya acara dimulai. Ada sebuah hal yang begitu kontraks ketika membandingkan agenda pertama dan ketiga. Bagaikan bumi dan langit, inilah kesenjangan sosial. Jurang antara masyarakat awam dengan orang-orang terpelajar.

Pesan Pak Aspar

Acara bedah buka ini, dibuka dengan pembacaan puisi kumpulan puisi “Badik” karya Aspar Paturusi, seorang Artis senior sekaligus budayawan Sulawesi Selatan. Sebuah buku yang sangat menarik, setiap baitnya mampu mempermainkan emosi. Pemaparan-pemaparan artistik dari para pembedah dan penanya benar-benar bersinergi dengan budaya. Pada akhirnya, diskusi ditutup dengan jawaban pertanyaan kami. Sebuah hari yang menyenangkan, setidaknya kami melakukan kembali hal yang bermanfaat dan tentunya membuat gelora motivasi dalam diri kami kembali memuncak. sebelum mengakhiri diskusi sebuah Pesan dari meluncur dari pak Aspar yang berperan sebagai ayahada Furqon dalam film KCB pada kami. Belajar, belajar, belajar, membaca, membaca, membaca, diskusi, diskusi, diskusi, dan menulis, menulis dan menulis.

2 komentar:

Perempuan Semesta mengatakan...

hm, nice post!

tapi, kurang greget deskripsinya. seandainya disertakan juga bagaimana Opu dan Reza yang akhirnya mau juga makan ikan, hehe...

atau saya yang makan tiga kepala ikan.. ^^


keep write ya!
kalo ada agenda jalan2 lagi, ajak2 saya.. hoho

arini arief blogger mengatakan...

NICE....

Posting Komentar