Kamis, 24 Desember 2009

Koruptor di Rumah Nenek Haji: Sebuah cerpen dari Makkunrai Ketika Sastra Melawan


Oleh: Fitrawan Umar*
Hingar bingar bicara koruptor telah lama terdengar di negeri ini. Indonesia, negeri penuh koruptor. Setidaknya hampir semua orang tidak pernah marah bila berkata demikian. Malah identitas Indonesia korup sudah menjadi barang usang dalam pembicaraan manusia.
Suara-suara anti korupsi juga tak kalah kerasnya dengan pemberitaan skandal korupsi yang melibatkan berbagai lapisan. Namun, apakah suara itu terdengar atau hanya sekadar seperti lolongan anjing dengan kesedihan di tengah jalan, kita sendiri semua tahu.
Untungnya, sastra selalu memotret keadaan negeri ini. Bahasa-bahasa sastra beserta pengikutnya selalu tak ingin ketinggalan melihat realitas. Ia hidup, di atas kertas dan membumi di hati nurani.
Dengarkan tulisan Lily Yulianti Farid (sastra dari Makassar) berikut ini:



“Sudah kupesan berkali-kali pada Wahidah….hati-hati bergaul, hati-hati dengan posisimu sebagai bendahara. Uang banyak selalu bikin silau. Kita orang bugis pantang mencuri! Harus mallempu’…mallempu’…mallempu’…Cuma itu pesan almarhum Kakek Haji pada keturunannya.” (Koruptor di Rumah Nenek Haji dalam Makkunrai. Nala Cipta Litera. 2008)
***
Buku Makkunrai bisa dijadikan kado di hari Ibu, 22 Desember. Semua kisahnya berisi tentang pemberontakan kaum perempuan. Bukan sekadar memberontak. Tapi inilah bentuk perlawanan atas ketidakadilan sosial yang sebagian menimpa perempuan Indonesia.
Lily menulis dengan hati yang marah. Cerita-ceritanya mencerminkan bahwa memang terjadi yang disebut ketimpangan di negeri kita.
Makkunrai berhasil keluar dari dominasi cerita tentang perempuan. Sudah bukan lagi saatnya bercerita tentang tubuh perempuan kemudian ditafsir sebagai seni tingkat tinggi. Beginilah seharusnya sastra bercerita. Cerita tentang perlawanan dan kebangkitan!
Koruptor di Rumah Nenek Haji adalah satu dari kisah perempuan yang hendak memberontak. Memberontak melawan koruptor!
***
Koruptor di Rumah Nenek Haji bercerita tentang keresahan seorang perempuan pada anaknya. Nenek Haji pada Wahidah. Wahidah, seorang pegawai Departemen Kehutanan tersangkut kasus korupsi reboisasi. Kemudian berontaklah Nenek Haji.
“Sebenarnya, Wahidah sudah pencuri sejak dahulu…”
…………………………………………………………………..
“Sudah kukatakan pada Wahidah, jangan curi-curi umur!”
…………………………………………………………..
“Eh, ternyata dia keras kepala! Dia tetap mencuri umur! Anaknya belum lagi berusia 6 tahun, sudah diakuinya berumur 7 tahun dan dimasukkan SD! Sudah kukatakan sabar saja, tunggu setahun lagi…Tapi Wahidah pergi juga mengurus akte kelahiran palsu, dan katanya ia bisa bernegoisasi dengan kepala sekolah dan wali kelas untuk proses pendaftarannya,”
…………………………………………………………………..
“Sekali kau coba-coba mencuri kau akan terbiasa…”
Di sini, Lily dengan cantiknya menyuarakan perlawanan melalui keluh-kesah Nenek Haji. Mengeluh tentang keadilan. Meresahkan kejujuran. Dan mendobrak tradisi kecil-kecilan. Kita dengan mudah menangkap maksud cuplikan dialog-dialog itu.
Begitulah memang sastra. Tanpa menuduh siapa pun. Tanpa menghakimi siapa pun. Namun, menyentuh langsung kepada siapa yang hendak dituju.
Korupsi memang telah mendarah daging di negeri ini. Mulai dari orang besar sampai kecil. Dari pejabat sampai pegawai rendahan. Dari sesuatu yang besar-besar hingga kasus yang kecil. Maka, apalagi yang harus dilakukan. Selain terus mengampanyekan makna kejujuran. Dan, pesan domain ini yang berusaha diamarahkan melalui sebuah cerpen.
Cerpen ini ditulis pada tahun 2007 oleh Lily. Waktu penulisan ternyata tidak begitu mempengaruhi pesan yang ingin disampaikan jika dibaca sekarang ini. Karena memang, bahasa sastra adalah bahasa universal. Bicara tentang masa lalu dan kini. Apalagi jika dikaitkan dengan kasus korupsi yang semakin berjalannya waktu rupanya semakin menjauh dari ujung cahaya.
“Aku sudah kecewa pada Wahidah sejak ia memutuskan memalsukan akte kelahiran anaknya, agar bisa masuk SD lebih cepat. Aku juga menangis saat mendengar cerita ia menyogok kepala sekolah dan wali kelas saat bersikeras memasukkan anaknya ke kelas unggulan. Aku tahu ia tidak jujur…Sudah kubilang, begitu kau coba-coba sekali…kau akan terbiasa! Hidup ini harus mallempu’….Luar dan dalam..”
***
“Kau dengar itu Mardiah…Tante Wahidahmu bebas. Tapi kau tahu, itu bisa saja karena campur tangan keluarga suaminya yang berpengaruh di Makassar. Puihh! Pengadilan, selalu bisa dibeli! Masih ada yang mengganjal di sini…” Nenek Haji menunjuk dada sebelah kirinya.
***
*Ketua Forum Lingkar Pena Unhas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar