Minggu, 25 Juli 2010

Oi..Oi...Ikutan!!!


Selengkapnya...

Kamis, 22 Juli 2010

Habis Gelap Nggak Terbit-Terbit

(Dari Buku "Suka Duka Penulis Pemula" FLP Sulsel)
R. Buba Dias

Bacalah dengan nama Tuhanmu
Bismillah el-rahman el-rahim

Jadul (jaman dulu) yang amburadul
(aduh! Ah! Uh!)
"Mengetahui tujuan kita, jauh lebih penting
daripada mengetahui seberapa
cepat kita dapat sampai di sana."
Kata-kata Martin Vanbee dalam buku Kesuksesan 101 ini, seirama cambuk menderaku di kesunyian. Kesunyian yang melahirkan letupan-letupan kemelut jiwa badai hati tak bertepi. Hingga aku tak tahu kapan tiba saatnya berhenti. Seandaikan cambuk itu digenggam oleh Ayahku saat jemari ini mampu memeluk pena, dan mengajaknya menari di atas altar putih wajah kertas…mungkin saat ini aku sedang tidur nyenyak di atas tumpukan buku-buku karyaku.
Novel, cerpen, dan majalah serta koran yang beraroma sastra menjadi sahabat sejati dalam perjalanan karir kepenulisanku. Hamka pernah membuatku panik, ketika, ia mengajakku berlayar dengan kapal Van Der Wijck dan tenggelam bersamanya. Lain waktu, aku tersungkur karena Sayap-sayapku Patah. Beruntung Kahlil Gibran meraih dan memapahku bersama Sang Nabi. Satu, yang membuatku tetap melangkah, walau onak dan duri jenuh selalu menghujam deras mendera. Tak lain karena Sang Khairil Anwar yang sudi mengajakku untuk hidup seribu tahun lagi. Walaupun, aku hidup dari kumpulan yang terbuang , tetapi, aku tak ingin menjadi binatang jalang.


Bukan main pontang-panting aku meniti dan memahat karya. Pulang sekolah, refresh otak dikit, selepas tahlil, tahmid and takbir membasahi bibir, (tentunya basah juga oleh ratusan butir nasi dan ratusan cc air gallon) kusambar buku dan pena. Aneh… semakin kuasah, semakin banyak saja sobekan kertas memenuhi tong sampah di kamar tidurku. Huuuuhhh…aku sampai tak tahu lagi, mana ranjang, dan mana meja tulis? Karena kantuk tak lagi menyapa. So, hanya lelah yang masih iba bertahta di kelopak mataku dan menutupnya tanpa kusadari; di mana dan kapan?
Kalau tadi, tugasnya buku dan pena. Sekarang, biarkan mesin ketik yang bersabda. Tapi jangan bilang-bilang orang ya, mesin ini aku pinjam sama Ancha (sobat karib) ketua mading asrama Pondok Pesantren Hidayatullah Pusat Balikpapan. Plus kertas HVS tentunya. Sekali-kali jadi parasit, kan sah-sah aja, he…he…he…
Tak…tik…tuk…denting mesin ketik menjadi musik terindah di sini (di pesntren) ketika, musik tak berkutik. Aku semakin gila tuk menulis, menulis, dan menulis. Sampai tiba saatnya nanti, jemari ini akan menari secara otomatis meninggalkan guratan relief kata-kata yang…
Kita tinggalkan sejenak jaman dulu dengan irama datar yang selalu saja tak…tik…tuk…kretek…ting! Di sudut langit-langit terdengar sayup-sayup—entah pujian atau ejekan—"Ck…ck…ck…" hap, sambil menangkap nyamuk.
To be continued…
Millenium 2 lebih 7 tahun
(manis, manis, dan maniiiiiiiiiissss)
"Sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisaunya ke dalam nyanyi."
Sepi dan nyanyi, dua realitas berbeda yang selalu menghantui piranti hidupku. Hantu yang jauh dari kesan menyeramkan, namun menyebalkan! Tapi…aku suka. Karena hantu-hantu tersebut adalah sahabat-sahabat seiring sejalan senada seirama sependeritaan sepenanggungan dalam kerasnya kuliah di UIN dan sumpeknya ngekos di bawah kolong langit Makassar. Dan pisaunya mengkristalkan kata-kata "Enak ya punya teman cerpenis, tiap minggu rekening banjir, dan coffee morning jalan terus…"
Saat para pembaca yang budiman menjelajahi dunia kata ini, mungkin saja aku dan para Gondoruwo (karena rambut mereka panjang dan bergelombang, juga aku tentunya) sedang ngopi bareng di Waroeng Pak Idris, di tepi Jalan Sultan Alauddin, pas, di depan kampus kami tercinta, ha…ha…ha…so, aku yang nraktir. Katanya sih, sepenanggungan. Tapi perasaan… aku terus yang jadi objek penderita kalau urusan bayar-membayar. Ufs, kudu ikhlas, biar jadi daging buat mereka. Kebetulan juga hari ini, royalty menimpaku secara beruntun; dari Kompas Rp 500.000, cerpen (Tak Selamanya Kaktus Berduri). Dari Republika Rp 400.000, juga cerpen (Akulah Tuhan Akulah Hantu). Dari Fajar Rp 250.00, lagi-lagi cerpen (Ruang Rindu Ririn). Dari Suara Hidayatullah Rp 400.000, figur tentang Rektorku (Masih Adakah Hari Esok?). Terakhir, sinopsis buku Oragon (Joki-joki Naga Terbang), barternya dengan buku dari penerbit. Ibarat ketiban bulan, (untung bukan durian) hidup lagi cacing satu bulan, senyumku mengembang. Ya, lumayanlah, untuk ukuran mahasiswa berdikari seperti aku. Terbayang di mataku; nasi plus lauk, uang semester, biaya makalah, coffee morning, etc tanpa apel malam mingguan, titik. Welcome to the jomblo, and jomblo is the best.
Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Jerih payahku menulis tak sia-sia. Dulu, mesin ketik aja sampai pinjam sama Ancha. Sekarang, laptop pribadi man! Ditambah lagi RX King seri terbaru (ssstt…kredit gitu) dengan emisi gas buang rendah dan aman, yang kini selalu menyertai perjalananku wara-wiri kesana-kemari. Tak lupa menabung (untuk bangun rumah plus tangganya ) dan kirimin emak di Bekasi, sebagai bukti birrul walidaini, ehm..ehm…ehm…o, iya! Hampir lupa nih. Paling apes dalam sebulan aku bisa menerima royalti ya, satu sampai dua juta rupiah. Bahkan, kadang-kadang lebih. Itu baru dari cerpen. Dari; artikel, opini, sinopsis, figure, dan puisi, aku ga' hitung. Hitung-hitung buat biaya kredit motor. Ternyata, enak ya jadi penulis. 
Tetapi, ada juga gak enaknya. Beberapa pengurus mading, mendudukkanku sebagai Editor, pikir deh, apa nggak ? Namun senyum manis mereka membuatku luluh klepek-klepek. Juga tidak ketinggalan FLP Sulsel yang selalu mengundangku memberikan materi untuk pengkaderan penulis pemula. Kapan ya, aku bisa nulis buat FLP?
Yang manis-manis, di pending dulu. Masih ada si…itu tuh?
To be continued…
Sambungannya Jadul
(ngos-ngosan)
"aku tahu
menjadi penulis besar itu tidak gampang
aku hanya minta Satu
untuk menjadi penulis tanpa kebesaran
tapi kata yang kau ucapkan
"masih kurang nyastra."
Lanjuuuuutttt…sekarang saatnya yang paling tepat untuk melihat jatuh bangun aku mengejarmu…sorry, I am sorry. Kok jadi dangdut sih? maksudnya, jatuh bangun mendaki tebing cerpenis sejuta nama. Kok bisa? Nggak boleh penasaran, sekarang, tarik napas aja dalam-dalam dan selamat menyelam. Blubuk…blubuk…blubuk…
Aku yang bernama asli Said Abu Bakar ini, lahir ribuan hari silam di atas kapal yang sedang berlari-lari kecil di halaman Sungai Mahakam Samarinda. Pas udah gede, di masa SMA (Sekolah Madrasah Aliyah) aku merakit nama pena dari namaku sendiri yang dibaca terbalik dari sebelah kanan, sama dengan Raka Buba Dias, disingkat menjadi R. Buba Dias. Pertama kali menulis, buat si dia…selanjutnya terserah anda. Kemudian dari mading ke mading. Dari mading school sampai mading Asrama Putra P.P. Hidayatullah Balikpapan tempat aku nyuri ilmu. Nggak kirim ke Asrama Putri nih? Aje gile! Ketangkep basah bisa di DO gue. Pasti mata-matanya ustadz tuh orang. Gantung diri itu kan dilarang ama Tuhan, nah yang begitu-itu tuh, gue anggap gantung diri, walaupun, di bawah pohon tomat. 
Kemampuanku semakin terasah. Cerpen kulibas menabrak cerbung dengan judul Joko Gendeng—terinspirasi sama Pak Joko guruku yang gokil—Pendekar Suling Sakti. Ya lumayanlah, cerbung ini sempat tampil sampai beberapa edisi sebelum akhirnya Joko Gendeng mati dalam otakku yang buntu. Cerbung menjadi (cerita tak bersambung) sampai aku makan bangku kuliahan di UIN Makassar pun belum terpikirkan kembali untuk meneruskan si Joko. Joko…Joko…nasibmu.
Nah, sekarang klik start, terus klik my document, dan pukul kepala tikus yang sebelah kiri pada computer ketika melihat Habis Gelap… Kucek-kucek mata, kalau perlu, pakai kacamata setebal pantat botol yang berwarna hitam biar nggak silau man! Layar dibuka…

Manisan Asam, Asin, Pahit Penulis Sukses
Bahan:
* Sebongkah otak yang masih waras * buku-buku rujukan * kamus 3 bahasa; Indonesia, Arab, dan Inggris * 1 lembar buku tulis * pulpen or pensil * mesin ketik * kertas HVS or kwarto * kopi or teh * cemilan * editor * tong sampah * amplop * perangko.

Cara merakit:
1. Pertama-tama, refresh otak hingga cemerlang. Tuangkan kata-kata dangan pulpen sambil mengaduk-aduk batok kepala, kemudian cetak di atas buku tulis. Coret-coret sampai benar dan matang. Kalo sudah setengah matang, ambil kwarto dan masukkan ke dalam mesin ketik, tak…tik…tuk…sampai keriting tuh jari. Sesekali nggak ada salahnya menyirami tenggorokan dangan kopi / teh plus cemilan; kacang garuda, wafer tango, kerikil goreng (kalo nggak ada yang lain) etc. Hati-hati jangan sampai salah ketik, kalo terlanjur salah, remas-remas kwarto dan lemparkan ke tong sampah.
2. Nah, kalo sudah matang, hidangkan di dalam amplop berperangko Rp 1000, 2000, atau kilat khusus, semua tergantung jarak jauh–dekatnya tujuan. Ingat! kirimkan ke redaksi secepatnya, sebelum kadaluarsa. Warning! Naskah harus lolos sensor guru sastra sebagai editor sebelum dikirim.
Selamat mencoba di rumah masing-masing. Dan jangan lupa kirim sebanyak-banyaknya sampai penerbit merasa bosan membaca lagi-membaca lagi, dan akhirnya memuat juga tulisanmu di salah satu rubriknya. Nggak percaya? Aku aja hampir nggak percaya.
Yang juga sangat urgen di sini adalah seorang guru sastra yang jadi pembimbing untuk mengotak-atik tulisan yang kurang nyastra. Kurang nyastra, jadi inget Pak Pita Nugroho guru sastraku. Cerpenku yang the best menurut beberapa temanku, eh, dia malahan bilang kurang nyastra. Yang nyastra kayak apa sih, Pak? Apa tulisannya harus gondrong kayak seniman, atau…atau…interpretasi sendiri aja deh, aku blank.
Akhirnya dan akhirnya, lolos juga tulisan puisiku di mata Pak Pita. Jangan salah man! Kwarto bertumpuk di tong sampah gara-gara kurang nyastra. Puisi pertamaku merangkak ke redaksi Sabili, tapi sampai aku lupa kapan kubuat puisi itu, Sabili nggak pernah mengulurkan tangannya kepada puisiku. Cerpenku di koran pun nasibnya sama (habis gelap nggak terbit-terbit)  Jadul the end..
***


Lanjutannya Millenium
(masih tetap manis)
"Historia Vitae Magistra."
Pengalaman adalah guru terbaik.
Di SMA boleh kelam, bahkan gelap. Tetapi, garis tanganku berubah sejak kuliah. Cerpen-cerpenku mulai menghiasi wajah majalah dan koran kenamaan, setelah kesekian kalinya jatuh ke dalam jurang tong sampah redaksi. Tapi aku takut jadi orang yang terkenal. Akhirnya setiap cerpen yang kukirim, pasti namanya berlainan. Cuma satu yang memakai nama R. Buba Dias, yaitu, cerpen Ada Bidadari Di IAIN yang nongol di Republika edisi minggu ke-2 Nopember 2004. So, pasti Editor sudah tahu siapa yang ngirim. Gimana enggak! Berbeda-beda nama, tapi tetap satu alamat jua (Jl. Sultan alauddin 2/ no: 23)
Kalaupun kelak aku jadi orang terkenal, nama apa yang cocok ya? Dan aku juga harus selalu siapin pulpen khusus buat para fansku yang meminta tanda tangan dari sang idola. Ih…cape deeehh.
Akhirnya aku luluh juga sama Kak Yanuardi Syukur, (mantan ketum FLP Sulsel) yang menyuruhku membuat sebuah novel perdana, dengan mengadopsi satu nama pena yang sudah ada. Kupilihlah R. Buba Dias. Ajaib! Tiga novel lahir dalam waktu tiga bulan lebih tujuh belas hari, masing-masing di atas 300 halaman, ajaib bukan? Dan melalui tangan dingin Kak Gegge Mappangewa, (Ketum FLP Sulsel) sebagai editor lokal sebelum di cincang-cincang sama Editor penerbit yang bertangan lebih dingin…eh, nggak nyangka diterima, dan Insya Allah akhir bulan April akan di launching, pasca perekrutan anggota baru FLP 9-11 April mendatang. Yang pertama, novel budaya (The Jeneponto) Toma'nurung. Yang kedua, novel remaja (Welcome To The Jomblo) DAR! Mizan. Yang ketiga, novel remaja juga (CIA) Syamil. Terima kasih kuucapkan, tuk semua yang mengiringi, menemani, dan men-support titian karya ini. Sekali lagi, terima kasih. Buat yang lain, jangan cuma pinjam ya, awas kalo nggak beli.  The game over.
***
Happy Ending
(manis or pahit? Mari angkat bahu)

"Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Ada peran wajar dan
Ada peran berpura-pura
Andaikan setiap esai
Adalah wajar
Aku harap ini esai."
Seperti biasa man! Akhir sebuah sinetron; cerita ini hanyalah fiktif belaka, kalo ada cerita yang manis-manis, pasti boong. Nah, yang pahit-pahit, asli tanpa di rekayasa. Nggak cuma pahit, bahkan, simalakama. Tak hanya Sabili yang nolak, yang lain pun masih enggan. Kalo ada kesamaan nama tokoh/tempat/atau dll, itu hanyalah kelihaian penulis belaka mengolah kata-kata yang sempat singgah di otaknya. Sisanya adalah khayalan tingkat tinggi, yang bukan hanya milik Peterpen.
Friends,
be-te…!
kenapa sih susah amat nulis
seperti Sastrawan yang nongkrong di Horison?
Brur,
ga' mood…!
kenapa juga harus ada mood?
Coy,
pleace deh…!
kenapa harus ada kata
untuk mewakili novel and cerpen?
Man,
blank…!
Nggak terbit-terbit
Nggak nongol-nongol
Nggak menyembul ke permukaan." 
Aku belum finish. Terbit nggak terbit asal nulis. Tak ada hari esok, jika kita tidak memulai hari ini. Kalo nggak percaya, tanya aja sama Mas Fauzil Adhim.
Kalau R. Ajeng Kartini mengatakan Habis Gelap Terbitlah Terang, Kalo R. Buba Dias, (aku, hik…hik…hik…) Habis Gelap Nggak Terbit-Terbit, nasib-nasib. Semoga suatu saat nanti ada penerbit yang sudi mengulurkan tangannya untuk tulisanku. Amin 100 kali.***
Selengkapnya...

Senin, 19 Juli 2010

Ayo Menulis!

Mengisi waktu liburan, ayo kita menulis!
Berikut berbagai tips menulis buku selama liburan....

1. Kumpulan cerpen
Teman-teman bisa membentuk kelompok untuk membuat kumpulan cerpen. Bisa 2 sampai 10 orang. Sebaiknya Anda memilih teman yang sesuai dengan gaya kepenulisan Anda.
Di pasaran, kumpulan cerpen masih banyak yang beredar. Anda bisa memilih cerpen serius, komedi, romantis, misteri, dan lainnya.
Untuk cerpen serius, silakan baca Pengantin Subuh terbitan Lingkar Pena Publishig House.
Untuk cerpen komedi, silakan baca Maryam Ma Kapok juga terbitan Lingkar Pena Publishing.
Untuk cerpen romantis, hm, baca terbitan-terbitan Puspa Swara.
Untuk cerpen misteri, hm, kayaknya teman-teman lebih tahu..

2. Buat Novel
Buat novel sebenarnya gampang-gampang susah.
Untuk membuat novel, buat kerangkanya dulu. Kalau perlu sudah ada gambaran setiap bab ceritanya seperti apa. Karakter tokohnya seperti apa, dan lain-lain. Novel biasanya minimal 150 hal. Sekarang ini, penerbitan novel sedang laris-larisnya. Untuk referensi silakan baca terbitan Lingkar Pena Publishing dan Gagas Media.

3. Buku Non fiksi
Sebenarnya menulis non fiksi lebih mudah. Karena kalau menulis fiksi, butuh imajinasi dan inspirasi yang lebih besar.
Tapi, untuk non fiksi, Anda harus banyak membaca referensi mengenai tema yang dipilih.
Untuk membuat buku seperti ini, sebaiknya Anda mencari teman. Jadi, Anda membuat buku berdua.
Pertama, Anda harus membuat kerangka.
Misalnya seperti ini (Tapi, ini jangan dicontek ya!)
Judul: "Muslimah Beraroma Surga"
- Akhlak Muslimah
* menjaga aurat
* menjaga lisan
* menjaga pandangan

- Istri Solehah
* Tips memilih suami
* menjadi istri dambaan suami
* Etika bepergian
* Mendidik Anak
* Menjaga diri

- Profil muslimah di sahabat nabi
* Aisyah
* Khadijah
* dll,

Oke, Selamat mencoba!

Selengkapnya...

Senin, 12 Juli 2010

Kompetisi Menulis 100% Roman Asli Indonesia

(Kepada seluruh kader FLP Unhas usahakan ikut kegiatan ini, ok!)
Udah nggak zamannya lagi berkhayal menjadi penulis terkenal. Saatnya tunjukkan talenta menulismu di KOMPETISI MENULIS “100% ROMAN ASLI INDONESIA” dan berkilauanlah sebagai penulis muda berbakat bersama GagasMedia!

Syarat-syaratnya gampang banget:

•Naskah novel harus asli buatan sendiri, bukan saduran apalagi jiplakan. Naskah ber-sub genre roman apa saja—domestic drama, mainstream, classic, atau teen. (keterangan masing-masing sub genre bisa kamu kulik di link: http://gagasmedia.net/Syarat-pengajuan-naskah.html).
o Buat referensi domestic drama, baca After the Honeymoon (Ollie), Alphawife (Ollie), dan Dongeng Semusim (Sefryana Khairil).
o Buat referensi mainstream romance, baca Baby Proposal (Dahlian & Gielda Lafita), Dia (Nonier), Pillow Talk (Christian Simamora), dan Orang Ketiga (Yuditha Hardini).
o Buat referensi classic romance, baca Morning Glory (LaVyrle Spencer) dan From Batavia with Love (Karla M. Nashar).
o Buat referensi teen romance, baca Ai (Winna Efendi) dan Refrain (Winna Efendi).

• Panjang naskah 75-150 hal A4, spasi 1, Times News Roman 12. Sertakan sinopsis keseluruhan isi cerita, maks. 2 hal.

• Buat video (durasi maks. 3 menit) berisi promo singkat novelmu dan kenapa novel ini layak menang. Video di-upload di Youtube, Facebook, atau media videoshare lainnya.

• Naskah berbentuk print out sebanyak 1 (satu) eksemplar. Sertakan formulir lomba . Kamu wajib mencantumkan link video buatanmu di formulir.

• Kirimkan naskah dan semua elemen pelengkapnya ke: REDAKSI GAGASMEDIA, Jl. Haji Montong No. 57, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12630 (Kode: 100% ROMAN ASLI INDONESIA—tulis di amplop naskahmu)

• Naskah ditunggu paling lambat 25 September 2010 (cap pos).

• Pengumuman seleksi I : 11 Oktober 2010 melalui website lomba. Peserta yang lolos seleksi I wajib mengirimkan 4 kopi naskah ke redaksi GagasMedia (kode: 20 Besar 100% Roman Asli Indonesia).

• Pengumuman pemenang bisa kamu lihat di website resmi lomba pada tanggal 15 November 2010.

• Keputusan juri tidak bisa diganggu gugat.

Hadiahnya? Mmmh, nggak kalah seru!
Juara 1 : uang tunai Rp 5.000.000, kontrak penerbitan* dari GagasMedia, paket buku, dan paket holiday trip untuk kamu dan pasangan
Juara 2 : uang tunai Rp 3.000.000, kontrak penerbitan* dari GagasMedia, dan paket buku.
Juara 3 : uang tunai Rp 1.500.000, kontrak penerbitan* dari GagasMedia, dan paket buku.
*Diatur dengan ketentuan tersendiri

Tunggu apa lagi? Mulailah bekerja dengan laptop—dan jangan lupa siapkan kopi serta camilan. Start writing your romance novel and be a star!


Love,
GagasMedia
www.gagasmedia.net

Selengkapnya...

Sabtu, 10 Juli 2010

Bait Kehidupan



Oleh : Supriadi
Ketua Forum Lingkar Pena Periode 2010/2011

Hidup ini memang membingungkan, aku selalu hanyut dalam kekesalan yang membayang samar dalam timpuk egoku. Siapa aku? Bayangku hadir dalam usia menuju kematangan umur mendekati kedewasaan. Ragu semakin mencuat mengukir keraguan kalau aku bukan anak mama. Bertahun silam aku menangis di kala semua orang menganggapku anak pungut, dengan alasan yang tak jelas. Aku terlalu tampan menjadi anak mama dan papa yang katanya tak ada miripnya denganku. Tapi, bagaimanapun mereka berteriak, aku yakin kalau aku anak buah cinta ayah dan mama.
Hidup jauh darimu, Mama, membuatku semakin sadar betapa butuhnya aku belaian kasihmu nan lembut, meskipun aku semakin sadar kita tak akan selamanya bersama mengarungi hidup penuh ritme ini. Ke mana aku harus mempertanyakan kebingunganku yang semakin menjadi-jadi ini?
***
Anak kecil itu hadir lagi di depan kamarku di pondok, menggigit bibirnya dengan liur yang jatuh membasahi dada. Tangannya tergigit dengan bibir besar yang semakin hampir jatuh, sementara sebelah tangannya lagi menggerakan besi pintu masuk pondokanku. Kesal hadir lagi menyibakkan rasa kemanusiaanku, mataku melotot menakutinya. Meskipun aku sangat sayang anak kecil seumur dengannya, tapi aku tak akan bisa iba melihatnya. Ejekan dari teman sepondok cukup membuatku berbuat tak adil pada anak yang belum sekolah itu. Mana mungkin aku disamakan dan dimirip-miripkan dengan anak yang tak jelas waras dan tindaknya? Setiap orang yang baru melihat, akan berkesimpulan anak itu keterbelakangan mental.


Hussshh..hushh, bisikku kecil dengan ekspresi yang makin geram kepada anak itu. Kapan ia pergi? Atau aku perlu mengusirnya dengan cara yang kasar?
“Ila, ke mari Kau cepat.”
Suara memanggil anak kecil itu. Syukurlah, ia kan pergi dari tempat ini. Magrib yang berganti waktu, mengiringi kepergiannya. Bersama seorang pengasuh yang acak rambutnya dengan pakaian acak-acakan pula.
“Apakah aku benar-benar mirip dengan anak itu?”
Kaca cermin di hadapanku yang biru dan retak ini menjadi penilai. Bibirku tebal, apakah memang mirip dengan anak itu? Mataku mirip orang korea. Ah! Mana mungkin aku mirip dengan anak itu, tak ada tanda sedikitpun yang menguatkan.
Aku menutupi kecurigaan pada diriku sendiri. Hanya satu yang tak pernah aku saksikan dan kusamakan dengan anak itu, cara jalanku yang kata teman-teman di pondok juga sangat mirip. Apakah anak itu idiot? Dan aku juga idiot? Tidak! Tidak mungkin! Aku adalah mahasiswa berprestasi. Mana mungkin aku seorang lelaki yang keterbelakangan mental.
Pikiran menghipnotisku tidak bisa tidur malam ini. Aku harus cari tahu siapa anak itu. Besok, aku akan berkunjung ke rumahnya. Siapa anak itu, dia saudaraku yang dibuang? Seingatku ibu juga belum pernah melahirkan setelah ia melahirkanku. Aku adalah penderita sindrom? Inilah kejadian paling mungkin yang semakin membuatku rajin bercermin. Aku akan semakin marah pada manusia-manusia pencela yang mengataiku mirip dengan anak berwajah terbelakang itu. Aku sensitif akhir-akhir ini, mungkin karena sering dianggap mirip dengan anak itu.
***
Aku tepati janji untuk niatku semalam. Kuikuti kata hatiku untuk berkunjung ke rumah anak kecil itu. Dengan pengasuhnya yang berbusana dan berpenampilan seperti orang gila, disertai jualan asongan di tangan. Kalau bukan ibunya, mungkin dia bibinya. Kuikuti ia dari belakang berjalan menuju rumah yang entah di mana tujuanya. Aku semakin berdebar rasanya, melangkah jauh yang sulit kuperkirakan jaraknya. Ternyata aku berhenti pada ujung sungai di kota besar ini. Di sana ada gubuk kecil yang tak berdampingan dengan tempat tinggal manusia satu pun. Aku yakin inilah rumahnya. Aku sengaja bertanya pada perempuan tadi yang serupa orang gila.
“Anak itu tinggal di sini?”
“Kenapa tanya-tanya?”
“Bapak….bapak….,” anak itu berteriak sambil berlari ke arahku.
Aku yang lagi stress dan jijik tiba-tiba menghempaskan kaki menendangnya hingga di luar batas. Kulihat, kepala anak kecil itu tertabrak pada sebuah batu yang kupastikan membuat kepalanya berdarah.
“Tolooong!!” Teriak perempuan tadi.
Aku lari dengan kencang. Aku takut. Aku sungguh tak sadar melakukan tindakan gila barusan.
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi, kuambil tas dan beberapa helai baju, aku harus pulang ke Bulukumba, kampung halamanku. Bukannya aku mau lari dari kesalahan, tapi aku benar-benar takut. Aku stres atas apa yang telah aku perbuat. Aku akan lenyap untuk sementara waktu ini.
***
Sejam lalu aku telah sampai di rumahku ini, rumah yang begitu sederhana namun penuh dengan hiasan suasana cinta. Menempuh jarak dari kota ke rumahku tak sampai memakan waktu enam jam. Aku belum berucap apapun kepada mama dan papa, aku menggigil dalam takut. Aku tiba larut malam, langsung tertidur. Mama pun mengerti aku sedang lelah. Ia pasti tak mau menggangguku.
“Kamu kenapa, Nak, kamu mengigo?”
“Mama dan papa mendengar Kau bicara kosong.”
“Tidak Ma. Aku tak apa-apa.”
Aku menangis dan mendekap mama, saya kira inilah saatnya aku ceritakan masalahku di Makassar kepada mama dan papa. Aku betul-betul bercerita lepas. Mulai tentang apa yang kuperbuat tadi siang, kecurigaanku mama punya anak lain, atau aku seorang yang mengalami keterbelakangan mental, dan aku tutup dengan pertanyaan apakah aku memang anak angkat.
Ibu menangis sekejap. “Yang pasti kau bukan anak angkat, Nak.”
Kata-katanya goyah karena getaran akibat air mata yang terus mengalir. Ibuku yang begitu cantik memerah mukanya karena menangis.
“Kau adalah harapan nenek, harapan semua orang, Nak. Kau begitu susah dilahirkan hingga ibu berjuang hidup dan mati supaya kau hidup. Kau dilahirkan dengan rasa sakit yang tak pernah dirasakan sakitnya oleh ibu lain. Kau dilahirkan meskipun ibu harus tidak tidur selama tiga hari tiga malam karena kesakitan setiap detik.” Air mata ibu semakin tumpah.
“Kau akan kaget ketika kau tahu masa kecilmu. Kau adalah seorang yang jijik dipandang dulu. Kau seorang anak persis seperti anak yang kau ceritakan. Kau memang keterbelakangan mental, Nak. Kau adalah orang yang dijauhi semua orang. Meskipun begitu, ibu tetap berusaha membesarkanmu. Entah karena kasih sayang, sekarang kau seperti manusia normal.”
Pikiranku melayang membayangkan masa kecilku seperti apa. Setelah aku membayangkan diriku, aku membayangkan sosok anak kecil bermuka keterbelakangan mental.
Aku pun larut dalam tangis. Pantas saja aku tak pernah ingat betul bagaimana kondisi waktu aku masih kecil. Aku seorang yang keterbelakangan mental yang berubah karena cinta seoorang ibu.
“Apakah aku berubah karena cinta, Ma?”
“Ya! Karena cintalah kau bisa diubah, dan karena cintalah kau bisa tumbuh, Nak. Ibu yakin kalau kamu bisa menjadi anak normal, oleh karena itu kau harus cinta dengan orang sekitarmu. Jangan pernah remehkan orang lain, karena kita semua manusia itu sama tak ada yang lebih”.
Aku tahu betul siapa aku malam ini. Kuberdiri menghadap-Mu, Tuhan.
Aku malu pada diriku, mengapa aku harus jijik pada orang di sekitarku, padahal penampilan fisik bukanlah segalanya. Kasihan anak itu. Aku telah tak adil padanya, seharusnya anak itu diberi belaian kasih sayang bukan malah dijauhi. Aku terus mengangis hingga tak sadar aku tertidur dalam dekapan ibu. Aku bertekad dalam hati untuk membagi cinta buat anak kecil yang belum kutahu siapa ayah dan ibunya itu. Salam cinta untukmu adik kecil.[]


Selengkapnya...

Minggu, 04 Juli 2010

SENANDUNG CINTA UNTUK GADIS


OLEH: FEBRIANA WIDYANATA SUSILO
Sang surya kembali bersinar pagi ini, salah satu bintang terbesar di galaksi tempatku berpijak itu mulai menampakkan kekuasaannya lagi. Sinarnya menerpa wajahku dari balik jendela kamar. Aku mendesah dan berusaha membuka kelopak mata ini. Kemudian aku beranjak ke kamar mandi, tempat pertama yang aku kunjungi setiap hari. Kupandangi wajahku di cermin, kemudian membasuhnya. Sosok gadis itu kembali terlintas di pikiranku. Gadis yang telah menjadi sahabat terdekatku. Aneh memang, entah kenapa aku dan dia bisa seakrab ini. Aku mengenalnya sejak kelas 4 SD sedangkan dia kelas 2 SD. Ya selisih umur kami dua tahun. Dia adalah anak dari sahabat ibuku. Aku dan dia bersahabat kurang lebih sudah 15 tahun lamanya. Dia selalu memanggilku dengan panggilan Mas Adit, baginya panggilan itu terdengar lucu dan membuatnya geli.
Gadis manis yang penuh kelembutan dan kehangatan. Setiap orang yang melihat kedua matanya pasti akan jatuh hati. Bagiku dia adalah lentera kecil yang selalu menyemangati dan menuntunku untuk menggapai semua mimpi yang ingin ku torehkan. Rambutnya selalu berderai indah di balik bahunya. Ya dia memang bernama Gadis, Gadis Paramitha Drupadi. Namanya saja sudah mewakili keindahan yang dimilikinya. Dia bagaikan Dewi Drupadi, dewi yang setia mendampingi lima orang pandawa dalam kisah pewayangan Arjuna. Tuhan benar-benar menciptakannya sebagai gadis terindah menurutku, dan aku bahagia bisa mengenalnya.


Aku dan Gadis selalu berbagi kisah bersama, menangis dan tertawa. Kami bersahabat begitu tulus. Namun akhir-akhir ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada rasa bahagia yang menjalar ke seluruh tubuhku. Aku selalu tersenyum ketika bersamanya. Mungkin itulah makna kerinduan yang kini tengah kurasakan. Ah! Cinta, itulah makna cinta. Kuakui aku telah larut di dalamnya. Aku jatuh ke dalam cinta.
Hari ini aku akan bertemu dengan Dewi Drupadi itu lagi. Ibu tercinta telah menyiapkan sarapan untukku, putra tunggal yang dimilikinya. Aku segera menyantap nasi goreng buatan Ibu tanpa jeda dan menyeruput susu cokelat hangat. Aku sangat menyayangi Ibu. Apapun akan kulakukan untuknya.
“Dit, tadi Gadis telepon. Katanya minta dijemput sama kamu.” seru Ibu sambil menuangkan air putih ke dalam gelas dengan logat Jawanya yang kental. Ibu memang berasal dari Surabaya, sedangkan Ayahku memang berasal dari Makassar.
“Iya Bu, Adit sudah tau. Oia nasi goreng Ibu enak sekali, tapi ada kayaknya yang kurang.” Jawabku iseng.
“Kurang? Apanya yang kurang, Dit? Perasaan rasanya sudah pas kok sesuai selera kamu.” tanya Ibu dengan mimik keheranan sambil mencoba nasi goreng buatannya.
“Kurang banyak. Hahaha.” Aku tertawa lalu mengecup pipi Ibu.
Setelah puas menggoda Ibu dan pamit kepadanya, aku bergegas menuju rumah Gadis. Aku selalu menjemputnya dengan mobil sedan hitam milikku. Rasanya hari ini matahari bersinar secerah hatiku, karena aku akan bertemu dengan Dewi Drupadiku. Aku memanaskan mesin mobil dan kemudian melaju melewati gerbang pagar rumahku.
Akhirnya aku tiba di rumah Gadis. Dia sudah menungguku di kursi teras rumahnya, sedangkan Tante Sarah sedang menyiram bunga-bunga anggrek koleksinya. Gadis mengambil tasnya, kemudian berpamitan dengan Tante Sarah. Aku turun dari mobil dan menyapa Tante Sarah. Gadis berlari kecil ke arahku. Aku berpamitan dengan Tante Sarah. Kemudian mengikuti Gadis ke arah mobilku yang telah terparkir di depan pagarnya. Aku membuka pintu mobil untuknya. Kemudian mengendarai mobil itu melaju menuju kampus. Aku dan Gadis kuliah di tempat yang sama, yakni Fakultas Hukum sebuah universitas terkenal di Indonesia bagian timur. Tentunya aku lebih dulu menginjakkan kaki di kampus itu sedangkan Gadis adalah mahasiswa baru.
“Mas Adit kenal dengan Kak Satria?” tanya Gadis membuka percakapan kami hari ini.
“Iyalah kenal. Dia kan teman baikku. Emangnya kenapa?” jawabku balik bertanya padanya.
“Sepertinya dia orang yang pintar ya. Aku sampe kagum padanya, terlebih saat dia jadi pemateri dalam pelatihan kemarin.” jawabnya lagi sambil tersenyum padaku. Gadis bercerita panjang lebar tentang Satria, bahkan dia hafal setiap perkataan yang dilontarkan Satria saat pelatihan. Aku hanya menjawab dengan mengangguk. Aku merasa aneh, ketika dia terus menyebut nama Satria. Aku menjadi resah dan tidak tenang karena saat itu juga aku mulai menyadari satu hal, aku sadar Gadis tertarik pada Satria seperti yang tengah aku rasakan pada Gadis saat ini.
Satria memang orang yang sangat sempurna. Setiap orang, entah itu pria atau wanita akan merasa kagum padanya. Satria begitu berkharisma dengan pengetahuan yang dimilikinya, retorikanya juga begitu hebat. Dia memang berbakat jadi motivator bagi orang di sekitarnya, termasuk aku sahabatnya. Dan kini bertambah lagi satu orang yang akan menjadi anggota dari fans club Satria, orang yang berbicara di sampingku ini akan terdaftar menjadi anggotanya. Hanya saja aku tidak rela Gadis begitu mengaguminya. Padahal sudah sangat jelas, aku selalu ada di sampingnya saat dia membutuhkan seseorang. Apa dia tidak pernah merasakan arti kehadiranku di sampingnya? Hmmm.









♥♥♥
Satria dan Gadis kini mulai terlihat akrab, apalagi saat ini Satria telah menjadi ketua himpunan organisasi mahasiswa di jurusan kami. Gadis selalu menanyakan segala sesuatu kepada Satria, terutama masalah tugas mata kuliah yang tengah diambilnya. Aku merasa Gadis makin menjauh dariku. Dia begitu jauh, hingga aku tidak pernah melihat senyumnya lagi. Entah apa yang ada dalam benaknya hingga dia tidak pernah mau diantar jemput olehku lagi, katanya hal itu membuatnya berbeda dari maba yang lain. Dia tidak ingin bergantung padaku lagi sebagai seniornya. Aku hanya bisa mengambil sikap dengan menjauhinya dan melakukan apa yang diinginkannya itu.
Angin laut berdesir sore ini dan membelai wajahku dengan lembut, aku ingin sendiri dan merasakan buaiannya. Aku duduk termangu dalam lamunan di tepi Pantai Losari, hatiku terasa begitu kosong, kendati di sekelilingku sangat ramai oleh pengunjung lain di tempat itu. Semburat jingga di langit mulai tampak, mentari mulai kembali ke peraduan dengan anggunnya. Sayang seribu sayang, aku tidak bisa merasakan indahnya dengan sempurna karena kegalauan hati yang tengah kurasakan ini. Apakah ini yang harus kurasakan? Perih ini semakin mendera batinku, hingga aku tak kuasa menahannya lagi. Dunia terasa begitu mati, semangat hidupku seakan menghilang. Aku rindu pada Gadis, aku menyayanginya. Apa memang semuanya harus berakhir hingga di sini saja? Aku tidak bisa lagi menjadi sahabat kental bagi Gadis, aku tidak bisa berbagi kisah dengannya lagi. Dewi Drupadiku itu seakan menghilang di pelupuk mataku kini.
Aku tahu Gadis tengah merasakan indahnya kasmaran di usianya sekarang. Tapi ini terlalu kejam bagiku. Sepertinya kesabaranku tengah diuji kali ini. Aku hanya bisa memasrahkan semuanya pada Sang Pencipta. Apapun akan kulakukan untuk membuat Gadis selalu bahagia, walaupun aku harus menahan siksa batin karena mencintainya dan merasakan pahitnya cinta bertepuk sebelah tangan.


♥♥♥
Satria mengagetkan semua orang, dengan pengumuman akan dirinya. Ternyata minggu depan dia akan segera menikah dengan seorang gadis yang merupakan teman kecilnya dulu sewaktu masih sekolah. Dia begitu bahagia mengumumkan pernikahannya tersebut. Aku tidak tahu apakah aku harus bahagia atau sedih mendengar kabar tersebut.
Di satu pihak aku merasa lega karena Gadis tentu tidak akan bisa bersama Satria, tapi di pihak lain aku khawatir pada Gadis. Aku tidak tahu, apa dia mampu menerima kenyataan ini. Aku harus bertemu dengannya. Aku ingin berada di sampingnya, karena pasti dia membutuhkanku saat ini.
Aku segera menghubungi ponselnya, tapi nomornya tidak aktif. Aku berlari mencarinya di sekitar kampus, tapi tetap saja hasilnya nihil. Aku tidak menemukan Dewi Drupadi itu. Di mana gerangan dirinya berada sekarang? Aku yakin saat ini dia membutuhkanku. Aku tidak bisa membayangkan kesedihan di wajahnya. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Aku bergegas menuju ke rumahnya. Benar saja, aku menemukannya duduk melamun di sebuah ayunan kecil di depan rumahnya. Dia terlihat sangat redup tak bercahaya.
“Hai.” sapaku lembut. Sangat jelas kulihat matanya begitu sembab. Pasti semalam dia menangis. Aku bisa melihat lukanya dengan jelas, dia sangat terluka akan keadaan ini.
“Mas Adit?” tanyanya heran. Aku kemudian duduk di sampingnya.
“Kenapa kamu gak ke kampus? Kamu sakit ya?” tanyaku lagi. Dia hanya tersenyum redup, tanpa menjawab pertanyaanku.
“Aku tahu semuanya. Aku bisa merasakan apa yang tengah kamu rasakan saat ini, Dis. Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi satu hal yang aku tahu, Satria diciptakan memang bukan untuk Gadis. Jodohnya telah ditentukan.” seruku tanpa mempedulikan perasaan Gadis. Dia menundukkan kepalanya seakan tidak ingin mendengarku.
“Mungkin bagimu ini tidak adil. Tapi mungkin inilah yang terbaik. Terkadang ada alasan kenapa kita berjodoh dengan seseorang untuk beberapa saat dan tidak untuk waktu yang lain. Mungkin Satria tidak pernah menyadari kehadiranmu di hidupnya, tapi di luar sana pasti ada orang lain yang begitu menyadari arti kehadiranmu Gadis,” seruku meyakinkannya.
Gadis mendongak dan melihat ke arahku. Aku tahu apa yang aku katakan tadi sangat menyakiti hatinya. Tapi hanya itu yang bisa kulakukan untuk membuatnya kembali bercahaya seperti dahulu.
“Makasih Mas. Selama ini aku memang salah mengira. Aku pikir Kak Satria adalah orang yang tepat untuk menjadi pasangan hidupku kelak. Tapi kepercayaan diri dan keegoisanku telah membuatku tenggelam hingga ke dasarnya. Apa yang Mas Adit katakan, memang sesuai untuk Gadis. Kak Satria memang bukan untuk Gadis. Aku tahu itu Mas. Karena itu, aku butuh waktu untuk mencari orang yang tepat sebagai pengganti Kak Satria di hatiku. Aku butuh waktu untuk bangkit kembali, luka ini harus segera disembuhkan. Aku akan melihat semuanya dengan lebih bijaksana lagi,” jawabnya begitu bijaksana.
“Iya. Aku yakin kamu pasti bisa. Mas Adit akan selalu ada untuk mendukung kamu. Kalau gitu, aku mau lihat kamu senyum dulu. Karena Gadis tanpa senyuman tidak akan mudah untuk bangkit kembali. Senyumanmu juga akan membuat hatiku jadi lega,” kataku lagi.
Gadis tersenyum. Tapi kali ini senyumnya tidak redup seperti tadi, melainkan sekarang cahayanya mulai cemerlang lagi seperti dulu. Gadis kemudian meminta maaf atas perbuatannya selama ini, dia tidak bermaksud menjauh dariku tapi itu memang karena dia merasa agak sedikit risih terus bergantung padaku, dia juga berjanji akan selalu menjadi sahabat setiaku. Kami kembali seperti sedia kala. Sahabat sejati yang sangat kental dan berbagi kisah bersama.



Sampai detik ini, aku belum pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Karena bagiku bersama dan berada di samping Dewi Drupadi itu sudah sangat cukup. Namun, suatu hari nanti aku yakin dan mempercayakan dengan sepenuh hati kepada Tuhan, Gadis akan menyadari bahwa orang yang selama ini dia cari ternyata berada sangat dekat dengannya dan hingga saat itu tiba, aku berjanji pada diriku sendiri untuk secepat mungkin mengungkapkan apa yang tengah aku rasakan pada Gadis dan menjadikannya pendamping hidupku.
Aku juga berjanji akan terus membuat senyum di wajah Dewi Drupadiku itu. Inilah senandung cintaku yang akan aku nyanyikan untuk Gadis setiap hari hingga maut memisahkan, karena aku yakin dia tercipta hanya untukku dan aku telah menemukan tulang rusukku yang hilang dalam dirinya. Gadis adalah sahabat sekaligus pendamping hidupku kelak.

Selengkapnya...